Surabaya (Trigger.id) – Dalam Kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah al-Iskandari, diterangkan sebuah nasehat: “Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling memarahi, janganlah saling menghindar. Jadilah kalian semua, wahai hamba Allah, sebagai saudara”.
Pesan menjaga persaudaraan seperti yang disampaikan Ibnu Athaillah, banyak diulas di dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Dan di negara kita sendiri, pesan tentang pentingnya menjaga persaudaraan, telah tegas direlevansikan dengan hubungan anak bangsa. Hal ini disampaikan oleh KH. M. Hasyim Asy’ari pada medio 1936 sebagai bentuk menyikapi perselisihan para ulama terkait khilafiyah dan furu’iyah (perbedaan pendapat).
“Janganlah kalian jadikan perdebatan itu menjadi sebab perpecahan, pertengkaran dan permusuh-musuhan…. Ataukah kita teruskan perpecahan, saling menghina dan menjatuhkan; saling mendengki kembali kepada kesesatan lama? Padahal agama kita satu: Islam. Madzab kita satu: (Imam) Syafi’i. Daerah kita juga satu: Indonesia (waktu itu sebutannya, Jawa).”
Nasehat-nasehat tersebut sangat jelas sebagai pengingat agar sesama mukmin menjaga ukhuwah (persaudaraan), yang hal ini bertujuan mempererat persaudaraan sesama mukmin maupun sesama generasi bangsa. Dalam Islam, momentum spirit persaudaraan sesama anak bangsa adalah saat menyatunya sahabat Anshar dengan Muhajirin.
Pada saat itu, 12 Ramadhan tahun pertama setelah hijrah, Rasulullah SAW mempersaudarakan kedua kaum tersebut sebagai sesama saudara mukmin yang kemudian bersatu padu melawan kafir pada perang Khandaq.
Potret persaudaraan mereka dijelaskan dalam kitab Shahih Bukhari hadis nomor 2704: “Dari Anas r.a, dia berkata: Rasulullah SAW berangkat ke Khandaq (parit). Ketika itu orang-orang Muhajirin dan Anshar menggali di pagi yang dingin, di antara mereka tidak ada hamba sahaya yang bekerja demikian untuk mereka. Ketika beliau melihat kelelahan dan lapar pada mereka, beliau bersabda: “Wahai Allah, sesungguhnya kehidupan itu adalah kehidupan akhirat, maka ampunilah orang-orang Anshar dan Muhajirin.” Mendengar sabda Rasulullah, mereka pun menjawab: “Kami adalah orang-orang yang berbai’at kepada Muhammad untuk berjihad selama kita masih (hidup) selama-lamanya.”
Dalam kehidupan di masa sekarang, seyogyanya potret persaudaraan yang telah dicontohkan pada bulan Ramadhan saat itu, dapat diteladani dengan baik demi kelangsungan negeri kita sendiri. Semangat perdamaian dan cinta kasih dalam bulan suci ini, akan menjadi investasi kebaikan yang besar bagi anak cucu kita kelak.
Hikmah dari persaudaraan, bukan hanya menjadi modal sosial atau solidaritas yang bermanfaat bagi sesam manusia, namun juga bagian dari refleksi penghambaan diri pada Allah SWT melalui penerapan ibadah mu’amalah. Dalam Islam, dijelaskan pentingnya internalisasi diri bahwa sesama orang mu’min bagaikan anggota tubuh, sesuai kitab Shahih Bukhari hadis nomor 5703 dijelaskan:
Bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Kamu melihat orang-orang mu’min dalam kasih sayang, cinta mencintai dan belas kasih mereka seperti tubuh. Apabila tubuh itu mengaduh karena salah satu anggota badan (sakit), maka seluruh tubuh itu memanggilnya dengan jaga dan (dari) demam.”
Dengan begitu, jika sesama manusia menyadari bahwa semuanya merupakan saudara, maka hubungan sosial pun terjalin kuat dan sebaliknya, menghindari segala perilaku yang menyakiti sesama saudaranya, terlebih sesama anak bangsa.
Terlebih, kita yang terlahir dalam sebuah bangsa, secara otomatis memiliki sejarah dengan nenek moyang sesama anak bangsa lainnya. Bisa jadi pun, kita pun berkerabat dengan pertalian nasab pendahulu. Dan dalam hadis telah diterangkan:
“Pelajarilah dari nasab-nasabmu apa yang kamu dapat bersilaturrahim dengannya, karena sesungguhnya silaturahim itu menyenangkan keluarga, memperbanyak harta dan memperpanjang umur.” (HR. Ahmad, Kitab Al-Jami’us Shaghier, hadis nomor 3319).
Pada akhirnya, marilah kita jadikan bulan Ramadhan sebagai cahaya atas internalisasi ukhuwah kita pada sesama anak bangsa. Tentunya kita pun berharap menjadi bagian dari golongan yang dirindukan surga, seperti yang diterangkan dalam Kitab Durratun Nasihin, dinukil dari Raunaqul Majalis:
“Surga itu rindu kepada empat orang: Orang yang membaca Al-Quran, orang yang menjaga lidahnya, orang yang memberi makan kepada mereka yang kelaparan, dan orang orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan.” Semoga dengan mengisi sisa umur kita dengan peningkatan penghambaan diri melalui membaca Al-Qur’an, menjaga lisan, bersedekah, dan berpuasa, sejatinya menjadi alasan kita dipertemukan Surga. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin. (kai)
Tinggalkan Balasan