

Wabah penyakit misterius yang melanda Republik Demokratik Kongo (Afrika Tengah), semakin membuka mata dunia. Peristiwanya sejak akhir Oktober 2024. Kini telah mereda, meski korban tewas sudah mencapai ratusan. Terutama menyasar anak-anak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) segera merespons. Sementara penelitian intensif sedang dilakukan, terkuak dugaan penyebabnya. Malaria, malnutrisi, dan keracunan air minum, disinyalir sebagai biang keladinya.
Di Indonesia, malaria jarang menjadi topik pemberitaan. Seolah sudah terlupakan. Padahal insidennya masih banyak. Tercatat 1,1 juta kasus, pada tahun 2023. Mayoritas (86 persen), berasal dari wilayah Papua. Negara kita menempati peringkat kedua terbanyak di Asia, setelah India.
Pada tahun yang sama, WHO mengompilasi 263 juta kasus dari seluruh dunia. Angka kematiannya mencapai 597 ribu (13,7 per seratus ribu penduduk). Afrika berkontribusi terhadap 94 persen insiden dan 95 persen kematian. Angka mortalitas pada balita mencapai 76 persen
Malaria tergolong sebagai penyakit “kuno”. Pertama kali dilaporkan di Tiongkok (1700 SM). Mesir kemudian menyusul dan ditulis dalam Ebers Papyrus (1570 SM). Baru pada tahun 880 M berhasil diidentifikasi penyebabnya, yakni parasit Plasmodium. Penemunya adalah Charles Laveran, seorang ilmuwan Perancis. Hingga kini diidentifikasi ada lima spesies Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia. Karena target parasit malaria adalah sel darah merah/SDM (eritrosit), maka dibahas singkat tentang SDM.
Eritrosit/SDM
Fungsi SDM sangat vital menopang transportasi oksigen (O2), dari paru menuju seluruh jaringan tubuh. Melalui jalur yang sama, sebaliknya membuang CO2 sisa metabolisme. Struktur utama SDM adalah hemoglobin yang berwarna merah dan tersusun dari zat besi.
SDM diproduksi di sumsum tulang. Hormon eritropoietin yang disekresi oleh ginjal, adalah induktornya. Ibarat tumbuh kembang manusia, SDM “dewasa” yang fungsional, berasal SDM “anak-anak” (retikulosit). Setelah mencapai “umur” 120 hari, SDM “tua” akan “mati”. Selanjutnya komponen penyusunnya didaur ulang. Zat besinya digunakan kembali untuk membentuk SDM baru.
Proses infeksi
Infeksi diawali saat nyamuk anopheles betina menggigit/menghisap darah manusia. Hal itu diperlukan untuk pematangan telurnya. Secara bersamaan, nyamuk “menyuntikkan” sporozoit (cikal bakal parasit) melalui liurnya. Sporozoit mengalami perkembangbiakan menjadi merozoit di lever yang selanjutnya menyerang SDM. Sebagian juga bertumbuh menjadi gametosit “jantan” dan “betina”. Apabila gametosit terhisap nyamuk, siklus hidup parasit akan berulang kembali. Pemahaman tersebut diperlukan sebagai modalitas pengobatan, pencegahan, dan vaksinasi.
Gejala malaria muncul sebagai akibat invasi parasit pada SDM. Umumnya berupa demam, menggigil, sakit kepala, nyeri sendi, dan muntah-muntah. Banyaknya SDM yang rusak, memicu terjadinya anemia, penyakit kuning, pembengkakan limpa, dan urine yang berwarna gelap. Pola demam, tergantung pada spesies parasit yang menyerang. Pada malaria yang paling ganas (malaria tropika), siklus demam berulang tiap 36-48 jam. Penyebabnya adalah Plasmodium falciparum/Pf). Dampak serangan Pf pada SDM (dari yang paling “muda” hingga yang “tua”), menyebabkan pelekatan antar SDM. Bentukan gumpalannya menyumbat pada dinding bagian dalam pembuluh darah kecil (endotel), sehingga memantik komplikasi. Anemia berat, malaria otak, dan gagal ginjal, merupakan penyulit yang mematikan. Risikonya meningkat pada perempuan hamil, balita, dan individu dengan gangguan imunitas (misalnya stunting).
Vaksinasi
Kini program eliminasi malaria lebih banyak difokuskan pada tindakan preventif. Pertimbangannya didasarkan atas meningkatnya prevalensi resistansi obat (baik pencegahan atau pengobatan), dan terhadap insektisida. Karenanya vaksinasi malaria adalah harapan yang layak diperjuangkan. Vaksinasi merupakan metode terpilih yang paling efektif dan efisien, dalam pengendalian infeksi menular. Tidak mudah merancang vaksin malaria yang efektif. Kendalanya terletak pada sedikitnya pengembang dan minimnya pasar yang menguntungkan secara ekonomi. Apalagi setelah USAID (Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat) dibekukan pemerintah AS. Dari aspek teknis, terkendala dengan kompleksitas siklus hidup parasit malaria. Implikasinya tidak mudah menemukan formula antigennya yang mampu menginduksi respons imunitas secara maksimal.
Pada bulan Oktober 2021, untuk pertama kalinya WHO merekomendasikan penggunaan vaksin malaria. Target utamanya adalah anak-anak di daerah endemis. Cara mengaksesnya melalui GAVI (Global Alliance for Vaccines and Immunization), tidaklah mudah. Gavi (the Vaccine Alliance) sebutannya kini, merupakan kemitraan kesehatan global publik-swasta. Tujuannya meningkatkan akses imunisasi di negara-negara miskin.
Dua tahun kemudian, WHO menyetujui penggunaan vaksin malaria yang kedua. Sayangnya vaksin tersebut belum diaplikasikan pada rakyat Indonesia. Sebab kini baru fase uji klinis yang untuk pertama kalinya dilakukan di kawasan Asia-Pasifik.
Setiap langkah kecil dalam pencegahan adalah investasi untuk masa depan yang lebih sehat.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan