
Surabaya (Trigger.id) – Selama bertahun-tahun, Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh telah menjadi salah satu indikator utama dalam menilai kesehatan tubuh dan risiko penyakit. Namun, sebuah studi terbaru yang dipublikasikan dalam Annals of Family Medicine bulan Juni lalu menunjukkan bahwa BMI sebenarnya tidak efektif dalam memprediksi risiko kematian seseorang.
Sebaliknya, para peneliti menyarankan bahwa persentase lemak tubuh (body fat percentage/BF%) adalah indikator yang jauh lebih akurat dan mudah diukur dalam pemeriksaan kesehatan rutin.
Mengapa BMI Dianggap Kurang Akurat?
BMI dihitung dengan membagi berat badan (dalam kilogram) dengan tinggi badan kuadrat (dalam meter). Metode ini selama ini digunakan sebagai indikator cepat untuk menentukan apakah seseorang berada dalam kategori kurus, ideal, kelebihan berat badan, atau obesitas.
Namun, menurut Dr. Wajahat Mehal, Direktur Program Kesehatan Metabolik dan Penurunan Berat Badan di Universitas Yale, BMI tidak mempertimbangkan beberapa aspek penting seperti usia, jenis kelamin biologis, serta distribusi otot dan lemak tubuh.
“Angka BMI yang tinggi memang bisa menunjukkan risiko penyakit metabolik, tapi itu bukan gambaran keseluruhan,” ujar Mehal.
Contohnya, atlet profesional seringkali memiliki massa otot yang tinggi sehingga BMI mereka tampak tinggi, namun mereka sebenarnya sangat sehat. Sebaliknya, ada individu yang memiliki BMI normal namun menyimpan lemak dalam jumlah tinggi di tubuhnya—kondisi ini dikenal sebagai obesitas berat badan normal atau secara informal disebut “skinny fat”.
Persentase Lemak Tubuh: Ukuran yang Lebih Relevan?
Menanggapi kekurangan BMI, tim peneliti dari University of Florida Health melakukan analisis terhadap data kesehatan 4.252 orang dewasa usia 20–49 tahun yang dikumpulkan pada 1999–2004. Mereka mengamati tinggi badan, berat badan, lingkar pinggang, serta persentase lemak tubuh (BF%) melalui metode bioelectrical impedance analysis, yaitu teknik non-invasif yang mengukur komposisi tubuh seperti lemak, otot, dan cairan.
Setelah mengaitkan data tersebut dengan catatan kematian hingga tahun 2019 dan menyesuaikan faktor usia serta ras, hasilnya cukup mengejutkan:
- Tidak ada hubungan signifikan antara kategori BMI obesitas (≥25 kg/m²) dengan peningkatan risiko kematian dibandingkan dengan individu yang memiliki BMI “sehat”.
- Persentase lemak tubuh terbukti lebih akurat dalam memprediksi kematian. Individu dengan BF% tinggi—yakni 27% ke atas untuk pria dan 44% ke atas untuk wanita—memiliki risiko kematian 78% lebih tinggi dari penyebab apa pun.
- Meskipun lingkar pinggang juga berkaitan dengan risiko kematian, akurasinya masih kalah dibandingkan dengan BF%.
Kesimpulan dan Implikasi Kesehatan
Studi ini memperkuat pandangan bahwa BMI bukan satu-satunya tolok ukur kesehatan tubuh yang bisa diandalkan. Di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya evaluasi kesehatan yang lebih personal, pengukuran komposisi tubuh seperti persentase lemak tubuh kini dianggap lebih representatif terhadap risiko kesehatan jangka panjang.
Bagi masyarakat umum, pemeriksaan BF% bisa menjadi langkah awal dalam memahami kondisi tubuh secara lebih menyeluruh. Konsultasi dengan dokter atau ahli gizi juga penting untuk menyesuaikan strategi hidup sehat berdasarkan kondisi tubuh yang sebenarnya—bukan semata angka di timbangan. (bin)
Sumber: Health.com
Tinggalkan Balasan