

Belakangan ini pemerintah getol menggagas obat tradisional masuk klaim JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Sejatinya prakarsa tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Pasalnya sudah cukup lama pemerintah berupaya, agar obat tradisional diakomodasi dalam formularium nasional. Langkah tersebut bisa dipahami. Kata kuncinya adalah soal efisiensi anggaran pengobatan.
Hingga kini Indonesia masih sangat bergantung pada luar negeri, untuk pemenuhan obat-obatan. Sekitar 90-95 persen bahan bakunya, masih harus diimpor. Dampaknya harga obat-obatan di dalam negeri, disebut termahal di kawasan Asia Tenggara. Terjadi kenaikan nilai impor produk obat dan farmasi tiap tahunnya. Tahun 2024 bernilai 233,66 miliar USD. Artinya mengalami kenaikan 5,31 persen dibanding tahun 2023.
Kemandirian kefarmasian, mutlak memerlukan dukungan pemenuhan bahan bakunya. Sebenarnya negara kita tergolong memiliki bahan mentah obat tradisional yang melimpah. Namun pemanfaatannya terkendala pada proses standarisasi dan saintifikasi yang memerlukan pendanaan riset yang sangat besar.
Di negara-negara berkembang, obat tradisional merupakan tulang punggung sistem pelayanan kesehatannya. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 80 persen masyarakat Afrika menggunakannya. Ada pula negara maju yang memanfaatkannya. Misalnya Tiongkok dengan Traditional Chinese Medicine (TCM). Demikian pula Jepang, Perancis, Inggris, Kanada, dan bahkan Amerika Serikat. India terkenal dengan ayurvedanya. Di benua Amerika, sebagian penduduk Chile dan Kolumbia , sangat familier dengan obat tradisional herbal.
Kemajuan teknologi dan pengobatan modern, tidak serta merta menghapus peran pengobatan tradisional. Faktanya industri obat-obat herbal terus berkembang. Prospek ekonominya sangat menguntungkan. Alasannya cukup sederhana. Lebih mudah diakses dan dengan biaya yang relatif lebih terjangkau. Penggunaannya juga sejalan dengan mindset masyarakat.
Baca juga: https: Tantangan Menyelaraskan Dikotomi Obat Herbal dan Konvensional
Evidence based medicine
Ada beberapa contoh obat herbal yang cukup dikenal dan populer penggunaannya. Misalnya ginseng, elderberry, ginkgo biloba, valerian, echinacea, kamomil, dan St John’s wort. Bahan berkhasiat ginseng (ginsenosides) berasal dari akar suatu tanaman. Di Tiongkok, digunakan sebagai anti peradangan dan memperkuat imunitas, fungsi otak, serta meningkatkan energi.
Di dalam negeri, misalnya kunyit dan jahe sangat familier sebagai bahan herbal terkemuka. Pada saat awal pandemi, keduanya diyakini dapat mencegah paparan COVID-19.
Kunyit mengandung curcumin sebagai senyawa aktifnya. Konon dapat digunakan melawan peradangan kronis, anti nyeri, sindrom metabolik, dan mengurangi kecemasan. Curcumin dianggap aman. Namun dalam dosis tinggi, bisa mengakibatkan diare, sakit kepala, atau iritasi kulit.
Jahe adalah sejenis tanaman rimpang atau batang yang tumbuh di bawah tanah. Senyawa yang dikandungnya diklaim sebagai obat pilek, mual terutama yang terkait dengan kehamilan), migrain, dan tekanan darah tinggi. Penerapannya belum memiliki bukti ilmiah yang sahih.
Karena berasal dari sumber alam, obat herbal diasumsikan aman. Padahal tidak seluruhnya benar. Seperti juga obat konvensional, herbal dapat memicu reaksi alergi atau efek samping yang serius. Bisa pula menimbulkan interaksi dengan obat-obatan konvensional. Misalnya St.John’s wort, berpotensi bahaya bila digunakan bersama dengan obat antidepresan. Aspirin berisiko memicu perdarahan, bila digunakan bersamaan dengan ginkgo biloba. Mayoritas obat herbal belum memiliki data keamanan yang sahih, jika digunakan pada perempuan hamil/menyusui.
Kini era pelayanan kesehatan harus berbasiskan pada bukti ilmiah yang sahih (evidence based medicine/EBM). Obat herbal selayaknya juga mesti mengikuti kaidah tersebut (etis, efektivitas, keamanan). Tidak cukup hanya berbasiskan testimoni, “branding”, atau iklan semata. Publikasinya sering kali bias. Kesimpulan risetnya umumnya dikatakan : “belum ada cukup bukti”, “sampelnya terlalu kecil”, atau “metodologinya lemah”. Hal itu bisa “dimaklumi”. Sebab bukti empirisnya hanya dilakukan melalui uji laboratoris (invitro), atau pada hewan coba saja. Belum tentu hasil positif keduanya akan sesuai, jika diterapkan pada manusia (invivo). Untuk memenuhi kriteria EBM, diperlukan waktu yang panjang dan dukungan dana riset yang besar.
Fitofarmaka
Sejatinya cukup banyak obat-obatan konvensional yang berbasis fitofarmaka. Contohnya adalah opium. Golongan opiat, seperti juga morfin dan kodein, diekstraksi dari tanaman poppy. Efeknya kuat pada susunan saraf pusat. Pemanfaatan medis utamanya sebagai anti nyeri, meski kerap kali juga disalahgunakan. Ada pula senyawa yang diekstrak dari kulit batang pohon Pacific yew (Taxus brevifolia). Substansi aktifnya adalah takse. Kini digunakan sebagai obat anti kanker dengan nama Paclitaxel.
Perlu diimplementasikan Instruksi Presiden No.6 tahun 2016, tentang percepatan pengembangan industri farmasi. Tujuannya untuk mewujudkan kemandirian, meningkatkan daya saing, dan mendukung pelaksanaan JKN. Seyogianya hal itu perlu dipahami dan didukung semua pihak.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan