

Regulasi kesehatan haji, antara lain berbasiskan data akurat khususnya terkait epidemiologi dan risiko persebaran penyakit. Sifatnya sangat dinamis, mengikuti pola perkembangan suatu penyakit yang dari waktu ke waktu bisa berubah. Aspek edukasi dan pencegahan, khususnya vaksinasi, menjadi pilar penting. Seyogianya itu dipahami calon jemaah haji (CJH) ataupun biro pelaksana perjalanannya.
Umumnya sekitar dua hingga tiga juta umat Muslim yang berasal dari seluruh dunia, akan melaksanakan rukun Islam kelima itu. Arab Saudi sebagai tuan rumah, memiliki “hak prerogatif” dalam mengatur masuknya jemaah haji (JH). Misalnya terhadap negara tertentu yang sedang dilanda wabah. Pada tahun 2012, Arab Saudi tidak mengizinkan masuknya JH dari Uganda. Penyebabnya terjadi wabah Ebola di negara Afrika tersebut. Peraturan yang sama diberlakukan untuk Guinea, Liberia, dan Sierra Leone, pada tahun 2014 dan 2015. Sebaliknya terjadi pada musim haji tahun 2013 dan 2014. Sejak Arab Saudi dilanda kasus Middle East Respiratory Syndome Coronavirus (MERS-CoV) pada tahun 2012, JH dari seluruh dunia diminta lebih waspada. Khususnya terhadap unta yang merupakan sumber penularan. Pasalnya saat itu MERS-CoV telah menyebar di 27 negara. Arab Saudi berkontribusi sebesar 85 persen dari total seluruh kasus yang dilaporkan.
Hingga kini Arab Saudi masih menerapkan aturan wajib vaksinasi bagi JH yang berasal dari negara endemis Yellow Fever/demam kuning. Sebagian besar negara-negara tersebut berasal dari Afrika dan Amerika Selatan. Demikian pula dengan pencegahan transmisi meningitis. Tanpa kecuali semua JH dari seluruh dunia, harus menunjukkan bukti telah dilakukan vaksinasi meningitis quadrivalent (ACYW135). JH yang berasal dari negara-negara dengan angka meningitis meningokokus yang tinggi (“Meningitis Belt”), harus diberi tablet pencegahan juga. “Meningitis Belt” berasal dari sebagian negara Afrika.
Seiring pemulihan dunia pasca pandemi COVID-19, Arab Saudi berkomitmen meningkatkan jumlah JH secara bertahap. Sejak tahun 2025, diproyeksikan mampu menerima kedatangan 15 juta JH dan Umrah internasional setiap tahunnya.
Istithaah haji
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 15 tahun 2016, menjadi instrumen penting penentuan istithaah kesehatan JH. Menurut Permenkes tersebut, istithaah mempunyai makna kemampuan JH secara jasmaniah, rohaniah, pembekalan, dan keamanan, untuk menunaikan ibadah haji. Fokusnya pada JH lansia dan yang berkategori risiko tinggi (Risti). Misalnya yang memiliki berbagai kondisi penyakit/komorbid. Tujuannya mempersiapkan menghadapi situasi geografi Arab Saudi yang “kurang ramah” dari sisi kesehatan. Suhu ekstrem dan kepadatan massa, patut diperhitungkan. Diprediksi pada musim haji tahun 2025 M/1446 H, masih bertepatan dengan musim panas. Saat wukuf di padang Arafah, kepadatannya diperkirakan bisa mencapai 1,8 meter/orang dan 0,8 meter/orang di Mina. Situasi itu bisa membuat JH “sulit bergerak”. Risiko terjadinya penularan penyakit pun, akan meningkat signifikan. Dampak buruknya terutama menyasar pada JH lansia dan Risti.
Aturan baru haji 2025
Indonesia telah dipastikan mendapatkan kuota sebesar 221 ribu. Tetapi berbeda dengan musim haji sebelumnya, JH Risti tidak diizinkan ikut berhaji pada tahun 2025. Mereka itu antara lain yang terindikasi memiliki penyakit tidak menular (PTM), misalnya ginjal, jantung, paru, lever, dan kanker. Penyandang tuberkulosis (TB) sebagai penyakit menular (PM), juga tidak diizinkan menunaikan ibadah haji. Selain akibat penyakit kronik/PTM yang diidapnya, JH Risti berisiko lebih mudah terpapar PM. Mereka tergolong memiliki gangguan sistem imunitas (immunocompromised). Dampak negatifnya tidak mampu memberikan respons proteksi yang optimal, pasca dilakukannya vaksinasi. Bila terpapar PM/infeksi, berisiko lebih gampang mengalami penyakit berat. Bahkan berujung pada kematian.
Saat ini Indonesia memiliki penyandang TBC terbanyak kedua di dunia, setelah India. Jumlahnya diperkirakan mencapai 1.060.000 kasus. Di antaranya sebanyak 24 ribu , merupakan Tuberkulosis Resistan Obat (TBC RO). Setiap tahunnya bertanggungjawab atas 134 ribu kematian penyandangnya. Artinya identik dengan 17 orang meninggal setiap jamnya akibat TBC. Sangat mungkin realitas kasus yang ada di masyarakat, jauh melampaui catatan tadi. Pasalnya persoalan TBC ibarat fenomena gunung es. Kasus-kasus yang tidak terdeteksi, bisa berjumlah hingga sepuluh kali lipat, bila dibanding yang terkonfirmasi. Mayoritas penyandangnya enggan terbuka menyangkut kondisi kesehatannya. Sering kali mereka justru mengalami stigma dan akhirnya terdiskriminasi, bila diketahui mengidap TBC oleh warga sekitarnya. Peta TBC di Indonesia itu, mengkhawatirkan banyak negara. Wajar kiranya bila Arab Saudi tidak mengizinkan negara kita mengirimkan JH yang terindikasi TBC.
Setelah selama puluhan tahun polio “menghilang”, kini kasusnya mulai bangkit kembali. Contohnya di Gaza-Palestina. Imbas perang, wilayah tersebut terdeteksi sebagai tempat berkembang biaknya virus polio. Sanitasi yang buruk menjadi biang masalahnya. Jeda pertempuran memberi kesempatan melakukan vaksinasi polio pada sedikitnya 600 ribu anak. Harapannya dapat menekan persebaran polio ke seantero dunia. Pada saat yang sama, Afganistan dan Pakistan sebagai negara endemis polio, telah melaporkan peningkatan kasusnya. Di negara kita, kejadian luar biasa (KLB) polio telah dilaporkan di Jatim dan Jateng. Karena itu pada tahun 2024, vaksinasi polio diwajibkan khusus bagi JH yang berasal dari kedua provinsi tadi. Merupakan langkah tepat, bila vaksinasi polio diwajibkan bagi semua JH tahun 2025.
Baru-baru ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan berita KLB terkait virus influenza. Di Australia, Amerika Serikat, dan Kamboja, terdeteksi flu burung (H5N1), Meksiko (H5N2), Vietnam (H9N2). Semua varian virus tadi, termasuk dalam “keluarga” virus Influenza yang ganas dan sangat menular. Karena itulah kewaspadaan harus ditingkatkan, agar tidak terjadi eskalasi menuju tingkat pandemi seperti flu Spanyol pada tahun 1918. Mewajibkan vaksinasi Influenza pada semua JH, merupakan keputusan yang tepat.
Semoga aturan haji yang baru, dapat direspons dengan saksama oleh pemerintah Indonesia.
—000—
*Penulis:
- Staf pengajar senior di :Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :Serial Kajian COVID-19 (tiga seri) dan Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan