
Beijing (Trigger.id) – Pemerintah Tiongkok kembali menggulirkan wacana pembatasan penggunaan internet dan media sosial bagi kalangan muda, memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Meskipun sebagian pemuda mengakui bahwa mereka terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya, banyak yang skeptis terhadap efektivitas kebijakan baru ini.
Dalam pertemuan politik tahunan yang baru saja berakhir di Beijing, mantan bintang basket internasional Yao Ming turut menyuarakan kekhawatiran serupa. Ia mengusulkan agar pelajar wajib mematikan semua perangkat elektronik selama satu hari setiap semester dan diarahkan untuk berolahraga di luar ruangan.
Selain itu, sejumlah pejabat menyerukan pengawasan lebih ketat terhadap game online dan konten internet yang dianggap berbahaya. Mereka menilai penggunaan internet secara berlebihan mengganggu kesehatan fisik dan prestasi akademik anak di bawah usia 18 tahun.
Padahal, Tiongkok selama ini sudah dikenal sebagai negara dengan pengawasan internet paling ketat di dunia. Ribuan situs web dan platform media sosial asing diblokir, namun jumlah pengguna internet di Tiongkok tetap menjadi yang terbesar secara global.
Di media sosial lokal, beberapa warganet mendukung langkah pemerintah, tetapi banyak juga yang mempertanyakan logika kebijakan tersebut. Mereka menilai kebijakan ini bertentangan dengan kenyataan bahwa siswa sudah sibuk di sekolah dan masih harus mengandalkan internet untuk tugas-tugas mereka.
“Sekolah mestinya mengurangi tugas yang memaksa siswa cek aplikasi atau mencari bahan secara online,” tulis seorang pengguna dari Hebei.
“Anak-anak baru pulang sekolah jam 9 atau 10 malam. Kapan mereka sempat main media sosial?” ujar warganet lain dari Beijing.
Seorang mahasiswi di Beijing yang mewawancarai VOA, mengatakan bahwa walau niatnya baik, kebijakan seperti yang diusulkan Yao Ming kemungkinan tidak akan berdampak besar. Ia menyebut bahwa kecanduan internet sudah merajalela di kalangan remaja, sehingga mematikan gadget sehari saja tak akan menyelesaikan masalah.
“Anak-anak muda di Tiongkok benar-benar kecanduan internet. Di jalanan pun kita lihat orang berjalan sambil main ponsel. Kita memakai internet untuk hampir semua hal,” katanya.
Laporan 2024 China Game Industry Minor Protection Report menunjukkan bahwa hingga Desember 2023, terdapat 196 juta pengguna internet di bawah 18 tahun di Tiongkok. Sebanyak 97,3% anak-anak dan remaja memiliki akses internet.
Will Wang, mahasiswa Tiongkok yang berkuliah di Amerika Serikat, menyatakan bahwa saat pulang ke Beijing, ia melihat remaja sangat aktif di platform seperti TikTok, RedNote, dan Bilibili. Ia menilai internet menjadi ruang privat yang jarang dimiliki anak muda Tiongkok di tengah rutinitas belajar yang padat.
“Banyak remaja Tiongkok tak punya ruang pribadi di rumah atau sekolah. Jadi, internet jadi satu-satunya tempat mereka bisa bersosialisasi atau menenangkan diri,” jelasnya.
Komentator media asal Hong Kong, Xu Quan, menilai internet justru bisa membantu remaja menghadapi tekanan hidup mereka. Menurutnya, menghilangkan akses internet secara total justru akan berdampak buruk pada kesejahteraan mental dan fisik anak-anak.
Upaya pembatasan ini bukan hal baru. Pada 2020, Tiongkok merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak dan memasukkan bab khusus tentang perlindungan internet. Tahun 2021, pemerintah juga membatasi waktu bermain game bagi anak-anak: dilarang bermain antara pukul 10 malam hingga 8 pagi dan hanya diperbolehkan bermain maksimal satu jam per hari di hari biasa atau dua jam di akhir pekan.
Saat liburan Tahun Baru Imlek 2025, Tencent Games bahkan mengeluarkan kebijakan “waktu bermain terbatas” untuk anak-anak, yang hanya memperbolehkan total 15 jam bermain selama 32 hari libur.
Namun, berbagai aturan tersebut seringkali bisa diakali, misalnya dengan menggunakan akun dewasa yang tidak dibatasi.
A Qiang, mantan pekerja media Tiongkok, pesimistis dengan usulan-usulan yang muncul dalam pertemuan politik tersebut. Menurutnya, semua ini hanya retorika tanpa aksi nyata. Solusi sejatinya, kata dia, bukan membatasi kebebasan online anak-anak, tapi mengurangi beban akademis yang berat di kehidupan nyata mereka.
“Masalahnya bukan mereka terlalu bebas di internet, tapi justru terlalu terkungkung di kehidupan offline,” tegasnya. (bin)
Tinggalkan Balasan