

Perang Korea (tahun 1950-1953) tidak hanya mengakibatkan krisis kemanusiaan. Saat itu, lebih dari tiga ribu tentara Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa terpapar infeksi “misterius”. Gejalanya didominasi perdarahan dan gangguan fungsi ginjal. “Demam berdarah Korea” sebutannya kala itu, menimbulkan trauma bagi dunia medis. Melalui riset yang cukup panjang, penyebabnya baru dapat diidentifikasi pada tahun 1976-1978. Virus Hanta (Hantaan virus/HNTV) adalah biang keladinya. Dasar penamaannya, merujuk pada aspek sejarah. Sebab, awal mula kasusnya banyak ditemukan di sekitar aliran sungai Hantan-Korea. Inang alamiahnya adalah tikus spesies tertentu (Apodemus agrarius). Kini tikus got dan tikus rumah, dapat pula bertindak sebagai inang lainnya. Dengan semakin pesatnya riset virologi, HNTV strain HFRS (hemorrhagic fever with renal syndrome) diketahui sebagai momok “demam berdarah Korea”. Sejatinya masih ada cukup banyak strain HNTV yang masing-masing menimbulkan sindrom (kumpulan gejala) spesifik.
HFRS menyiratkan gejala demam berdarah dan gagal ginjal akut, sebagai manifestasi utamanya. Angka kematiannya berkisar antara satu hingga 15 persen. Strain lainnya, yakni Hantavirus Pulmonary syndrome (HPS), mengakibatkan dampak klinis yang lebih parah. Gagal napas yang memerlukan penatalaksanaan intensif dengan bantuan ventilator, menjadi risiko utamanya. Mortalitasnya dapat mencapai sekitar 40 persen.
Kini HNTV strain HFRS, mulai menyasar ke Indonesia. Sedikitnya sudah ada delapan kasus yang terdeteksi di empat provinsi (Jabar, DIY, NTT, Sulut). Selain negara kita, ada beberapa negara-negara lainnya yang juga melaporkan kasus serupa. Misalnya Rusia Timur, beberapa negara Eropa, dan Asia (terutama Tiongkok). Di belahan dunia lainnya, HNTV strain HPS terutama menyasar Amerika Utara dan Selatan.
Pola penularan
Kencing dan kotoran tikus yang mengering, tercampur dengan debu yang akhirnya dapat terhirup memasuki saluran napas manusia. Selain paparan dalam bentuk aerosol, penularan dapat terjadi melalui gigitan tikus. Sebagai penyakit zoonosis, HNTV sangat jarang menular antar manusia. Strain Andes adalah satu-satunya HNTV yang dapat menular antar manusia. Sifatnya sangat virulen/ganas. Penyebarannya lebih dominan di kawasan Amerika Selatan.
Dari berbagai riset epidemiologi, mayoritas penularan berasal dari sekitar rumah (50 persen kasus). Tempat-tempat lainnya yang berpotensi sebagai sumber penularan adalah tempat kerja (sepuluh persen) dan destinasi wisata (lima persen). Sisanya tidak dapat diidentifikasi asal paparannya.
Petani, orang-orang yang bekerja di bidang perkebunan, dan pekerja kebersihan saluran air/sampah, paling berisiko terpajan virus.
Gejala
Pada umumnya masa inkubasi berlangsung sekitar 12-16 hari. Strain HFRS memantik pola penyakit yang terdiri dari lima fase. Gejala awal/fase satu adalah demam tinggi. Selanjutnya diikuti dengan anjloknya tekanan darah/hipotensi (fase dua). Akibatnya produksi kencing menjadi sangat berkurang (fase tiga). Pada tahap ini, bila tidak mendapatkan penanganan yang optimal berisiko memicu gagal ginjal akut. Karena itulah tidak jarang diperlukan bantuan hemodialisis (cuci darah). Jika fase tiga dapat terlewati, diikuti dengan produksi urine yang meningkat drastis (fase empat). Selanjutnya kondisi pemulihan, merupakan fase terakhir (lima).
HNTV strain HPS menampilkan pola klinis yang berbeda. Umumnya masa inkubasinya berlangsung antara tujuh hingga 39 hari. Kadang keluhan awalnya mirip gejala flu. Sakit kepala dan pegal/ngilu, dirasakan di seluruh otot bagian tubuh. Selanjutnya gangguan pernapasan dapat berkembang dengan cepat. Pada fase ini, gambaran klinis yang tampak adalah sesak napas, sembab paru, hipotensi, dan syok. Jika terlambat ditangani, gagal napas berpotensi besar dapat segera timbul. Karena itulah pengelolaan di ruang perawatan intensif diperlukan, dengan disertai dukungan peralatan bantu napas (ventilator). Tanda lainnya, terjadi penurunan yang tajam produksi urine. Kadang pula disertai bercak-bercak perdarahan, hingga perdarahan masif. Tidak mengherankan, angka mortalitas strain HPS lebih tinggi dibanding HFRS.
Hingga kini belum ada pengobatan anti virus spesifik terhadap infeksi HNTV. Pengobatan hanya bersifat suportif saja. Vaksinasi untuk pencegahan pun, belum tersedia. Mencegah lebih baik daripada mengobati, masih proporsional diterapkan untuk menghadapi HNTV. Meminimalkan kontak dengan tikus, merupakan tindakan pencegahan yang terbaik. Ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup, dapat membantu menetralkan virus. Alat pelindung diri dan rajin mencuci tangan, penting diterapkan jika berhadapan dengan tikus dan ekskretanya.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan