
Oleh: dr. Ari Baskoro SpPDK, AI – (Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya}

Ketika musim hujan tiba, selalu diiringi berita soal banjir. Banyak daerah di Indonesia yang rutin menjadi “langganan” banjir.“Musibah” itu banyak terkait dengan berbagai persoalan lingkungan yang belum dapat dituntaskan. Surutnya air yang memerlukan waktu berkepanjangan, menciptakan peluang timbulnya masalah baru.
Air yang tergenang, merupakan habitat ideal bagi berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti. Lingkungan hidup yang paling disukainya,banyak berdekatan dengan aktivitas manusia sehari-hari.Darah manusia yang dihisapnya, merupakan sumber utama nutrisi dan pematangan sel-sel telurnya.Nyamuk berwarna hitam dengan belang putih di sekujur tubuhnya ini, cenderung aktif pada pagi hingga siang hari. Ketika menggigit manusia, akan disertai masuknya air liur yang mengandung virus dengue.
Dari tahun ke tahun, jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) selalu berfluktuasi. Mengikuti irama musim.Sifatnya endemis dan bisa menyerang siapa saja. Terbanyak pada rentang usia antara 14 hingga 44 tahun. Tanpa kecuali, semua provinsi di Indonesia bisa terjangkit. Namun demikian provinsi yang padat penduduk, terutamadi seluruh pulau Jawa dan Kalimantan Timur, paling banyak dilaporkan kasusnya. Insidennya diperkirakan mencapai 40 per 100 ribu penduduk.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), DBD merupakan salah satu dari sepuluh ancaman terhadap masalah kesehatan global. Lebih dari setengah populasi di seluruh dunia, berisiko terpapar virus dengue. Setiap tahunnya diperkirakan sebanyak 390 juta penduduk dunia terinfeksi. Pada gilirannya, sebanyak 36 ribu di antaranya, tidak dapat diselamatkan jiwanya.
Indonesia merupakan negara yang terkena dampak tertinggi di dunia, akibat beban pembiayaan perawatan DBD. Biaya ekonominya diperkirakan mencapai US$355,2 juta yang tersedot untuk perawatan di rumah sakit. Di sisi lain, “hanya” sebesar US$26,2 juta, jumlah anggaran yang dialokasikan untuk kasus-kasus rawat jalan. Data tersebut tercatat pada tahun 2015. Sangat mungkin beban ekonomi itu, akan semakin melonjak dari tahun ke tahun.
Pencegahan dan pengendalian DBD, tidak selalu mudah dilakukan. Gerakan satu rumah, satu jumantik (G1R1J), dan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), banyak mengalami kendala di lapangan. Tanpa pemahaman dan partisipasi semua warga masyarakat, tindakan-tindakan preventif ini dinilai kurang efektif.
Virus dengue
Terdapat empat jenis virus dengue. Masing-masing memiliki spesifikasi. Dalam bidang virologi, keempat serotipe itu diberi nama DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Semuanya dapat ditemukan di seluruh wilayah Nusantara. Di setiap daerah, memiliki pola dominasi serotipe yang relatif berbeda-beda, antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Seseorang dimungkinkan dapat terserang DBD sebanyak empat kali.
Infeksi DBD memang unik. Polanya spesifik. Paradigmanya hampir tidak didapatkan pada jenis infeksi oleh mikroba lainnya.Pasca terpapar untuk pertama kalinya (primary dengue) oleh salah satu serotipe tertentu DENV, maka individu tersebut akan kebal terhadap serotipe yang sama. Imunitasnya berlangsung dalam tempo yang panjang. Tetapi di sisi lain, kekebalan ini hanya bersifat temporer terhadap tigaserotipe lainnya. Biasanya hanya berjangka waktu relatif singkat.Sekitar dua hingga tiga bulan saja. Setelah periode waktu itu, individu tersebut rentan terinfeksi oleh tiga serotipe lainnya. Dampak klinis paparan yang kedua, justru berisiko menjadi lebih berat.
“Musuh dalam selimut”
Pasca infeksi primer, seseorang akan dapat memproduksizat kebal yang disebut antibodi. Secara bersamaan,dihasilkanpula“memori”sel imun. Fungsinya krusial dalam “mengingat” dan segera merespons, bila terpapar oleh serotipe virus yang sama. Oleh karenanya, infeksi ulang dengan serotipe virus yang sama,tidak akan terjadi. Persoalannya menjadi sangat kontras, tatkala individu tersebut terpapar oleh serotipevirus yang berbeda (secondary dengue).
Antibodi yang seharusnya bersifat protektif/menetralisasi, “anehnya”malah menjadi “teman” bagi serotipe virus yang berbeda berikutnya itu. Dengan pola analogi “musuh dalam selimut”, antibodi tersebut “dimanfaatkan” oleh serotipe virus yang berbeda. Mekanisme tersebut justru memicu replikasi virus di dalam monosit (bagian sel darah putih/lekosit), dalam jumlah besar. Selanjutnya diikuti pula dengan penyebarannya ke seluruh sirkulasi darah (viremia).Dampak klinisnya berisiko menjadi lebih berat. Akibatnya bisa diperparah, bila individu tersebut memiliki latar belakang penyakit kronis (misalnya asma, diabetes), dan genetik tertentu.
Mekanisme penyakit dengan analogi “musuh dalam selimut” tersebut, dikenal dengan istilah antibody dependent enhancement (ADE). Model peristiwa semacam itu, diduga dapat terjadi pada Covid-19 dan vaksinnya. Tetapi hingga kini, hipotesis tersebut belum dapat dibuktikan kebenarannya.
Manifestasi klinis
Gejala klinis DBD relatif mudah dikenali. Meski demikian, tidak jarang terlewatkan begitu saja.Karena sering dianggap sebagai “demam biasa”, atau diperkirakan seperti penyakit lainnya. Lambatnya deteksi, bisa berdampak fatal. Gambaran klinis antara satu serotipe dengan lainnya, mempunyai pola yang sama.
Demam menjadi gejala utama. Kadang bisa mencapai 40 derajat Celsius. Gejala lainnya dapat berupa nyeri kepala (terutama area sekitar belakang mata), nyeri sendi dan otot-otot, serta badan terasa lemas. Tidak jarang pula timbul mual, muntah-muntah, nyeri ulu hati, dan batuk. Kecurigaan akan semakin menguat, dengan munculnya bintik-bintik merah. Terutama pada anggota gerak.
Kategori penyakit infeksi virus dengue, seperti suatu spektrum. Mulai demam dengue (DD), hingga DBD derajatIV/empat yang disertai syok/renjatan hebat. Bahkan sering disertai pula dengan perdarahan hebat yang bisa berujung pada kematian. Pada prinsipnya semakin dini deteksi dan penanganannya, akan semakin baik prognosisnya.
Vaksinasi
Vaksinasi terbukti merupakan cara yang paling efektif dalam mencegah transmisi dan pengendalian dampak penyakit infeksi menular. Rekam jejaknya tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian tidak mudah untuk mendapatkan vaksin yang tepat. Setiap penyakit infeksi mempunyai karakteristik vaksinnya yang spesifik. Demikian pula untuk vaksin DBD. Risetnya memakan waktu yang sangat panjang. Bahkan diwarnai pula dengan kegagalan dan kendala cara penerapannya.
Saat ini vaksin DBD telah tersedia.Pengembangannya terutama difokuskan pada aspek keamanannya. Mekanisme terjadinya ADE, merupakan pertimbangan utama penerapan vaksinasi.
Vaksin DBD “generasi pertama” telah direkomendasikan penggunaannya sejak tahun 2015. WHO, Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat dan European Medicines Agenncy telah menyetujuinya. Di negara kita, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), telah mengeluarkan izin edarnya pada tahun 2016. Penerapan vaksin “generasi pertama” ini, harus disertai “rambu-rambu” yang ketat. Untuk menghindari terjadinya ADE, penggunaannya harus diawali dengan skriningpra-vaksinasi, berupa tes serologi antibodi.Bila tes antibodinya positif, pemberian vaksin tersebut sangat bermanfaat. Dengan kata lain, jenis vaksin ini tidak diindikasikan untuk mencegah terjadinya primary infection/primary dengue. Jadi hanya berguna untuk mencegah secondary dengue.
Vaksin generasi terbaru yang lebih mudah cara penerapannya, telah dapat digunakan. BPOM telah mengeluarkan izin edar vaksin tersebut yang dinamakan Qdenga, pada tanggal 19 Agustus 2022. Vaksin “generasi kedua” ini,merupakan virus yang dilemahkan (live attenuated tetravalent dengue vaccine/TDV).Tulang punggung komponen antigennya, berasal dari DENV-2 yang sudah dilemahkan (attenuated). Untuk struktur komponen TDV-1, TDV-3, dan TDV-4, dalam bentuk rekombinan denganDENV-2.
Tingkat efikasinya dalam mencegah penularan,sebesar 80,2 persen. Di sisi lain, efikasi pencegahan perawatan di rumah sakit, dapat mencapai 95,4 persen. Indikasi pemberiannya bagi individu yang berusia enam hingga 45 tahun. Hal yang menarik adalah, tidak diperlukannya lagi skrining pra-vaksinasi. Diberikan sebanyak dua dosis, dengan interval waktuantara dosis pertama dan kedua selama tiga bulan. Semoga vaksin DBD dapat menjadi prioritas dalam upaya pencegahan dampak buruk DBD di tanah air.
Tinggalkan Balasan