
Oleh: dr. Ari Baskoro SpPD K-AI (Divisi Alergi-Imunologi KlinikDepartemen/KSM Ilmu Penyakit DalamFK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya)

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, terjadi lonjakan kasus infeksi menular seksual (IMS) selama lima tahun terakhir ini. Contohnya adalah sifilis.
Semula pada tahun 2018, tercatat “hanya” terjadi pada 12.484 orang. Angka itu melejit menjadi 20.783 kasus, pada tahun 2022. Kenaikannya sebesar 70 persen. Sungguh suatu realitas yang memprihatinkan.
Mungkin data peningkatan kasus HIV lebih mengagetkan lagi. Tidak mudah untuk mengetahui dengan pasti, berapa jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia saat ini. Itu ibarat fenomena gunung es, kasus yang tampak/terdeteksi, hanya merupakan bagian kecil dari jumlah kasus yang sesungguhnya.
Tetapi mengacu pada data Kemenkes RI 2021, tercatat sebanyak 543.100 ODHA. Persentasenya didominasi rentang usia 25-49 tahun (71,3 persen). Peringkat berikutnya adalah usia antara 20-24 tahun (16,3 persen). Anak-anak juga terkena imbasnya. Berturut-turut pada usia di bawah lima tahun (0,5 persen) dan 5-14 tahun (1,2 persen).
Setiap tahunnya, diperkirakan terjadi pertambahan sebanyak 5.100 kasus HIV baru pada kelompok ibu rumah tangga (IRT). Angka itu mencakup 35 persen kasus yang ternyata lebih tinggi persentasenya dibanding kelompok lainnya (suami, pekerja seks dan man sex with man/MSM).
Menurut Kemenkes, penularan HIV dari suami ke istri, menyumbang 30 persen kasus HIV pada IRT. Dampaknya beranting pada meningkatnya angka HIV pada anak.
Saat ini diperkirakan, sebanyak 14.150 anak “terpaksa” sebagai penyandang HIV. Bayi yang lahir dari ibu positif HIV, sebanyak 45 persennya akan tertular. Setiap tahunnya terjadi pertambahan 700-1000 anak dengan HIV.
Generasi penerus bangsa itu, berisiko sepanjang hidupnya akan membawa virus yang dapat merontokkan sistem kekebalan tubuh.
Tingginya stigma masyarakat dan rendahnya pengetahuan, berdampak pada IRT yang memilih “sembunyi” dan tidak memeriksakan diri. Banyak pula yang menganggapnya tabu untuk diketahui orang lain. Alhasil penularan IMS dari ibu hamil ke bayinya juga semakin meningkat.
Situasi itu agaknya tidak sesuai dengan harapan. Kementerian Sosial telah menargetkan, bahwa tahun 2019 Indonesia harus bebas dari lokalisasi. Saat itu tercatat ada sebanyak 168 lokalisasi di seluruh tanah air.
Pekerja seks perempuan (PSP) yang menghuni lokalisasi , sedikitnya mencapai 40 ribu orang. Namun angka tersebut banyak diragukan validitasnya.
Koordinator Nasional Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) mengungkapkan, estimasi PSP di seluruh Indonesia bisa mencapai 230 ribu orang pada tahun 2019. Lokalisasi pelacuran dituding banyak membawa dampak merugikan. Beberapa aspek yang bisa terkena imbasnya antara lain, dapat menimbulkan penyebaran penyakit kelamin, merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, moral, susila, hukum , serta agama (Kartono,2014).
Tetapi tidak sedikit pakar yang mempunyai pendapat berbeda. Beberapa pihak mengkhawatirkan, khususnya pengendalian IMS akan menjadi semakin sulit. Apabila tanpa dilakukan persiapan dengan matang, para pekerja seks komersial (PSK) akan tetap menjalankan “profesinya” secara terselubung/ilegal. Banyak cara yang bisa digunakan untuk menyiasatinya.
Imbasnya potensi penularan IMS di luar kelompok berisiko, misalnya pada IRT dan bayi akan meningkat. Pasalnya dinas terkait (kesehatan dan sosial) serta LSM kesehatan, akan kesulitan mendata, memantau, dan memberi pelayanan kesehatan. Penyampaian program pemberdayaan pun menjadi tidak jelas sasarannya.
Diksi yang sering terucap adalah, memberantas lokalisasi tidak akan serta merta berdampak menghilangkan prostitusi. Infeksi menular seksual (IMS) IMS adalah penyakit yang dapat ditransmisikan melalui hubungan seksual, seks oral dan seks anal.
Beberapa di antara IMS, juga bisa ditularkan dari ibu ke anaknya, melalui kehamilan dan persalinan. Bisa juga melalui transfusi darah atau penggunaan jarum suntik secara bersama-sama (misalnya pengguna napza suntik/penasun).
Penyebab IMS sangat bervariasi. Lebih dari 30 jenis bakteri, virus dan parasit, bisa menyebar melalui kontak seksual. Sering kali penderitanya tidak menyadari keberadaan penyakit IMS tersebut, karena sifatnya yang tidak menunjukkan gejala khusus.
Mirip dengan penyakit-penyakit lain pada umumnya, terutama pada tahap awal. Tetapi dampaknya bisa multidimensi. Kualitas hidup penyandangnya menjadi menurun dan dapat terjadi gangguan pada alat reproduksi dengan segala konsekuensinya. Pada anak, dapat terjadi gangguan kesehatan dalam jangka panjang.
Belum lagi dampaknya pada masalah sosial, ekonomi perorangan dan nasional. Khususnya di negara-negara berkembang dengan sumber daya yang terbatas, dapat berdampak besar pada aspek morbiditas dan mortalitas penyandangnya.
Tidak semua penyandangnya dapat mengakses pelayanan kesehatan, sesuai dengan yang diharapkan. Sebagai contoh, sifilis mungkin merupakan penyakit tertua yang telah dikenal umat manusia. Pertama kali diketahui di Eropa pada abad 15. Manifestasi klinisnya bisa bersifat lokal ataupun sistemis.
Gejala yang patut dicurigai, bila didapatkan lesi berupa benjolan tunggal yang tidak nyeri. Pada laki-laki biasanya ditemukan pada alat kelamin, dubur ataupun bibir/mulut. Pada perempuan, umumnya tampak pada alat kelamin bagian luar. Lesi ini mudah terkikis dan menjadi menonjol dengan warna kemerahan. Tanpa pengobatan pun kadang-kadang dapat menghilang, dalam rentang waktu antara empat hingga enam minggu.
Gambaran patologi lainnya adalah pembesaran kelenjar getah bening, khususnya di daerah pelipatan paha. Kelainan ini dapat bertahan lama hingga berbulan-bulan, bila tidak segera mendapatkan pengobatan.
Pada fase kronik, bisa berlanjut menyerang berbagai organ, termasuk jaringan saraf. Bila sifilis terjadi pada perempuan dalam kondisi mengandung atau melahirkan, bisa terjadi berbagai penyulit. Misalnya keguguran, bayi lahir mati, dan kelahiran prematur. Bayi yang baru dilahirkan, bisa mengalami sifilis kongenital atau mengalami kecacatan.
Pada tahap awal, paparan HIV pada seseorang, tidak memberikan gejala klinis yang spesifik. Hal inilah yang membuat penyandangnya tidak waspada. Kadang hanya berupa demam yang berkepanjangan, pembesaran kelenjar getah bening, penurunan berat badan, dan nafsu makan yang menurun. Sering kali HIV terdiagnosis bila sudah mengalami infeksi tertentu yang tidak kunjung sembuh.
Malah tidak jarang terdeteksi secara “tidak sengaja”, melalui skrining calon donor darah atau medical check up.Masih ada beberapa jenis penyakit lainnya akibat IMS. Misalnya gonore, trikomoniasis, human papilloma virus/HPV (penyebab kanker leher rahim), dan sebagainya.
Skrining perlu dilakukan skrining pada populasi khusus yang rentan atau berisiko terpapar IMS. Itu berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2022, tentang penanggulangan HIV/AIDS dan IMS.
Sebelum skrining, perlu dilakukan konseling yang bertujuan memotivasi seseorang agar mau melakukan pemeriksaan HIV dan/atau IMS. Khusus untuk ibu hamil, pemeriksaan skrining HIV dan sifilis, wajib dilakukan di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan.
Diperlukan evaluasi yang paripurna terhadap program penanggulangan IMS. Semoga problem tersebut di Indonesia dapat segera teratasi.
Tinggalkan Balasan