“Kebutuhan resipien yang tidak terpenuhi terhadap ginjal donor, memantik godaan perdagangan ginjal manusia.”

Oleh : dr. Ari Baskoro SpPD (K) * – Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo– Surabaya

Jika seseorang mengalami gagal ginjal tahap akhir (GGTA), “sisa waktu” hidupnya sangat tergantung pada “ginjal buatan”. Ginjal buatan tersebut tidak lain adalahdialyzeryang dalam pengertian umum adalah mesin dialisis. Tujuannya untuk “mencuci darah” penyandangnya, terhadap “sampah tubuh”yang bersifat toksik sebagai hasil metabolisme. Cuci darah atau hemodialisis (HD),hanya berfungsi “mengambil alih” sebagian saja dari fungsi ginjal manusia yang normal. Gangguan cairan, komponen elektrolit tertentu, dan sisa metabolisme protein pada GGTA, dapat dikendalikan dengan HD. Banyak fungsi ginjal normal lainnya, tidak bisa digantikan dengan metode terapi tersebut. Contohnya adalah fungsi pengaturan hormon, tekanan darah, pembentukan sel darah merah, dan struktur integritas tulang. Dampak lanjutannya, mengakibatkan penurunan yang drastispada kualitas hidup penyandang GGTA. Itu akan berlangsung sepanjang hidupnya.
HD merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal (TPG). Meski penuh keterbatasan, tindakan tersebut masih menjadi alternatif penting dalam upaya memperpanjang hidup penyandang GGTA. Ada metode lainnya dari TPG. Cangkok ginjal merupakan cara idealTPG. Hasilnya terbukti tidak hanya memperbaiki kondisi penyakitnya saja, tapi lebih dari ituakan memperbaiki kualitas hidup penyandangnya. Aktivitasnya menjadi jauh lebih leluasa, karena tidak lagi tergantung pada mesin HD yang biasanya dilakukan sebanyak dua kali per minggu.
Semua penyandang GGTA, dipertimbangkan sebagai calon resipien (penerima) cangkok ginjal. Kecuali bila memiliki komorbid kanker, infeksi kronik tertentu, penyakit kardiovaskuler yang berat, dan gangguan kejiwaan.
Cangkok ginjal
Merupakan pilihan utama TPG pada GGTA di seluruh dunia. Hingga kini, belum adaalternatif terapi lainnya dengan efektivitas yang sebanding. Melalui cangkok ginjal,seorang perempuan muda dengan GGTA,sangat dimungkinkan untuk bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat. Hal itu tidak akan mungkin terjadi,bila hanya dilakukan HD saja. Selain pada usia muda, manfaat cangkok ginjal sangat signifikan pada penyandang GGTA dengan diabetes melitus tertentu.Usia harapan hidupnya (UHH) dapat lebih panjang hingga beberapa tahun, dibanding bila hanya melakukan HD saja. Bahkan mungkin bisa mendekati UHH masyarakat lain pada umumnya.
Dalam 50 tahun terakhir ini, cangkok ginjal telah menjadi praktik sukses di seluruh dunia. Namun demikian, ada kendala besar dalam penerapannya di lapangan. Tidak semua negara di dunia memiliki standar pelayanan yang sama. Khususnya dalam akses menuju cangkok ginjal yang sesuai dengan tingkat keamanan, kualitas, dan kesesuaian unsur imunologis ginjal donor. Hampir semuanya menerapkan aspek etika dan ketentuan yuridis, sebagai modalitas skriningnya. Meski demikian ada sisi gelapnya. Kebutuhan resipien yang tidak terpenuhi terhadap ginjal donor, memantik godaan perdagangan ginjal manusia. Meski memiliki sepasang ginjal, seseorang bisa hidup normal hanya dengan memiliki satu ginjal saja.
Fenomena perdagangan ginjal juga terjadi di negara kita.Menurut pihak berwajib, dalangnya adalah suatu sindikat internasional.Setidaknya korbannya telah mencapai 122 orang. Modusnya melalui penipuan secara daring (online scamming) yang terjadi pada tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Negara yang diduga menjadi tujuannya tidak hanya Kamboja saja. Ternyata meluas ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Myanmar, Laos, Vietnam, hingga Filipina. Omzetnya disinyalir dapat mencapai Rp 24,4 miliar.
Di seluruh dunia, dalam setahunnya dilakukan 92.532 kasus cangkok ginjal (Elfein, 2023).Sebagai contoh, pada tahun 2021 di Amerika Serikat, tercatat 786 ribu pasien yang hidup dengan PGTA. Dalam setahunnya, sebanyak 25 ribu di antaranya menjalani cangkok ginjal. Di sisi lain, ada sebanyak 12 pasien yang meninggal setiap harinya, dalam penantian giliran menjalani cangkok ginjal. Rata-rata waktu antreannya bisa mencapai 3,6 tahun. Tergantung pada tingkat kesehatan, serta ketersediaan,dan kecocokan imunologis, antara ginjal donor dan resipiennya. Saat ini di negara Paman Sam tersebut, terjadi pertambahan tiga ribu pasien dalam daftar tunggu cangkok ginjal setiap bulannya.
Di Indonesia, setiap tahunnya diperkirakan terjadi pertambahan lebih dari 17 ribu kasus yang memerlukan HD. Ada tren peningkatannya bergeser mengarah pada usia produktif. PGTA tergolong dalam penyakit katastropik (berbiaya mahal) peringkat ketiga, setelah penyakit jantung dan stroke. Mayoritas pembiayaannya, dialokasikan untuk tindakan HD. Dengan tujuan meningkatkan efisiensi dari sisi pendanaan, cangkok ginjal menjadi alternatif pilihan utama. Untuk plafon biaya tindakan tersebut yang sebesar Rp.378 juta, ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Meski demikian, untuk mendapatkan donor ginjal yang sesuai, merupakan tantangan besar. Terutama dari aspek legal.Donor ginjal pada umumnya masih seputar keluarga dengan resipiennya. Itu pun dilakukan dengan cara sukarela dan tanpa embel-embel rupiah.
Aspek legal
Cangkok ginjal tidak hanya menyangkut masalah medis. Dampak rentetannya bisa memantik persoalan etika, konteks sosio-ekonomi, wisata medis, dan perdagangan organ tubuh manusia. Saat ini cangkok ginjal bisa dilakukan dengan baik, walau donor ginjalnya tidak memiliki kesamaan secara imunologis dengan resipiennya. Hal itulah yang semakin membuka peluang terjadinya peningkatan perdagangan ginjal, baik legal maupun ilegal.
Setiap negara di dunia, memiliki landasan hukum yang berbeda dalam penerapan cangkok ginjal. Iran adalah satu-satunya negara yang melegalkan organ tubuh manusia, untuk diperjual belikan secara komersial. Australia dan Singapura, melegalkannya dengan menerapkan kompensasi tertentu bagi pendonor ginjalnya. Di sisi lain, Amerika Serikat dan Inggris Raya, melarang penjualan organ tubuh manusia. Konferensi besar Eropa yang diselenggarakan pada tahun 2007, juga merekomendasikan menentang penjualan organ tubuh manusia.
Bagaimana di Indonesia ?
Ketentuannya mengacu pada pasal 64 Undang-undang nomor 36 tahun 2009. Pada ayat (2) dinyatakan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. Pada ayat (3) dinyatakan organ dan/atau jaringan tubuh, dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa pun. Ancaman pidananya termaktub dalam pasal 192.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan haram hukumnya, bagi seseorang yang memperjual belikan jaringan/organ tubuh manusia. Fatwa bernomor 13 tersebut, dirilis tahun 2019.
Diperlukan kerja sama lintas sektoral dalam mengedukasi masyarakat, agar praktik perdagangan ginjal dapat dicegah.
*Penulis buku :
- Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan