
Oleh: dr. Ari Baskoro, Sp.PD, K-AI*

Di usia ke-78 kemerdekaan Indonesia, masalah kesehatan di tanah air tengah menjadi sorotan. Problemnya pada jumlah dan distribusi tenaga dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis.
Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), saat ini tercatat ada sekitar 180 ribudokter umum dan 51.949 dokter spesialis.Angka-angka itu sempat menyusut cukup signifikan, saat pandemi COVID-19. Data terakhir (4 Juni 2023), sebanyak 751 dokter telah gugur akibat terpapar virus maut tersebut.
Sebaran dokter saat ini tidak merata. Mayoritas terkonsentrasi di DKI Jakarta dan semua provinsi di Jawa, serta Bali. Beberapa provinsi lainnya, masih kekurangan tenaga dokter.
Baca juga: Ramai-ramai Mendirikan Fakultas Kedokteran, Ada Apa?
Saat ini penduduk Indonesia berjumlah 278,69 juta jiwa. Berdasarkan asumsi pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia masih kekurangan tenaga dokter. Rasio idealnya adalah satu dokter untuk seribu penduduk. Secara matematis, negara kita masih defisit setidaknya 98 ribu tenaga dokter.
Di sisi lain, dikabarkan setiap tahunnya ada sekitar dua juta orang Indonesia (0,5 persen) yang berobat ke luar negeri.Sebagian besar alasannya adalah soal komunikasi yang kurang terjalin baik, antara dokter dan pasien sebagai customer. Persoalan lainnya yang dipandang kurang memadai,terkait minimnya rasa empati dan waktu konsultasi.
Ada pula yang menyatakan, teknologi dan peralatan medis di dalam negeri kurang canggih. Namun bisa dipastikan, mereka berasal dari kalangan orang-orang berduit. Sejatinya pada sebagian kasus, mereka bertujuan berwisata. Tetapi waktunya digunakan bersamaan dengan pemeriksaan medis.
Solusi berbasis kuantitas
Untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan dokter, sebanyak 12 kampus telah membuka program studi (Prodi) Pendidikan Kedokteran. Namun patut disayangkan, khususnya untuk pembiayaan pada jalur mandiri. Tampaknya akan sulit dijangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Pasalnya, Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT), terbilang mahal. Besaran SPI yang nilainya ratusan juta, bahkan ada yang mencapai 400 juta, terasa hanya merupakan mimpi untuk bisa menjangkaunya. UKT-nya pun tergolong “wah”.Bisa mencapai puluhan juta, bahkan hingga 30 juta rupiah per semester.
Untuk Perguruan Tinggi Swasta (PTS), mungkin masyarakat relatif bisa memakluminya. Tetapi berbeda halnya dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sebagai PTN berbadan hukum (PTN-BH), memang mempunyai hak otonom. Itu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.58 tahun 2013. Kampus tersebut bisa secara mandiri mengelola rumah tangganya, sesuai tujuannya. Maknanya, kampus PTN-BH berhak mengurus sendiri status kepegawaian dan keuangannya.
“Produksi” dokter di tanah air pernah tersendat. Hal itu sebagai dampak pemberlakuan moratorium pendirian Fakultas Kedokteran (FK), berdasarkan surat edaran Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) tanggal 14 Juni 2016.
Kebijakan tersebut diberlakukan, setelah hasil evaluasi penyelenggaraan Prodi pendidikan dokter, menunjukkan hasil yang mengecewakan. Dari 83 FK di Indonesia, sebanyak 37 (45 persen), hanya berakreditasi C. Dampaknya, kualitas lulusannya masih di bawah standar. Salah satu indikatornya adalah Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Tercatat ada 2.700 calon dokter yang berulang kali gagal dalam uji kompetensi tersebut.
Solusi berbasis kualitas
Menilai kualitas seorang dokter sebagai sumber daya manusia, tidak selalu mudah. Itu terkait dengan efektivitasnya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan sebagai tenaga medis. Dalam era pengobatan modern, pelayanan kesehatan yang efektif harus berbasis pada bukti ilmiah (evidencebasedmedicine/EBM).
Di samping unsur intelektual,motivasi, dan karakter kepribadian (misalnya sikap dan perilaku), seorang tenaga medismesti memiliki bekal lainnya. Keterampilan dan pengetahuan medis yang diasahnya selama pendidikan, merupakan bekal dasar yang sangat penting. Bagaimanapun juga,hal itu sangat dipengaruhi oleh budaya organisasi dan nilai-nilai etika medis institusi pendidikan yang mengampunya.Perannya bisa sebagai patron yang akan membentuk karakternya kelak.
Saat ini layanan kesehatan mesti berorientasi pada pengguna layanan/customer (people-centered). Sifatnya sesuai dengan preferensi, kebutuhan dan nilai-nilai individu. Ada unsur efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya yang tersedia. Pemborosan alat-alat kesehatan, obat-obatan, dan energi,perlu dicegah. Pelayanan medis harus adil. Sifatnya mesti seragam, tanpa membedakan jenis kelamin, suku, etnik, tempat tinggal, agama, dan status sosial-ekonomi customer. Pendidikan kedokteran juga melatih kerja sama lintas fasilitas pelayanan kesehatan dan pemberi layanan (terintegrasi).
Sebagai customer, pasien berhak menentukan tingkat kepuasannya terhadap pelayanan seorang dokter yang kompeten. Ada interaksi antara kualitas layanan dengan biaya dan kemudahan akses memperoleh pelayanan kesehatan. Keterikatan emosional, khususnya kemampuan seorang dokter dalam berempati terhadap kondisi medis pasiennya, dapat memengaruhi mindset tingkat kepuasan customer. Seyogianya mereka tidak bisa dianggap sebagai obyek medis belaka.
Sejatinya kualitas pelayanan medis,merupakan harapan normatif atau keinginan pada suatu standar yang ideal. Kualitas yang rendah, dapat memantikpada risiko terjadinya persoalan etika dan malpraktek. Konsepnya mengacu pada patientsafety (keselamatan pasien).
Tidak ada suatu proses pendidikan dokter yang tanpa cacat/kendala. Namun meminimalkan terjadinya kerugian (harm), termasuk cedera dan kesalahan medis, seharusnya dapat dicegah. Suatu gap bisa terjadi, ketika kompetensi individu seorang dokter berada di bawah standar. Kompetensi tersebut termasuk keahliannya dalam berkomunikasi yang memadai. Cara komunikasi yang tepat, bisa dipandang sebagai bentuk perhatian terhadap customer. Outcome kepuasan customer, dapat dirasakan dalam bentuk kesembuhan, kompensasi yang memadai, dan bahkan suatu pujian.
Indeks kesehatan
Menurut The Legatum Prosperity Index 2017, Indonesia berada di posisi ke 101 dari 149 negara yang dinilai. Unsur penilaiannya didasarkan pada kesehatan fisik, mental, infrastruktur kesehatan dan perawatan. Muaranya ditujukan terhadap pencegahan terjadinya berbagai wabah atau penyakit. Indeks kesehatan masyarakat negara kita masih terkendala dengan persoalan endemisitas malaria, tuberkulosis dan HIV.
Menurut Asian Development Bank (ADB) tahun 2020, indeks kesehatan Indonesia masih jauh tertinggal di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Tetapi masih lebih baik bila dibandingkan Kamboja, Laos, Myanmar dan Filipina. Indikatornya pada empat pilar, yakni kesehatan fisik, mental, lingkungan dan sosial.
“Merah putihnya” layanan kesehatan di tanah air, saat ini memang sedang dalam pembenahan. Pengambil kebijakan negeri ini, mulai dari tingkat pusat hingga pemerintah daerah,seharusnya memiliki konsep yang senada. Semoga kualitas pelayanan medis dan pemerataan tenaga dokter di seluruh Indonesia, dapat segera tercapai.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Penulis buku :
- Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan