

Gaza-Palestina telah menjadi kuburan bagi anak-anak. Sejak agresi Israel sebulan yang lalu, dilaporkan sebanyak satu anak tewas setiap sepuluh menit. Dalam tempo yang sama, setiap dua orang anak lainnya mengalami luka-luka. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Mayoritas negara-negara di dunia mengecam tindakan brutal zionis Israel dan tidak sedikit pula yang menyatakannya sebagai tindakan genosida. Total korban jiwa akibat bombardir Israel yang tidak kenal henti itu, sudah melampaui bilangan sepuluh ribu jiwa. Sebanyak lebih dari 42 persennya adalah anak-anak yang tak berdosa.
Istilah genosida untuk pertama kalinya dilontarkan secara resmi dalam Konvensi Genosida Majelis Umum PBB, pada tanggal 9 Desember 1948. Rangkaian tindakan yang dilakukan dalam genosida bersifat sistematis, melalui cara-cara tertentu.Tujuannya untuk menghancurkan, baik seluruhnya atau sebagian suatu populasi.Kelompok sasarannya bisa berdasarkan identitas sosial, politik, etnis, ras , agama , atau budaya tertentu. Tidak jarang kekerasan seksual dan pemerkosaan, digunakan sebagai senjata genosida yang ampuh. Karena dampaknya bisa memantik “kerusakan fisik dan psikologis” yang dalam dan traumatis. Beberapa contoh tindakan genosida lainnya, bisa berupa pengusiran sistematis dari kampung halaman mereka, pengurangan layanan medis yang layak, suplai makanan, pakaian, kebersihan, atau pekerjaan. Perampasan suatu sumber daya yang diperlukan untuk menopang kehidupan yang layak, juga tergolong dalam tindakan terlarang tersebut.
Genosida merupakan fenomena global dan telah terjadi pada setiap periode sejarah. Akibatnya, angka kematian yang ditimbulkannya tergolong tinggi.Cenderung semakin meningkat, dan jauh melampaui angka kematian akibat epidemi penyakit atau bencana lainnya. Dampak kesehatannya bersifat kronis, bahkan bisa seumur hidup, dan mungkin sulit diobati. Dalam jangka waktu tertentu, memicu peningkatan beban penyakit pada populasi, setelah kejadian genosida tersebut berakhir. Konsekuensinya bisa sangat besar dan terus berlanjut terhadap perekonomian kesehatan secara global.
Dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, genosida merupakan salah satu dari empat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Pelanggaran HAM berat lainnya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Secara umum genosidaterutama yang berskala besar, bisa melambangkan kejahatan manusia. Ada beberapa contoh peristiwa yang diakui secara luas sebagai genosida, berdasarkan definisi hukum Konvensi 1948. Misalnya adalah genosida Rohingya yang terjadi di negara bagian Rakhine Myanmar, pada tahun 2016. Korbannya diperkirakan mencapai puluhan ribu jiwa. Akibat lainnya,terjadi pengungsian penduduk ke beberapa wilayah negara tetangga, seperti misalnya menuju Bangladesh. Bahkan tidak sedikit pula yang akhirnya ditampung di Indonesia. Beberapa contoh kasus genosida lainnya,antara lain yang terjadipada etnis Uighur di Xinjiang China (2014), Rwanda (1994), dan Bosnia-Herzegovina (1992). Sejatinya masih adabeberapa contoh peristiwa serupa lainnya.
Dampak Medis
Pada kasus agresi Israel di Gaza, berdampak kritis pada pelayanan kesehatan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, sedikitnya terjadi ratusan serangan pada fasilitas dan tenaga kesehatan. Puluhan fasilitas kesehatan (faskes), termasuk ambulans rusak parah dan ratusan tenaga medis tewas karenanya. Suplai air, listrik, bahan bakar, obat-obatan, serta peralatan medis mengalami hambatan, sehingga mengganggu operasional pelayanan medis yang justru sangat diperlukan. Hampir semua faskes mengalami beban layanan medis yang jauh melampaui kapasitasnya.
Faskes harusnya menjadi tempat yang aman bagi tenaga kesehatan dan juga bagi pasien, untuk mendapatkan pengobatan. Itu merupakan hak-hak dasar warga sipil dan personel militer, untuk mendapatkan perlindungan bagi yang terluka dan sakit. Berdasarkan Pasal 18 Konvensi Jenewa tahun 1949, rumah sakit sipil dalam keadaan apa pun tidak boleh menjadi sasaran serangan. Sebaliknya harus selalu dihormati dan dilindungi. Pelanggaran terhadap aturan tersebut, dapat diinvestigasi oleh Pengadilan Kriminal Internasional. Jika terbukti, hal itu dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang. Pelakunya dapat dituntut dan dihukum. WHO mengkhawatirkan bahwa serangan terhadap faskes menjadi bagian dari “strategi dan taktik” suatu agresi militer, terlepas dari aturan Konvensi Jenewa yang mestinya harus ditaati.
Akibat langsung genosida, terjadi peningkatan angka kejadian berat badan lahir bayi yang rendah (BBLR), kematian bayi setelah dilahirkan, kekurangan gizi/malnutrisi, dan peningkatan angka kejadian penyakit menular. Korban genosida yang “selamat”, bisa menyisakan kecacatan akibat luka-luka fisik. Beberapa di antara mereka mengalami cacat permanen, setelah kehilangan sebagian anggota tubuhnya.Tidak jarang pula terjadi cacat penglihatan dan pendengaran. Trauma kejiwaan yang ditimbulkannya, dapat berlangsung sepanjang hidupnya. Pada contoh kasus-kasus akibat kekerasan seksual, sebagian berdampak terpapar penyakit menular seksual (PMS) seperti sifilis, gonore, dan infeksi kronis pada area sekitar organ kandungan. Tidak sedikit pula yang menanggung akibat terpapar HIV sepanjang sisa hidupnya. Dampak rentetannya bisa memicu persoalan sosial dan ekonomi yang berkepanjangan.
Problema kesehatan mental tak kalah pentingnya. Sindrom stres pasca trauma, merupakan dampak klinis yang bisa berkelanjutan. Sindrom ini dipicu kejadian traumatis di luar imajinasi normal seorang manusia yang dialami atau disaksikannya sendiri. Gejala yang sering dikeluhkan adalah kecemasan, rasa takut, sulit tidur, mimpi buruk, sesak napas, jantung berdebar-debar, dan nyeri dada yang tidak bisa diidentifikasi penyebabnya melalui skrining kesehatan. Tidak jarang pula keluhan-keluhan tersebut memicu timbulnya penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, kanker,dan diabetes. Kadang pula memicu usaha percobaan bunuh diri.
Upaya pencegahan
Pada bulan Oktober 2002, WHO menerbitkan “Laporan Dunia tentang Kekerasan dan Kesehatan”. Itu berupa dokumen lengkap yang menguraikan dampak kekerasan dan cedera, terhadap kesehatan global. Tujuannya agar dapat diupayakan pencegahan kekerasan, sebagai prioritas kesehatan masyarakat internasional. Bagi organisasi penyedia layanan kesehatan, pilihan utama adalah memperbaiki kecacatan yang terkait dengan kelangsungan hidup, setelah fase genosida berakhir.
Forum Internasional Stockholm yang diselenggarakan tahun 2004, merumuskan pendekatan terbaik terhadap pencegahan genosida dalam tiga tanggung jawab internasional yang penting. Pertama, mencegah genosida dengan mengatasi akar penyebab langsung konflik internal. Kedua, bereaksi terhadap genosida, khususnya menanggapi krisis yang akan datang dengan sangsi, penuntutan internasional, dan intervensi militer. Ketiga, pemulihan kembali, rekonstruksi dan rekonsiliasi. Semua penjabaran itu sesuai dengan konstruksi kesehatan masyarakat, melalui cara-cara pencegahan kekerasan.
——o—–
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam
FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan