

Pemerintah saat ini sedang getol membangun dan mengembangkan industri farmasi dan alat kesehatan. Memperbanyak dan melengkapi berbagai jenis vaksin yang diproduksi sendiri di dalam negeri, merupakan harapan pemerintah.
Hal itu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Sebagai contoh, PT Bio Farma perusahaan farmasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara), telah menunjukkan kapasitasnya. Perusahaan pelat merah itu telah mendapatkan pengakuan dari mancanegara. Produk-produk vaksinnya telah menjangkau lebih dari 149 negara di seluruh dunia. Vaksin polio misalnya. Sebanyak dua pertiga kebutuhan Oral Polio Vaccine(OPV) dunia tersebut, dipasok dari Bio Farma. Peranannya semakin mencuat dengan kemampuannya mengembangkan vaksin IndoVac yang berkontribusi penting dalam pandemi COVID-19.
Sebagai produsen vaksin yang andal, kini perusahaan yang berpusat di Bandung itu tidak sendirian. Ada dua perusahaan farmasi lainnya. Melalui kerja sama teknologi dengan pihak luar negeri, kini keduanya digadang-gadang mampu saling melengkapi produksi vaksin untuk berbagai keperluan. PT Biotis Pharmaceutical Indonesia bekerja sama dengan Universitas Airlangga, telah berhasil mengembangkan vaksin InaVac yang digunakan melawan COVID-19. Selain InaVac, melalui mekanisme transfer teknologi, PT Biotis juga telah menghasilkan vaksin Zifivax yang juga ditujukan untuk COVID-19. Indonesia juga memiliki vaksin COVID-19 berbasis mRNA. Pengembangnya adalah PT Etana Biotecnologies Indonesia,bekerja sama melalui transfer teknologi dengan perusahaan Tiongkok.
Prospek industri vaksin
Vaksin adalah cara yang paling ampuh dan efisien dari sisi biaya, untuk melindungi miliaran orang di seluruh dunia. Pengembangan dan temuan suatu vaksin, berpotensi mengubah pola kesehatan dengan cara menekan beban yang disebabkan penyakit menular.Terutama penyakit yang berdampak besar terhadap morbiditas dan mortalitas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, meningkatnya kesadaran imunisasi masyarakat dan inisiatif pemerintahnya, telah membantu mencegah dua hingga tiga juta kematian global setiap tahunnya.
Pasar vaksin global terus meningkat secara konsisten. Dalam hal pendapatan, diprediksi akan terus melaju. Mengutip data yang dirilis Fortune Business Insights(Maret 2023), nilainya ditaksir telah mencapai 55,4 miliar USD pada tahun 2020. Angka itu diperkirakan akan tumbuh mencapai 125,48 miliar USD,pada tahun 2028. Artinya selama rentang waktu tersebut, tingkat pertumbuhannya sebesar10,20 persen per tahun. Prediksi itu didasarkan atas tren industri, analisis harga, analisis paten, materi konferensi dan webinar, serta perilaku pembelian pasar. Tetapi tanpa kebijakan yang visioner dan sejalan dari para pemangku kepentingan utama, prediksi tersebut akan sulit terwujud. Pertumbuhan pangsa pasar vaksin, sangat terkait dengan perluasan program imunisasi. Peran penting pemerintah adalah memperkuat dukungan kebijakan dan pendanaan bagi pengembangan vaksin.
Dinamika pasar vaksin global, didorong oleh kombinasi kepentingan kesehatan masyarakat, kemajuan teknologi pengembangan vaksin, dan berbagai insentif pasar. Meningkatnya angka penyakit menular akan semakin memacu permintaan vaksin, sehingga memperluas pasar. Berbagai penyakit menular tersebut antara lain, demam berdarah, influenza, TBC, malaria, Zika, chikungunya, dan HIV.
Sebagai contoh bagaimana peran penting vaksin, bisa tampak pada pemberantasan TBC.Saat ini negara kita menduduki peringkat kedua penderita TBC di dunia, dalam jumlah kasusnya. Estimasinya sekitar 354 kasus per 100 ribu penduduk. Padahal pemerintah menargetkan idealnya pada kisaran 65 kasus per 100 ribu penduduk.Itu diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030.Selain tingkat kepatuhan berobat yang relatif rendah dan munculnya kuman yang kebal obat, efektivitas vaksin BCG juga menjadi kendala mitigasi TBC di negara kita. Vaksinasi yang saat ini rutin dilakukan sesaat setelah bayi lahir, hanya memberi perlindungan parsial pada anak. Sebaliknya, BCG tidak mampu memberikan proteksi pada remaja atau orang dewasa. Karena itu diperlukan pengembangan strategi vaksin TBC yang baru, sehingga mampu memberikan perlindungan yang efektif dalam jangka panjang hingga usia dewasa.
Demikian pula pandemi COVID-19, tidak akan bisa dilalui tanpa dukungan vaksinasi global.SARS-CoV-2 sebagai virus penyebab COVID-19,tetap berevolusi dan tidak akan hilang. Karena itulah diperlukan inovasi dan temuan vaksin baru yang lebih efektif.Saat ini, peluang tersebut sudah dimiliki Indonesia. Itu sekaligus langkah efisiensi anggaran negara bagi pembelian vaksin dari luar negeri. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), pemerintah pada tahun2021 telah mengalokasikan anggaran vaksinasi COVID-19 sebesar Rp.57,84 triliun. Setahun berikutnya, yakni 2022, pemerintah kembali mencadangkan alokasi anggaran belanja vaksin sebesar Rp.36 triliun.
Peluang dan tantangan
Kemajuan teknologi dalam bidang imunologi yang melandasi pengembangan vaksin, sekaligus akan membuka pintu bagi penggunaanvaksin terapeutik. Riset pengembangannya, sangat prospektif dalam mengatasi berbagai macam penyakit. Misalnya imuno terapi terhadap kanker, alergi, penyakit inflamasi kronik, ataupun kelainan fisiologis. Peluang tersebut juga bisa diharapkan terhadap penyakit non-infeksi lainnya, seperti hipertensi, hiperkolesterolemia dan aterosklerosis yang melandasi penyakit kardiovaskuler, serta Alzheimer.Hingga saat ini, penyebab kematian tertinggi di negara kita masih ditempati penyakit kardiovaskuler (stroke dan jantung koroner).
Tantangan utama pengembangan vaksin adalah dari sisi pendanaan. Biaya risetnya bisa memakan dana yang sangat besar. Umumnya mencapai kisaran 800 juta USD hingga satu miliar USD. Rentang waktunya pun cukup panjang. Lazimnya temuan suatu vaksin yang efektif, bisa memakan waktu antara sepuluh hingga 15 tahun. Penelitian awal sering kali melibatkan ahli-ahli dari suatu perguruan tinggi.Tetapi pada tahap akhir, perusahaan farmasi yang akhirnya banyak berperan. Itu karena disokong dana yang kuat, serta memiliki kapasitas dan pengalaman yang panjang, dalam menerapkan suatu inovasi medis. Di sisi lain, pemerintah sering kali berperan pada berbagai tahap proses. Misalnya dalam hal pendanaan awal untuk penelitian dasar ( “push-funding”).Tetapi juga bisa bertindak sebagai pembeli akhir, karena menyangkut kepentingan masyarakat luas (“pull-funding”). Dalam kaidah tertentu, pemerintah bisa memainkan peran ganda sebagai investor sekaligus pembeli.
Pelajaran penting tentang kemandirian ketersediaan vaksin dalam negeri, adalah saat pandemi COVID-19. “Diplomasi vaksin” harus dilakukan pemerintah, untuk mendapatkan kecukupan pasokan dari negara-negara produsen vaksin. Negara-negara lainyang memiliki cadangan dana, berlomba-lomba memenuhi kebutuhan vaksin dalam negeri mereka masing-masing.Padahal saat itu produksi dan suplai vaksin amat terbatas. Sebagai “korbannya” adalah negara-negaraberpendapatan rendah. Dampaknya terjadi ketimpangan dalam mitigasi pandemi, antara negara maju dengan negara berkembang. Dalam menghadapi pandemi berikutnya yang mungkin saja bisa terjadi, ketergantungan pada produsen vaksin luar negeri mesti dihindari.
Terwujudnya industri vaksin dalam negeri yang kokoh, pada akhirnya tergantung pada pemangku kepentingan. Persoalan regulasi yang menjadi domain pemerintah, harus dapat mengatasi semua hambatan yang mungkin terjadi. Khususnya dalam menavigasi rangkaian aturan dan standardisasi produk.
—–o—–
*Penulis:
Staf pengajar senior di : Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Penulis buku:
- Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan