

Citius, Altius, Fortius, merupakan semboyan Olimpiade yang fenomenal. Moto yang diinisiasi oleh bapak Olimpiade Modern, Pierre de Coubertin itu, memiliki makna “lebih cepat”, “lebih tinggi”, “lebih kuat”.
Semua atlet yang berlaga dalam pesta olah raga terakbar sejagat tersebut, akan berupaya keras mengungguli lawan-lawannya. Tentu saja harus dalam koridor yang menjunjung tinggi sportivitas.
Meski demikian, tidak jarang doping menjadi cara culas oknum atlet yang tergoda dalam menggapai “prestasinya”.
Baru beberapa saat Olimpiade Paris diawali, pejudo Irak telah terjaring dalam tes doping. Lagi-lagi steroid anabolik menjadi biang penyebabnya. Jenis substansi doping itu, “lazim” digunakan atlet yang kurang percaya diri terhadap kemampuannya.
International Testing Agency (ITA) yang mengelola program anti doping independen Olimpiade Paris, berhasil mendeteksinya. Sajjad Sehen sang pejudo, dinyatakan positif menggunakan metandienone dan boldenone. Kedua jenis obat steroid anabolik itu dilarang penggunaannya oleh Badan Antidoping Dunia (World Anti-Doping Agency/WADA). WADA dibentuk atas prakarsa Komite Olimpiade Internasional (IOC).
Di negara kita, atlet yang tergoda memanfaatkan doping bukanlah cerita baru. Arif Rahman Nasir dari cabang olahraga (Cabor) kempo, terbukti pernah menggunakannya. Peraih medali emas SEA Games 2011 itu, harus rela hasil jerih payahnya dikembalikan kepada Federasi SEA Games. Skorsing larangan bertanding selama dua tahun pun, menjadi konsekuensinya. Sama dengan pejudo Irak, metandionone menjadi zat terlarang yang digunakan oleh atlet yang berlaga di nomor Kyu Kenshi itu.
Pada tahun 2013, giliran atlet renang Indonesia yang terdeteksi menggunakan doping. Indra Gunawan dan Guntur Pratama yang berlaga pada Asian Indoor and Martial Arts Games (AIMAG) tahun 2013, menggunakan methylhexaneamine (MHA) sebagai pendongkrak staminanya. Indra harus merelakan gelar juaranya ditarik kembali. Dia bersama rekannya Guntur, dikenai sangsi larangan bertanding selama dua tahun oleh Federasi Renang Internasional (FINA).
Riwayat kasus doping yang cenderung berulang, mestinya menjadi perhatian semua pihak. Khususnya bagi penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI di Aceh-Sumut. Pesta olah raga terbesar di Indonesia itu, akan dihelat pada 8-20 September 2024. Pasalnya kita pernah mengalami sejarah pahit pada penyelenggaraan PON XX di Papua.
Lembaga Antidoping Indonesia (LADI) sebagai pihak terkait, mendapatkan sangsi dari WADA. Saat itu LADI dinilai lalai, akibat “keterlambatan” pengiriman sampel tes doping terhadap sekitar 700 atlet yang bertanding. Ada standar tertentu yang diterapkan WADA, namun belum dapat terpenuhi oleh LADI. Akibatnya negara kita mendapat sangsi. Prestasi gemilang tim Piala Thomas Indonesia di Ceres Arena, Aarhus-Denmark tahun 2020, menjadi “hambar”. Lagu Indonesia Raya yang berkumandang saat itu, tanpa disertai berkibarnya Merah-Putih.
Doping
Bagi siapa pun yang menggeluti bidang olah raga, pasti sudah paham makna kata tersebut. Artinya mengacu pada penggunaan obat/substansi tertentu yang bertujuan mendongkrak performa atlet secara tidak wajar. Tentu saja tanpa disertai adanya indikasi medis. Mengingat berbagai dampak negatifnya, doping wajib dihindari.
Dari sisi etika, kejujuran, sportivitas, dan integritas, merupakan perbuatan curang yang dapat merugikan berbagai pihak. Semua aspek buruknya, dinilai dapat mencederai semangat berkompetisi yang adil. Harusnya doping bukan menjadi tanggung jawab pribadi atlet saja, melainkan terkadang melibatkan pihak lain sebagai suatu tim. Berdasarkan riwayat penggunaannya, pelatih, manajer, tim medis, dan bahkan negara (tertentu), justru pernah memfasilitasinya. Semuanya demi meraih kebanggaan semu.
Steroid anabolik androgenik (SAA) Golongan SAA, merupakan jenis doping yang paling populer di kalangan para atlet. Ada dua efek dominan. Pertama bersifat anabolik yang dapat menambah massa otot secara instan, sehingga tampak kekar. Kedua bersifat androgenik, atau maskulinitas. Sebenarnya SAA secara alamiah disintesis oleh tubuh manusia. Misalnya hormon testosteron pada pria.
Dalam bentuk sintetis, lazim digunakan sebagai obat anti radang. Oleh karena itu penggunaannya amat luas di bidang medis. Tanpa indikasi dan pengawasan yang tepat, pemakaian SAA memicu berbagai efek samping yang berisiko membahayakan jiwa. Percepatan terjadinya arteriosklerosis (penyempitan pembuluh darah terkait tumpukan lemak), merupakan bahaya utama dari sisi kardiovaskuler. Efek berikutnya dapat memantik terhambatnya aliran empedu (kolestasis), dan bahkan bisa memicu terjadinya kanker hati. Gangguan reproduksi, efek psikologis (mania, depresi), dan kosmetik (jerawat yang berlebihan), berpotensi bisa terjadi pula.
Contoh kasus penggunaan SAA yang paling menyedot perhatian dunia, adalah pada Olimpiade Seoul tahun 1988. Saat itu Ben Johnson mampu mengukir prestasi sebagai peraih medali emas dalam cabor lari 100 meter. Karena terbukti menggunakan stanozolol (termasuk dalam kategori SAA), alhasil gelarnya tersebut harus dicabut kembali.
Methylhexaneamine (MHA)
Secara alamiah, MHA merupakan substansi yang terdapat dalam sejenis tanaman semak cemara (Pelargonium Graveolens). Daunnya beraroma mawar. Umumnya digunakan sebagai penyedap makanan, atau diseduh menjadi teh. Di daerah tertentu, secara tradisional digunakan sebagai herbal anti radang. Kandungan minyak esensialnya, digunakan untuk perawatan kulit.
Awalnya senyawa MHA biasa digunakan sebagai pereda flu (dekongestan). Namun acap kali dimanfaatkan dalam suplemen “pembakar lemak”. Tujuannya untuk menurunkan berat badan. Efek utamanya sebagai stimulan dan bersifat termogenik (menghasilkan panas, sejalan dengan metabolisme). Produk farmasi tersebut legal dan bisa dijual secara bebas (over the counter/OTC). Biasanya mencantumkan label “ekstrak/minyak geranium”.
Karena peredarannya yang relatif masif, bisa secara “tidak sengaja” dikonsumsi oleh atlet, tapi bukan untuk keperluan doping. Sebaliknya bila untuk maksud doping, MHA sering kali dikombinasikan dengan kafein dan komponen lainnya. Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas otot dan stamina atlet. Penggunaannya yang berlebihan, memicu risiko efek samping yang bisa berbahaya. Gejalanya dapat berupa sakit kepala, gelisah, rangsangan mental, serta gemetar. MHA secara resmi dilarang oleh WADA sejak tahun 2010. Meski demikian, pada Olimpiade Musim Dingin XXII dan Paralimpiade XI di Sochi-Rusia tahun 2014, masih terdeteksi empat kasus doping yang terindikasi MHA.
Sebenarnya masih banyak zat yang tergolong sebagai doping menurut kriteria WADA, namun beredar secara bebas di masyarakat. Itu biasanya merupakan komponen dari “minuman berenergi” atau “suplemen kesehatan”. Karena itu diperlukan pengetahuan yang mumpuni, serta kerja sama antara atlet dan semua anggota tim pendukungnya, agar terhindar dari doping.
—000—
*Penulis:
- Staf pengajar senior di :Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan