

Obat bagaikan dua sisi mata uang. Di tangan ahlinya, substansi penyembuh itu sangat bermanfaat. Tetapi sebaliknya berpotensi memicu timbulnya berbagai kerugian, apabila digunakan secara serampangan oleh orang yang tidak berkompeten. Golongan kortikosteroid (KS), merupakan contoh klasik obat-obatan yang sering kali digunakan secara tidak tepat. Dalam dunia medis, golongan obat tersebut secara berkelakar dikategorikan sebagai “obat dewa”. Apabila penggunaannya tepat indikasi, efeknya bisa jadi “cespleng”. Tidak memerlukan waktu yang terlalu lama, biasanya dapat membawa pasien tersenyum kembali. Tetapi tanpa evaluasi yang saksama, efek sampingnya dapat sangat berbahaya. Dalam konteks pengobatan, dua sisi mata uang itu bagaikan “pedang bermata dua”.
Kini kasus “obat dewa” marak diperbincangkan kembali di berbagai platform media. Kali ini korbannya adalah seorang balita berusia dua tahun. Diduga sejak setahun lamanya, telah dicekoki pengasuhnya obat-obatan. Tujuannya agar nafsu makan si balita bertambah. Berat badannya pun, diharapkan cepat meningkat. Deksametason (golongan KS) dan pronicy (mengandung cyproheptadine/golongan antihistamin), telah lama diasumsikan masyarakat bisa menambah nafsu makan. Pemahaman mereka yang tidak tepat itu, didapatkan melalui informasi secara daring atau “getok tular”.
Baca juga: Kolaborasi Buruk Perang dan Wabah
Deksametason.
Penulis sebagai seorang konsultan yang bergerak di bidang alergi dan imunologi, menggunakan obat golongan KS itu ibarat “sego jangan”. Artinya sehari-hari dimanfaatkan sebagai tulang punggung penatalaksanaan penyakit alergi dan sistem imun. Sejak di bangku kuliah, seorang mahasiswa kedokteran mengenal obat “serbabisa” tersebut sebagai obat dewa. Karena relatif murah dan mudah didapatkan, obat kelas warung atau kaki lima itu, acap kali disalahgunakan secara serampangan tidak sesuai indikasinya. Bahkan sering kali dicampur dengan jamu/ramuan tradisional, untuk meningkatkan kasiat jamu tersebut. Fenomena itulah yang kerap kali dinarasikan sebagai jurus “dewa mabuk”.
Pemanfaatan KS dalam bidang medis cukup luas. Misalnya untuk penyakit rematik (masyarakat awam menyebutnya “asam urat”), penyakit kulit, autoimun, berbagai manifestasi penyakit yang berlatarbelakang alergi, asma, hingga pembengkakan otak. Bahkan di bidang kebidanan dan kandungan, diindikasikan untuk mempercepat pematangan fungsi paru janin pada kehamilan prematur.
Selama pandemi COVID-19, nama deksametason kian melambung tinggi. Manfaatnya telah diteliti dan diaplikasikan pada kedaruratan medis di ICU (intensive care unit) pada kasus COVID-19 yang berat. Istilah kerennya sebagai live saving.
Sebagai obat yang diibaratkan pedang bermata dua, penggunaan golongan KS juga mengandung risiko bahaya. Hal itu terutama bila digunakan dalam jangka panjang, atau tidak dilakukannya evaluasi secara cermat. Sebagaimana luasnya indikasi pemanfaatannya, efek samping KS pun amat beragam. Bisa memantik timbulnya berbagai penyakit infeksi yang parah, akibat tertekannya sistem imun pada penggunanya. Efek merugikan lainnya yang relatif sering terjadi adalah timbulnya jerawat, insomnia (sulit tidur), depresi, euforia, pusing, dan nyeri kepala.
Sejatinya meningkatnya nafsu makan, merupakan efek samping yang justru secara tidak tepat dimanfaatkan masyarakat awam. Dampak rentetannya dapat memicu melonjaknya berat badan, hipertensi, meningkatnya tekanan bola mata, hingga gangguan penglihatan. Kadang pula dapat menimbulkan mual, muntah, penyakit lambung, lupa ingatan, gangguan jiwa, hingga tidak sadarkan diri. Bahaya lainnya bisa menimbulkan keropos tulang (osteoporosis), gangguan pertumbuhan pada anak, otot lengan dan kaki menjadi mengecil serta lemah. Tidak jarang berakibat melonjaknya kadar gula darah, hipertensi, dan penyakit jantung. Pada perempuan, dapat memantik pertumbuhan rambut yang berlebihan di wajah, leher, dada, perut, dan paha. Sebaliknya dapat juga mengakibatkan kebotakan.
Bagi masyarakat awam, tidak mudah untuk bisa mengenali kenaikan berat badan yang sifatnya abnormal (patologis). Timbunan lemak dan cairan, terutama menyasar pada area wajah, sehingga tampak membulat (moon face). Area tubuh lainnya yang terkena dampak adalah di seputar tulang selangka dan belakang leher. Secara kasat mata, hal itu terlihat seperti “punuk kerbau”. Bertambahnya berat badan, berkaitan dengan meningkatnya massa jaringan yang terpusat di seputar dada dan perut. Gejala akan semakin tampak jelas dengan munculnya stretch mark/striae. Warnanya keunguan, menyerupai yang terjadi pada seorang perempuan pasca melahirkan. Keseluruhan manifestasi klinis akibat pemakaian KS jangka panjang, disebut sebagai sindrom/penyakit Cushing.
Cyproheptadin
Setali tiga uang, obat yang mestinya dipergunakan untuk meredakan reaksi alergi itu, sering kali dimanfaatkan untuk maksud lainnya. Peningkatan nafsu makan dan pertambahan berat badan, justru merupakan efek sampingnya. Ada pula tujuan lainnya yang kurang tepat. Obat tersebut dimanfaatkan untuk mengobati insomnia, akibat efek sampingnya yang menimbulkan rasa kantuk. Penggunaannya yang tidak sesuai indikasi, dapat memantik efek samping pada beberapa organ yang bisa membahayakan.
Regulasi peredaran obat
Perkembangan teknologi memengaruhi banyak aspek. Kini banyak informasi medis dapat diakses oleh siapa pun melalui internet. Demikian pula terkait soal obat-obatan. Bahkan apotek banyak yang beralih ke portal online. Berbagai pembelian obat melalui resep dokter ataupun tanpa resep, dapat dilakukan setiap saat di mana pun juga. Meski demikian, penjualan obat secara daring berpotensi menimbulkan risiko yang dapat merugikan konsumen. Misalnya potensinya dalam mendorong penyalahgunaan obat, termasuk pengobatan secara mandiri.
Peredaran obat mulai di tingkat produsen hingga ke tangan konsumen, telah diatur melalui suatu regulasi. KS dan cyproheptadin, tergolong dalam obat daftar G (dalam bahasa Belanda : Gevaarlijk=berbahaya). Artinya obat keras yang penggunaannya harus melalui resep dokter. Pada setiap kemasannya diberi tanda lingkaran bulat berwarna merah, dengan warna hitam pada garis tepinya. Di bagian tengahnya tercantum huruf K berwarna hitam yang menyentuh garis tepi pada lingkaran tersebut. Ketentuannya tercantum dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Kesehatan No. 02396/A/SK/VIII/1989.
Semoga masyarakat secara bijaksana dapat memahami semua informasi terkait obat-obatan dari sumber yang berkompeten. Untuk menghindari berbagai risiko merugikan yang mungkin terjadi, sebaiknya berkonsultasi pada tenaga medis yang memang bertugas untuk keperluan tersebut.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan