
Oleh : dr. Ari Baskoro, SpPD, K-AI, FINASIM*

Penyakit antraks kembali menggegerkan dunia kesehatan di tanah air. Kabupaten Gunung kidul, di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kembali menjadi sorotan. Sebanyak 93 orang warganya dinyatakan positif terpapar bakteri Bacillusanthracis yang merupakan penyakit zoonosis (ditularkan dari hewan yang terinfeksi ke manusia).Hingga saat ini,sudah tiga orang yang tidak tertolong jiwanya.
Disinyalir asal mula mikroba yang memiliki toksin mematikan itu,menulari wargamelalui tradisi “brandu”. Kebiasaan masyarakat yang sudah berakar lama tersebut, sebenarnya mencerminkan asas gotong royong. Ternak yang sakit atau mati milik warga, dipotong untuk dibagi-bagikan dan kemudiandikonsumsi. Uang pengganti ternak itu, berasal dari iuran warga yang nilainya tidak sepadan dengan harga ternak yang sebenarnya. Harapannya, agar pemilik ternak tidak terlalu merugi.
Merebaknya penyakit antraks, bukan hanya kali ini saja terjadi di Yogyakarta. Kejadian itu bisa berulang setiap tahun, meski sekalanya tidak sebesar saat ini. Tradisi “brandu”,selalu melatarbelakangi penyebabnya.
Tradisi “brandu” jugaberlangsungdi Ponorogo. Khususnya di Desa Ngampel Kecamatan Balong. Lebih dikenal dengan sebutan “brandu wedus”. Tradisi tersebut dilakukan untuk memperoleh kemudahan dalam hal jual-beli kambing (Nurhidayat, 2019). Di Desa Ngampel, banyak warga yang memelihara kambing, sebagai usaha sampingan selain sebagai petani. Ketika ada kambing milik warga yang sakit parah, maka dilakukannya “branduwedus”. Tentu saja harga kambing bermasalah itu, menjadi sangat murah.Pemiliknya tidak mempunyai alternatif lain selain “membrandunya”, daripada ternaknya harus “mati sia-sia”. Mungkin risiko penularan penyakit antraks tidak pernah terpikirkan oleh mereka. Meski demikian, hingga kini belum ada laporan kasus antraks menyasardi wilayah Ponorogo.
Di Indonesia, kasus antraks terjadibeberapa kalisecara sporadis,karena memang sifatnya endemis di beberapa provinsi. Meski demikiankasusnya tidak seheboh sepertiyang saat ini terjadi di Gunung kidul.
Kasus antraks yang terkait dengan tradisi,juga terjadi di negara lain.Turki sebagai contohnya. Di tanah seribu budaya tersebut, ada suatu ritual yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat pedesaan. Dengan maksud tertentu, darah dari sapi yang disembelihdioleskan pada dahi seorang anak. Tradisi tersebut dapat memicu terjadinya penularan antraks.
Guinea di Afrika Barat, pernah melaporkan kasus antraks yang terjadi pada pembuat gendang/drum untuk acara tradisional. Dikenal dengan sebutan drum djembe, terbuat dari kulit kambing. Alat musik tradisionaltersebut, dilaporkan dapat sebagai media penularan pada pembelinya yang berdomisili di Amerika Serikat.Pembuatan gendang/drum,biasanya dilakukan dengan cara meregangkan, mengikis, dan mengampelas kulit kambing. Prosestersebut berpotensi menyebarkan spora Bacillusanthracis.Terutama bila cara pengelolaannya tidak sesuai standar.Kasus itu sempat diinvestigasi secara intensif oleh Biro Investigasi Federal (FBI), karena antraks merupakan agen biologi yang bisa digunakan untuk tujuanbioterorisme (Stratidis, 2007).
Cara penularan antraks
Antraks bisa ditemukan di seluruh dunia, tetapi lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang. Masa inkubasinya sangat bervariasi. Pada antraks kulit, bisa hanya memakan waktu sekitar dua hingga lima hari.Tetapi padaumumnyaberdurasi rata-rata hingga 60 hari. Tingkat mortalitasnya pada manusia relatif tinggi (sekitar 18 persen). Di sisi lain, hewan yang terinfeksi, dapat mati dalam tempo yang relatif singkat. Karena itulah penyakit antraks sangat mengkhawatirkan.
Paparan bakteri antraks pada manusia, dapat melaluikonsumsi daging, tulang ataupun kulit. Bisa juga melalui darah,ataukotoran hewan yang terinfeksi.Produk-produk asal hewan, seperti dendeng, abon, dan sebagainya, dapat pula menularkannya.
Antraksterutama menjangkiti hewan pemakan tumbuhan, seperti pada peternakan kambing, sapi, kerbau dan kuda . Babi,unta dan antelop,juga bisa terpapar. Mikroba tersebut lebih menyukai lingkungan berupa tanah berkapur yang bersifat basa (alkalis). Kasusnya banyakterjadi pada musim kering (kemarau). Kondisitersebutberakibat pada kelangkaan rumput, sehinggasaat hewan memakannya, tercabut hingga sampai ke akarnya. Lewat akar rumput itulah,pada umumnya banyak terbawa spora antraks.
Hingga kini belum ada bukti ilmiah yang bisa memverifikasi terjadinya penularan antar manusia.
Sumber penularan pada manusia adalah spora bakteri yang terhirupmelalui saluran napas. Bisa juga melalui kulit yang terluka. Pola penularan melalui kulit inilah yang mayoritas (95 persen) terjadi. Jalur paparanlainnyadapat melalui saluran cerna. Itu bisa terjadi bila mengonsumsi daging hewan ternakyang mengandung spora bakteri, tetapi tidak dimasak secara optimal.
Gejala klinis
Bila terpapar melalui makanan yang mengandung spora bakteri, keluhannya banyak terjadi pada saluran cerna. Dapat menimbulkan mual, muntah, tidak nafsu makan, sakit perut-melilit yang kadang terasa hebat, disertai buang air besar berwarna kehitaman.Bisa juga disertai dengan demam, pusing, dan pegal-pegal di seluruh bagian tubuh.
Sebagian besar kasus, hanya terjadi pada kulit (cutaneousanthrax). Gejalanya berupa luka seperti bisul kecil yang kemerahan dan terasa nyeri. Kadang pula terasa gatal.Lesi kulit itu kemudian membesar, pecah, dan menjadi borok kehitaman. Jaringan sekitarnya mengalami pembengkakan.
Paparan spora bakteri antraks pada saluran nafas, bisa berdampak fatal. Gejala awalnya mirip flu. Dada terasa berat, berkeringat dingin, hingga sesak napas. Bila infeksi berlanjut hingga menyasar susunan saraf pusat, maka bisa menimbulkan fatalitas yang berujung pada kematian.
Pencegahan
Tindakan pencegahan sangat penting dan memerlukan kerja sama lintas sektoral. Perlu melakukan edukasi masyarakat, khususnya pada peternak, agar dapat mengenali secara dini gejala penyakit antraks pada ternaknya. Bila disinyalir itu terjadi, segera melaporkannya pada dinas terkait,agar segera mendapatkan penanganan. Tindakan vaksinasi pada ternak, merupakan cara preventif agar penyakit ini tidak semakin merebak. Tradisi gotong royong warga memang layak dilestarikan, tetapi “brandu” ternak seharusnya perlu disikapi secara bijak.
*Penulis merupakan Staf senior Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit DalamFK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Penulis buku:
- Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan