
“Aktifitas gogoh ikan terutama di sepanjang aliran sungai Brantas sudah lama tak terlihat.”
OLeh: Isa Anshori (Pemred Trigger.id)

Anda pernah dengar istilah gogoh ikan. Bagi yang tinggal di dekat bantaran sungai atau kali, istilah ini sudah pasti sudah tidak asing lagi meskipun saat ini hanya tinggal cerita.
Gogoh adalah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti menangkap ikan dengan tangan kosong.
Gampang-gampang mudah untuk melakukannya. Bagi mereka yang cekatan, bisa saja sekali tangkap dua ekor ikan dia dapat. Tetapi bagi yang tak terbiasa, terutama jika kagetan saat menyentuh ikan di dalam air, ini adalah pekerjaan yang sulit, tetapi asyik.
Aktifitas gogoh ikan terutama di sepanjang aliran sungai Brantas sudah lama tak terlihat. Kalaupun ada sifatnya hanya sporadis atau bahkan hanya perlombaan dan sifatnya seremonial.
Tahun-tahun 70-80an dimana aliran sungai Brantas masih terjaga kebersihannya, terjaga polutannya dan terjaga debitnya, akfitas gogoh ikan sering dilakukan masyarakat, minimal bagi mereka yang tinggal di dekat bantaran sungai.
Tua muda, laki-laki perempuan, anak-anak sampai orang dewasa, ramai-ramai gogoh ikan. Berbagai jenis ikan bisa mereka tangkap. Mulai dari ikan keting, wader, bader dan jenis ikan sungai lainnya.
Mereka yang gogoh ikan bukan karena ingin banyak-banyakan seperti perlombaan. Aktivitas gogoh ikan dilakukan agar mereka bisa memakan ikan tanpa harus membeli. Maklum saja taraf hidup rata-rata masyarakat saat itu memang belum seperti saat ini. Mereka harus memutar otak jika ingin memakan lauk pauk ikan. Salah satunya dengan cara gogoh ikan di sungai.
Berbagai jenis ikan banyak masih terlihat karena tingkat pencemaran sungai tidak separah saat ini. Berbagai jenis ikan sungai tersebut sekarang sangat sulit dijumpai karena jumlah mereka sudah mulai berkurang atau bahkan sudah hilang.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan 59 persen sungai di Indonesia masih dalam kondisi tercemar berat. Sungai di Indonesia banyak tercemar oleh limbah kegiatan industri seperti migas dan pertambangan, limbah rumah tangga, dan peternakan.
Limbah inilah yang menjadi penyebab biota-biota di aliran sungai tidak dapat hidup, karena kekurangan oksigen.
Tiga mahasiswa prodi akuakultur angkatan 2018 Fakultas Perikanan dan Kelautan (FPK) Unair, yakni Ayu Wanda Dewantari, Aisyah Mahirah Sulthanadia, dan Dita Adriana Agatha, pernah melakukan penelitian tentang kondisi air kali Mas Surabaya yang merupakan muara dari sungai atau kali Brantas.
Penelitian itu menjawab kekhawatiran atas kondisi perairan sungai yang sudah tercemar oleh limbah pabrik maupun domestik. Berfokus pada kandungan mikroplastik, plankton, dan bentos di sepanjang sungai Brantas (Surabaya-Gresik) dengan pengambilan sampel di tiga tempat berbeda. Ketiga titik tersebut yakni terletak di daerah Mlirip (hulu), Wringinanom (tengah), dan Legundi (hilir).
Menurut Dita, sungai Brantas mengandung hasil proses degradasi sampah plastik. Beberapa faktor mempengaruhi proses degradasi mutu plastik, yakni radiasi sinar matahari, radiasi termal, proses oksidasi, pertumbuhan bakteri, dan gelombang laut. Proses ini (degradasi plastik) menyebabkan perubahan warna, bentuk dan ukuran, densitas, serta perubahan kristalinitas.
Penelitian tersebut menyimpulkan, meskipun masih terdapat plankton dan bentos perairan, jumlah dari mikroplastik masih sangat mendominasi. Sehingga sungai Brantas tersebut mengalami pencemaran dengan intensitas yang sedang.
Pencemaran yang sedang saja sudah menghilangkan begitu banyak biota air sungai termasuk banyak jenis ikan di dalamnya, apalagi da.am kondisi pencemaran berat.
Ikan mati mendadak bukan satu-dua kali terjadi di sungai Brantas dan kali Mas. Fenomena ikan mati massal (munggut) di sungai Brantas menjadikan ribuan ekor ikan ditemukan mati mengambang di sungai yang mengalir diantara Kabupaten Mojokerto, Gresik, Sidorajo dan Surabaya.
Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah atau Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) menyebut berdasarkan laporan warga ikan ditemukan mati mulai desa Desa Cangkir Driyorejo Gresik hingga Wilayah Warugunung Kota Surabaya. Adapun jenis ikan yang ditemukan mati diantaranya ikan Rengkik, Keting, Bader, Nila dan Mujair.
Sayang memang berbagai jenis ikan air tawar tersebut satu demi satu hilang dari habitatnya. Apa yang kita ceritakan pada generasi mendatang hanya berupa dongeng belaka, termasuk gogoh ikan di sungai Brantas yang tergilas pencemaran yang makin mengganas.
Tinggalkan Balasan