Surabaya (Trigger.id) – Di Indonesia orangtua memandang prestasi akademik anak merupakan hal penting. Saat anak meraih prestasi baik maka orangtua akan bangga, begitu juga sebaliknya.
Fenomena yang sering muncul saat anak tidak naik kelas muncul berbagai variasi respon orangtua. Pada umumnya timbul rasa kecewa, marah dan label negatif pada anak sebagai anak yang bodoh dan seterusnya.
Rasa marah merupakan hal yang wajar, namun bila berlebihan dengan tujuan anak agar rajin belajar itu merupakan hal yang tidak tepat. Anak justru akan semakin takut gagal (fear of failure) dan menilai belajar sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan (task aversiveness).
Listyo Yuwanto, S.Psi., M.Psi. Dosen Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) menuturkan, ketika anak merasa semakin takut gagal ataupun menilai belajar sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dapat berdampak negatif dalam kehidupan sekolahnya. Misalnya anak akan melakukan kegiatan penunda-nundaan untuk belajar atau mengerjakan tugas. Hal ini disebut dengan prokrastinasi.
Saat menilai, kata Listyo yang dimuat di situs resmi Ubaya bahwa kemampuannya di bawah tuntutan tugas belajar, maka anak akan merasa takut gagal sehingga sulit untuk fokus, merasa tidak nyaman, dan kurang termotivasi untuk belajar yang disebut dengan rendahnya flow.
Prokrastinasi yang tinggi dan flow yang rendah telah terbukti berdampak pada prestasi akademik. Ketika prestasi akademik semakin menurun, maka konsep diri anak akan negatif.
Dengan kondisi psikologis yang masih belum matang dan mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan akan dirasakan sebagai beban bagi anak-anak.
Apa yang seharusnya dilakukan orangtua ketika anak gagal naik kelas? Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan.
Hal pertama yang dapat dilakukan adalah introspeksi penyebab kegagalan anak. Apakah anak-anak tidak rajin belajar? Apakah anak-anak memang mengalami kesulitan dalam memahami materi tertentu? Apakah orangtua kurang berperan dalam proses belajar anak?.
Bila hal-hal tersebut diintrospeksi bersama antara anak dan orangtua maka bisa diketahui penyebab dan cara mengatasinya sehingga anak tidak lagi gagal naik kelas.
Kedua, jangan melabel anak hanya dengan label negatif ketika tidak naik kelas. Banyak orangtua kemudian menyebut anaknya dengan sebutan anak bodoh, tidak bisa diandalkan, dan sejenisnya.
Kegagalan anak terkadang disebutkan kepada orang lain dengan mengatakan anak gagal naik kelas karena anak bodoh. Ucapan orangtua kepada anak ”sekarang tidak naik kelas, mau jadi apa besok?”. Hati-hati dengan ucapan ini, karena kegagalan di satu bidang belum tentu akan menyebabkan kegagalan di semua bidang kehidupan.
Coba ingat berapa banyak orang yang gagal di akademik tetapi berhasil dalam kehidupan. Berapa banyak orang yang tidak sekolah tapi mampu memiliki karir yang baik.
Berapa banyak orang yang tidak naik kelas di SMA, SMP, SD, bahkan tidak naik dari TK A ke TK B ternyata berhasil dalam menempuh pendidikan selanjutnya atau kehidupan. (kai)
Tinggalkan Balasan