
“Arah politik anak muda saat ini makin tak berarah”.
Oleh: Dr. Suko Widodo MA. (Waka. Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia – ISKI – Jatim)

Dalam perhelatan politik, terutama pilkada serentak dan pemilu 2024, generasi milenial merupakan pemilih potensial. Sejumlah survey menunjukkan generasi milenial dan generasi Z diprediksi menjadi kelompok pemilih dengan proporsi terbesar di pemilu 2024.
Pemilih muda atau pemilih milenial merupakan pemilih dengan rentang usia antara 17-37 tahun. Pada pilkada serentak dan pemilu 2024 diprediksi jumlah pemilih muda akan mengalami peningkatan.
Jika berkaca pada pemilu serentak 2019, data dari KPU jumlah pemilih muda sudah mencapai 70 juta – 80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Ini artinya 35%-40% pemilih muda sudah mempunyai kekuatan dan memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu yang nantinya berpengaruh kepada kemajuan bangsa.
Tetapi ada persoalan lain yang bisa terjadi pada para pemilih muda atau pemilih pemula dalam pesta demokrasi tersebut, mereka juga bisa berpeluang menjadi penyumbang “golput” terbesar dalam pemilu 2024.
Selama ini, anak muda yang datang ke dunia politik didasari rasa sungkan, disuruh dosen atau orang tuanya, hingga ajakan teman. Naluri untuk terlibat dalam kegiatan politik, dan membuat gagasan-gagasan politik masih sangat kecil. Tetapi ini bukan berarti menisbikan naluri anak muda dalam berpolitik. Sayangnya, sikap politik anak muda saat ini tidak atau belum terarah.
Para politisi yang ingin menggaet suara anak muda tidak harus menjadi politisi milenial. Strategi meremajakan sosok sebagai strategi politik tak terlalu efektif. Paling penting adalah bagaimana cara berkomunikasi dengan pemilih milenial. Para politisi tidak harus mengubah diri seakan menjadi milenial.
Gen milenial yang sangat berpotensi sebagai agen perubahan,memiliki karakter yang harus dipahami para politisi. Pertama, mereka lebih melek teknologi tetapi cenderung apolitis terhadap politik. Mereka tidak loyal kepada partai, sulit tunduk dan patuh instruksi. Generasi milenial cenderung tidak mudah percaya pada elite politik, terutama yang terjerat korupsi dan mempermainkan isu negatif di media sosial.
Kedua, generasi milenial cenderung berubah-ubah dalam aspirasi politiknya. Mereka lebih rasional, menyukai perubahan dan anti kemapanan. Mereka cenderung menyalurkan hak politik kepada partai yang menyentuh kepentingan dan aspirasinya sebagai generasi muda.
Sayangnya, partai politik sebagai lokomotif politik hanya menyapa mereka jika merasa membutuhkan. Mereka hanya menyapa generasi milenial lima tahun sekali dan itupun masih terkesan normatif dan seremonial. Harusnya sepanjang tahun parpol menyapa dan memberikan pendidikan politik yang benar kepada generasi milenial, yang merupakan pemilih potensial dalam pemilu dan pilkada serentak mendatang.
Tinggalkan Balasan