Surabaya (Trigger.id)-Dalam lintasan sejarah, berkali-kali bangsa ini mengalami ujian terjadinya desintegrasi bangsa dengan adanya pemberontakan G30 S PKI, DI/TII, dan lain-lain. Namun, berkat rahmat dan pertolongan Allah SWT, dibantu dengan upaya masyarakat, negeri yang kita cintai ini masih dapat bersatu dan melanjutkan pembangunannya walaupun sudah tiga kali mengalami evolusi atau perubahan. Mulai dari era orde lama, orde baru, dan era reformasi. Namun dalam perjalannaya, meskipun mengalami pasang surut, tetap harus ada pengawalan dari para Ulama dan tokoh masyarakat agar negeri yang kita cintai ini dapat mewujudkan cita-cita para pendirinya.
Di era globalisasi dan kemajuan teknologi ini, kita merasakan bagaimana kultur bangsa Indonesia mulai terkontaminasi sehingga terjadi degradasi nilai-nilai kebangsaan, masyarakat Indonesia yang sebelumnya terkenal sikapnya yang ramah dan santun, saat ini banyak yang sudah berubah. Bisa kita saksikan melalui berbagai media, termasuk media sosial, warga bangsa seringkali reaktif, mudah marah dan lebih menonjolkan egoismenya.
Budaya-tolong menolong dan peduli pada orang lain pun kita rasakan sudah mulai luntur. Tak sedikit warga bangsa ini lebih mementingkan kepentingan pribadinya daripada menolong saudara dan tetangganya yang dalam kesulitan membutuhkan uluran pertolongan.
Toleransi antar umat beragama juga mulai tercederai dengan munculnya kasus-kasus perselisihan antar agama dan intern pemeluk agama. Degradasi moral pemuda bangsa sudah mulai terlihat dengan hilangnya tradisi “permisi”, dan sopan santun pada yang lebih tua serta maraknya prilaku perzinahan tanpa sedikitpun ada rasa malu dapat kita lihat di sekeliling kita. Banyaknya masyarakat, khususnya para pemuda, yang lebih mengedepankan gaya hidup dan perilaku Barat dibandingkan mengaplikasikan akhlak dan budaya bangsa Indonesia dapat kita lihat dengan gaya hidup hedonism. Adakalanya mereka hanya mengededankan penampilan yang tidak sedikit justru melanggar peraturan agama seperti para pemuda yang menggunakan perhiasan wanita, bertato, memakai perhiasan emas dan pemudi yang dengan bangganya menampakkan aurat di tempat-tempat umum.
Fakta di atas, jika terjadi secara terus-menerus tanpa ada strategi yang dibangun dalam kerangka untuk internalisasi nilai nilai kebangsaan pada generasi muda, tidak mustahil jati diri bangsa Indonesia akan luntur dan pada saaatnya akan mengalami kehancuran. Oleh karena itu, mari kita jadikan Ramadan ini sebagai ajang untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan dengan kebersamaan.
Momentum Ramadan dan kebangsaan sejatinya memiliki relevansi yang sangat kuat, yaitu: akar sejarah yang menunjukkan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia juga terjadi di bulan Ramadan, tepatnya pada hari Jumat tanggal 9 Ramadan 1334 H. Tentu, kemerdekaan tersebut bisa diraih oleh segenap pejuang bangsa Indonesia penuh dengan semangat dan jiwa kebersamaan.
Andai saja tidak ada kebersamaan di antara seluruh elemen bangsa saat itu, maka tidak akan tercipta nilai-nilai persatuan yang dapat membangkitkan semangat para pejuang untuk memeperebutkan kemerdekaan bangsa Indonesa dari tangan penjajah. Semangat persatuan dan kebersamaan dalam memperebutkan kemerdekaan Republik Indonesia sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam bulan Ramadan yang juga mengajarkan nilai-nilai kebersamaan sebagaimana tercermin dalam perintah untuk berbagi dengan mustada‘fin (kaum lemah). Selain itu pula, Ramadan juga memberi makna tentang nilai-nilai persatuan sebagaimana tergambar dalam perintah untuk memperhatikan jadwal rangakian ibadah Ramadan seperti berbuka puasa, makan sahur, dan lain lain.(kai)
Tinggalkan Balasan