
“Innallaha jamilun yuhibbul jamal,” yang artinya ‘sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan’.
Oleh: Habib Novel bin Muhammad Alaydrus

Manusia itu jangan sampai merusak suasana hati orang lain, Jangan sampai ada orang lain yang sedang bahagia menjadi porak-poranda dan hancur hatinya karena ulah kita. Karena itu Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk bersikap baik dalam kondisi apapun.
Ada orang yang bisa senang ketika melihat langit yang indah bercahaya dan ada orang yang bisa senang dengan melihat laut yang membiru, gunung tinggi yang menyatu dengan awan dan seterusnya.
Tetapi Allah dan Rasulullah mengajarkan kepada kita bagaimana caranya ada orang bisa senang tidak hanya melihat gunung yang tinggi, langit yang membiru dan lautan yang sangat luas, tetapi orang lain bisa senang hanya karena melihat wajah kita atau diri kita.
Diri kita ini unik. Ada rambutnya, ada pipinya, ada dagunya, ada telinganya dan sebagainya. Dan itu yang diperintahkan Allah kepada kita, dan sampai-sampai Rasulullah bersabda, “senyummu untuk saudaramu adalah sedekah”.
Jadi Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk selalu senyum dan memperlihatkan wajah yang menyenangkan. Dan sebaliknya kita akan berdosa ketika ada seseorang suasana hatinya terganggu atau rusak gara-gara melihat wajah kita yang tidak menyenangkan.Kata Nabi SAW, “Innallaha jamilun yuhibbul jamal,” yang artinya ‘sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan’.
Berikutnya adalah, jaga lisan dan tulisan kita yang sekiranya membuat orang lain atau suasana hati orang lain rusak. Sebuah pepatah Arab menyatakan: “Salamatul insan fi hifzhil lisan” (Keselamatan manusia itu sangat tergantung pada pemeliharaan lisan).
Suasana hati seseorang bisa rusak tidak hanya karena lisan atau mulut kita tetapi juga karena tangan kita. Tangan yang kita gunakan untuk menulis dan kita sebarkan di media sosial dan sebagainya, itu justru dampaknya lebih parah daripada tangan ini kita pakai untuk menonjok atau memukul orang lain secara fisik. Jangan sampai ada muslim yang terganggu dengan lisan kita, dengan tulisan kita dan dengan kekuasaan kita.
Karena itu rumusnya sederhana, kata Nabi SAW.
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَو لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَومِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، ومَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ) رَوَاهُ اْلبُخَارِي وَمُسْلِمٌ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir maka hendaknya dia berbicara yang baik atau (kalau tidak bisa hendaknya) dia diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. al Bukhari dan Muslim).
Dari hadits tersebut dapat kita tarik kesimpulan, jika kita tidak bisa berkata-kata dengan baik maka seakan-akan iman kita ini dicoret. Dan maaf-maaf saja, jangan sampai kita tergolong orang yang mengakhiri hidupnya dengan tidak baik karena kata-kata dan tulisan yang tidak baik.
Dan sebaliknya, barang siapa yang suka berkata-kata dengan baik dan tulisan-tulisannya baik, maka pada hari akhir dia tergolong orang-orang yang percaya atau beriman kepada Allah. Ini berarti imannya sudah distempel atau dikukuhkan oleh Allah SWT dan itu tanda-tanda husnul khatimah.
Tinggalkan Balasan