
“Jika tetanggamu berkomentar, kamu orang baik maka berarti engkau orang baik. Sementara jika mereka berkomentar, engkau orang tidak baik, berarti kamu tidak baik.” (HR. Ahmad 3808, Ibn Majah 4223 dan dishahihkan Al-Albani, Shahih Al-Jami’: 610).
Penulis: Ust. Fadlan Fahamsyah, Lc, M.H.I (STAI Ali Bin Abi Tahlib Surabaya)

Para ulama berselisih pendapat tentang batasan tetangga. Sebagian mengatakan tetangga adalah ‘orang-orang yang shalat subuh bersamamu’, sebagian lagi mengatakan ’40 rumah dari setiap sisi’, 10 rumah dari tiap sisi’ dan beberapa pendapat lainnya. (Lihat Fathul Baari, karya Al-Imam Ibn Hajar Al-Asqolany: 10 / 367)
Sebagaimana dikatakan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:”Telah datang beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa tetangga adalah empat puluh rumah dari semua sisi. Dan tidak diragukan lagi bahwa yang menempel dengan rumah kita adalah tetangga, dan adapun yang selain itu, jika riwayat-riwayat tersebut shahih dari Nabi rahimahullah maka diberlakukan hukumnya (hukum tetangga), dan jika tidak maka hal ini (batasan tetangga) dikembalikan ke ‘urf (kebiasaan). Maka (batasan) apa saja yang dianggap oleh masyarakat sebagai tetangga maka ia adalah tetangga.” (Syarh Riyadhus Shalihin; 1/364)
Tetangga tersebut ada tiga macam:
Pertama, tetangga muslim yang memiliki hubungan kerabat. Maka ia memiliki 3 hak, yaitu: hak tetangga, hak kekerabatan, dan hak sesama muslim.
Kedua, tetangga muslim yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Maka ia memiliki 2 hak, yaitu: hak tetangga, dan hak sesama muslim.
Ketiga, tetangga non muslim. Maka ia hanya memiliki satu hak, yaitu hak tetangga. (lihat: Tabshiroh Al-An-am bi Al-Huquq fi Al-Islam karya: Abu Islam hal: 145).
Anjuran berbuat baik kepada tetangga ternyata bukan main-main. Jika ada ulama yang menyatakan pagar mangkok lebih baik daripada pagar tembok, kiranya kiasan tersebut benar adanya. Tetangga adalah orang yang pertama kali kita mintai bantuan manakala kita sedang kesusahan. Anjuran berbuat baik kepada tetangga juga merupakan perintah Allah SWT.:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” QS. An-Nisa [4]: 36
Kedudukan tetangga dalam Islam itu sangat mulia. Dan ternyata tetangga bisa menjadi lambang kebahagiaan atau kesengsaraan seseorang.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيءُ؛ وَأَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاءِ: الْجَارُ السُّوْءُ، وَالْمَرْأَةُ السُّوْءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ
“Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang: istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang termasuk kesengsaraan seseorang: tetangga yang jelek, istri yang jelek, kendaraan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 1232. Dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, Shahih Mawarid Al-Zham’an: 1033).
Banyak sekali hadist yang menerangkan tentang kedudukan tetangga dan hak-hak mereka yang harus kita penuhi. Bahkan ada salah satu wasiat Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, Nabi shallallahu’alahi wa sallam menuturkan,
مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Jibril selalu berpesan kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga, sampai aku mengira, tetangga akan ditetapkan menjadi ahli warisnya.” (HR. Bukhari 6014 dan Muslim 2624).
Jika kita bangun pagi selepas shalat subuh, kita rasanya perlu bertanya apa yang bisa kita lakukan yang terbaik untuk tetangga kita.
Sumber: Suaraaliman.com
Editor: Isa Anshori (Pemred Trigger.id)
Tinggalkan Balasan