
Surabaya (Trigger.id) – Mahallul Qiyam dalam Maulid Diba’ adalah momen ketika para jamaah berdiri sebagai bentuk penghormatan saat dibacakan pujian-pujian yang menyanjung Rasulullah SAW, khususnya ketika diucapkan shalawat dan kisah kelahiran Nabi. Dalam Maulid Diba’,
Mahallul Qiyam biasanya terjadi pada bagian yang menceritakan detik-detik kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Sebagian ulama menganggap Mahallul Qiyam sebagai bentuk ekspresi cinta, hormat, dan syukur kepada Rasulullah SAW. Tindakan berdiri saat Maulid dianggap sebagai bentuk ta’zhim (penghormatan) kepada Nabi.
Ulama ini merujuk pada prinsip umum dalam syariat bahwa penghormatan kepada Rasulullah SAW adalah bagian dari iman. Mereka juga menganggap bahwa Mahallul Qiyam adalah amalan yang tidak bertentangan dengan syariat selama tidak disertai dengan keyakinan yang salah atau dianggap wajib.
Penjelasan ulama Sunni tentang Mahallul Qiyam bervariasi, namun secara umum, ulama Sunni memandang Mahallul Qiyam sebagai salah satu bentuk ekspresi cinta dan penghormatan kepada Rasulullah SAW, meskipun ada yang setuju dan ada pula yang lebih berhati-hati.
Berikut adalah beberapa pandangan ulama Sunni tentang Mahallul Qiyam dalam Maulid:
1. Pendapat Ulama Sunni tentang Mahallul Qiyam
Ulama yang mendukung Mahallul Qiyam dalam tradisi Maulid memandangnya sebagai salah satu bentuk penghormatan yang diizinkan oleh syariat. Mereka berargumen bahwa berdiri saat Mahallul Qiyam merupakan tanda cinta dan ta’zhim (penghormatan) kepada Rasulullah SAW.
- Imam Jalaluddin As-Suyuthi (ulama Sunni terkemuka dalam ilmu tafsir dan hadits) dalam salah satu fatwanya menyebutkan bahwa berdiri untuk menghormati Rasulullah SAW saat kisah kelahiran beliau dibacakan adalah tindakan yang mubah (diperbolehkan). Beliau menegaskan bahwa asalkan tidak ada keyakinan bahwa perbuatan itu wajib, maka tidak ada masalah dalam melakukan Mahallul Qiyam.
- Imam Ibn Hajar al-Haytami (ulama besar mazhab Syafi’i) juga menyatakan bahwa berdiri sebagai bentuk penghormatan kepada Rasulullah SAW adalah perbuatan yang diperbolehkan dalam syariat. Beliau menjelaskan bahwa ini bukanlah ibadah yang wajib atau sunnah, tetapi jika dilakukan dengan niat menghormati Nabi SAW, maka itu termasuk amalan yang dianjurkan.
Pendukung Mahallul Qiyam menekankan bahwa dalam Islam, cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW adalah aspek penting dalam iman, dan selama Mahallul Qiyam tidak dianggap sebagai ritual wajib, maka tidak ada kesalahan dalam pelaksanaannya.
2. Pendapat yang Menolak atau Lebih Hati-Hati
Sebagian ulama Sunni yang lebih berhati-hati dalam masalah bid’ah menolak praktik Mahallul Qiyam karena tidak ada dasar langsung dari Al-Qur’an dan hadits yang memerintahkan atau mensyariatkan tindakan berdiri saat kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW dibacakan.
- Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dalam beberapa karyanya memperingatkan umat Islam untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam syariat, termasuk Maulid dan Mahallul Qiyam, jika dianggap sebagai amalan keagamaan yang harus dilakukan. Beliau khawatir bahwa tradisi semacam ini dapat mengarah pada bid’ah, yaitu menambahkan sesuatu yang tidak disyariatkan ke dalam agama.
- Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan ulama lainnya yang berasal dari kalangan Salafi menolak Mahallul Qiyam dengan alasan bahwa tindakan ini tidak pernah dilakukan oleh generasi awal Islam (Salafus Shalih), dan oleh karena itu mereka berpendapat bahwa praktik ini sebaiknya ditinggalkan.
3. Pendekatan Moderat
Sebagian ulama Sunni mengambil posisi moderat dengan mengatakan bahwa Mahallul Qiyam bukanlah masalah besar selama tidak disertai keyakinan yang salah, seperti menganggapnya sebagai bagian dari ibadah wajib. Mereka mengakui bahwa penghormatan kepada Rasulullah SAW adalah suatu hal yang dianjurkan, namun menekankan bahwa esensi dari penghormatan ini harus terwujud dalam tindakan nyata, seperti mengikuti ajaran dan akhlak Nabi Muhammad SAW.
Kesimpulan:
Mayoritas ulama Sunni yang mendukung Mahallul Qiyam menganggapnya sebagai ekspresi cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW yang diizinkan selama tidak disalahartikan sebagai ritual wajib atau sunnah yang diharuskan. Di sisi lain, sebagian ulama lebih berhati-hati dan menolak praktik ini dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari hal-hal yang tidak ada dasarnya dalam syariat. Namun, pendekatan moderat yang menekankan niat dan esensi cinta kepada Rasulullah SAW tanpa menambah keyakinan yang keliru adalah pendekatan yang banyak diambil oleh ulama Sunni.
—000—
Referensi: Berbagai sumber
Tinggalkan Balasan