

Saya percaya, menjadi orang tua di era modern memang tak lepas dari kepraktisan. Salah satu contohnya adalah penggunaan popok sekali pakai. Praktis, higienis, dan dianggap “penyelamat” di tengah kesibukan. Tapi sayangnya, di balik kenyamanan yang ditawarkan, popok sekali pakai sebenarnya adalah bom waktu yang sedang berdetik. Ia menyimpan ancaman serius bagi lingkungan dan kesehatan, bukan hanya hari ini, tapi juga untuk generasi yang akan datang.
Setiap kali kita mengganti popok anak kita dan membuangnya ke tempat sampah, kita sebenarnya ikut menyumbang pada tumpukan limbah beracun yang akan bertahan di bumi selama ratusan tahun. Ya, satu popok bisa butuh hingga 500 tahun untuk terurai. Bayangkan, satu anak bisa menggunakan sekitar 6.000 popok sebelum toilet training. Dikalikan jutaan bayi di Indonesia saja, jumlahnya sudah luar biasa mengkhawatirkan.
Saya semakin khawatir ketika mengetahui bahwa popok ini bukan hanya mencemari lingkungan, tapi juga mengandung zat kimia berbahaya seperti dioxin, phthalates, hingga sodium polyacrylate. Zat-zat ini bisa menyebabkan iritasi kulit, alergi, bahkan gangguan hormonal pada bayi. Ini bukan sekadar opini pribadi—dokter spesialis anak, seperti dr. Yuyun Widyastuti, sudah mengingatkan hal ini.
Dari sisi lingkungan, popok ini adalah mimpi buruk. Di sungai-sungai besar seperti Brantas, Ecoton mencatat bahwa 30% limbah yang mengapung adalah popok bekas. Air sungai tercemar, mikroplastik mengancam kehidupan air, dan ironisnya, air itulah yang pada akhirnya dikonsumsi manusia. Apakah kita bisa terus menutup mata terhadap fakta ini?
Tentu, saya tidak menyalahkan sepenuhnya para orang tua. Sistem belum mendukung. Tidak semua orang punya akses pada popok kain modern yang bisa dipakai ulang. Dan sayangnya, produk popok ramah lingkungan masih dianggap mahal dan sulit dijangkau. Tapi apakah itu alasan cukup untuk membiarkan bumi kita dikotori tanpa kendali?
Saya rasa, sudah saatnya pemerintah, produsen, dan masyarakat duduk bersama. Edukasi tentang bahaya popok sekali pakai harus digalakkan. Produsen harus didorong bertanggung jawab terhadap limbah mereka. Orang tua pun perlu disadarkan, bahwa kenyamanan sesaat jangan sampai menghancurkan masa depan anak-anak kita sendiri.
Popok sekali pakai memang terlihat sepele. Tapi dalam jangka panjang, ia bisa menjadi simbol dari ketidakpedulian kita terhadap bumi dan kesehatan manusia. Pertanyaannya: apakah kita masih mau bersikap acuh?.
—000—
*Penulis:
- Alumnus ITS Surabaya
- Pemilik Usaha Sego Njamoer
Tinggalkan Balasan