

Baru-baru ini penulis berkesempatan sebagai narasumber pada suatu acara halal bihalal dan diskusi sebuah forum. Penyelenggaranya adalah Forum Komunikasi Pengusaha Travel Umrah Haji (FK Patuh) Jawa Timur. Topik yang diangkat terkait problematikdan evaluasi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Forum tersebut banyak mengkaji bagaimana strategi pemerintah melindungi travel umrah berizin. Penulis mendapat kesempatan mengetengahkan persoalan update risiko dan perlindungan kesehatan, untuk jemaah umrah-haji.
Dari acara sambung rasa tersebut, penulis justru banyak mendapat informasi berharga langsung dari lapangan.Ternyata masih cukup banyak kendala penerapan syarat istitaah bagi calon jemaah haji (CJH). Selain masalah kebijakan vaksinasi CJH, diabetes melitus (DM) merupakan problem yang paling banyak diperbincangkan.
DM atau lebih dikenal dengan penyakit kencing manis, sering disebut-sebut sebagai “induk”dari segala penyakit. Berdasarkan jenis penyakit yang dialami jemaah haji Indonesia (JHI) tahun 2022, DM menduduki peringkat ketiga. Urutan pertama adalah dislipidemia (abnormalitas kadar lemak darah), dan disusul hipertensi esensial pada urutan kedua. Saat itu kuota haji Indonesia “hanya” mencakup 100.051 orang. Sepanjang operasional haji, JHI yang wafat berjumlah 89 orang. Setahun kemudian setelah berakhirnya pandemi Covid-19, negara kita memberangkatkan sebanyak 210.680 JHI reguler. Sungguh memprihatinkan, angka kematian JHI kita mencapai “rekor” menyedihkan. Ada sebanyak 824 JHI yang wafat. Bila diperinci, sebanyak 752 JHI wafat saat operasional haji. Ada 26 orang lainnya yang wafat pasca operasional haji, dan 46 orang lainnya meninggal saat embarkasi/debarkasi haji. Proporsi kematian yang meningkat tajam tersebut (3,5 per mil), tidak lepas dari jumlah JHI yang berisiko tinggi/risti (73,72 persen). Kategori risti disematkan, karena mereka berusia lebih dari 60 tahun dan/atau memiliki penyakit kronik yang sudah diidapnya sebelum pemberangkatan haji. Meski telah mengusung jargon “Haji Ramah Lansia”, segala persiapan antisipatif seolah kandas dengan melonjaknya JHI yang wafat. Penyakit kardiovaskuler dan saluran napas, mendominasi penyebab kematiannya. Lagi-lagi faktor risiko utama yang mendasarinya adalah DM. Hipertensi, dislipidemia, dan gangguan fungsi ginjal, merupakan faktor risiko berikutnya.
Sebagai perbandingan, sepanjang tahun 2010-2022, tingkat kematian JHI “hanya” mencapai 2,07 per mil. Angka mortalitas JHI itu, selalu jauh melampaui negara-negara lain yang mengirimkan jemaahnya. Untuk mengantisipasi berulangnya kembali kejadian memprihatinkan pada musim haji tahun-tahun sebelumnya, pemerintah menerapkan aturan baru. Aturan itu dituangkan dalam keputusan Kementerian Kesehatan dengan Nomor HK.01.07/MENKES/2118/2023, tanggal 9 November 2023. Isinya tentang standar teknis pemeriksaan kesehatan, dalam rangka penetapan status istitaah kesehatan JHI.
Pada musim haji 2024, status kesehatan merupakan prasyarat utama pelunasan Biaya Perjalanan Haji (BIPIH). Penerapan kebijakan tersebut, pada tahun-tahun sebelumnya terbalik. Dampaknya pada periode musim haji sebelumnya, banyak JHI yang sebenarnya tidak memenuhi kelayakan dari sisi istitaah kesehatan, tapi “terpaksa” diberangkatkan juga. Pertimbangannya karena CJH tersebut sudah mengantre lama, bahkan ada yang puluhan tahun, atau karena mereka sudah terlanjur melunasi BIPIH.
Upaya menekan risiko morbiditas dan mortalitas
Bagi CJH penyandang DM saat ini,dikategorikan memenuhi syarat istitaah bila kadar HBA1C-nya tidak melampaui delapan persen.Mungkin karena penerapan aturannya yang relatif “mendadak”, banyak CJH DM yang berupaya keras berobat untuk segera menurunkan kadar HBA1C-nya tersebut. Upaya yang sifatnya instan, justru bisa berdampak merugikan, karena seringnya mengalami hipoglikemia (level gula darah yang turun di bawah normal). Kondisi tersebut berbahaya dan berisiko memicu timbulnya penyakit kardiovaskuler. Idealnya penurunan HBA1C harus dilakukan secara bertahap dan dipantau sekitar tiga bulan sekali.
Selain dijadikan indikator diagnosis DM, HBA1C memiliki nilai prediksi terhadap risiko komplikasi. Disebut normal, bila levelnya di bawah 5,7 persen. Diagnosis DM ditegakkan bila kadarnya lebih dari 6,5 persen. Jika levelnya di kisaran 5,7-6,4 persen, dikategorikan sebagai pre-DM. Semakin tinggi kadar HBA1C seorang penyandang DM, mengindikasikan buruknya regulasi gula darah, sekaligus meningkatkan risiko terjadinya berbagai macam komplikasi.
Selama prosesi ibadah di Tanah Suci, pemantauan kadar gula secara reguler tetap dianjurkan, guna mencapai kondisi optimal. Hal itu diperlukan agar terhindar dari komplikasi akut, berupa hiperglikemia atau hipoglikemia. Risiko tersebut berpotensi terjadi, terkait perubahan pola makan dan meningkatnya aktivitas fisik. Salah satu penyebab terjadinya hiperglikemia adalah konsumsi makanan berkalori tinggi ( kurma, gorengan, jus buah manis).Sebaliknya hipoglikemia yang justru lebih berbahaya, relatif sering terjadi. Kondisi itu dikarenakan jumlah asupan makanan yang berkurang/menurunnya nafsu makan, tetapi obat anti diabetes atau insulin tetap digunakan. Sering kali kondisi hipoglikemia malah tidak diwaspadai, karena gejalanya mirip/disalahartikan dengan rasa lelah atau kantuk terkait meningkatnya aktivitas ibadah.Karena itu bila diperlukan, tablet anti diabetes bisa disesuaikan dengan petunjuk dokter kloter. Untuk JHI yang menggunakan insulin, perlu memperhatikan konsentrasi insulin yang digunakan. Di Arab Saudi, umumnya digunakan dengan konsentrasi 100 U/ml. Banyak negara lainnya yang menggunakan konsentrasi 40 U/ml. Penyesuaian dosisinsulin, memerlukan petunjuk dari dokter kloter. Suhu tinggi (saat puncak haji, diperkirakan bisa mencapai 50 derajat Celsius), dapat meningkatkan penyerapan insulin, sehingga memicu terjadinya hipoglikemia.
Penyandang DM sering kali memiliki komplikasi kronik, berupa gangguan pembuluh darah dan saraf tepi. Risikonya memicu timbulnya luka di kaki (misalnya kulit kaki yang melepuh). Tekanan mekanis saat berjalan dan tingginya temperatur tanah, memudahkan luka tersebut terjadi. Ujung-ujungnya berisiko mengalami infeksi jaringan kaki (ulkus/borok) yang kadang-kadang sampai harus dilakukan amputasi. Infeksi yang relatif sulit ditanggulangi, disebabkan tertekannya status imunitas penyandang DM.
Ada beberapa saran untuk mencegah terjadinya masalah kaki. Pertama, gunakan pelembab tanpa pewangi, agar terhindar dari kulit retak/pecah saat berjalan.Kedua, jangan merendam kaki dengan air panas. Ketiga, kaus kaki empuk sebaiknya digunakan di area yang melarang penggunaan sepatu. Berjalan tanpa alas kaki, harusnya dihindari. Keempat, hendaknya segera mengeringkan kaki dengan handuk katun, setelah berwudhu. Kelima, segera minta bantuan medis, bila terjadi tanda-tanda peradangan kaki.
Semoga angka morbiditas dan mortalitas haji 2024, dapat ditekan secara maksimal.
—–o—–
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan