

Perbedaan persepsi sudah jamak terjadi. Publik memang majemuk. Mereka memandang suatu fakta, tergantung pada perspektifnya masing-masing. Sejatinya menangis adalah bagian integral dari suatu kehidupan. Sejak bayi ketika manusia dilahirkan, ditandai dengan tangis. Bagi seorang ibu yang melahirkan, itulah saat bersyukur diiringi cucuran mata bahagia. Para ahli medis paham, tangis merupakan fenomena fisiologi yang sangat manusiawi !
Banjir air mata seorang artis sinetron, tentu sangat berbeda dengan tangis jurnalis. Meski sama-sama di depan kamera, keduanya memiliki hakikat yang berbeda. Apalagi deraian air mata seorang pemimpin. Sedu-sedan ratapan seorang artis, bisa jadi merupakan bukti “integritas profesionalitas” mereka. Artinya, air mata merupakan penggal penghayatan skenario yang telah digariskan. Tapi mengapa deraian air mata ekspresi kesedihan di tengah bencana, memantik silang pendapat di ruang publik ? Kini muncul polemik di tengah masyarakat, imbas seorang jurnalis sebuah stasiun televisi terisak-isak ketika menyampaikan reportasenya. Berlatar belakang kerusakan lingkungan dampak bencana Aceh Tamiang, dengan suara terbata-bata Irine Wardhanie (IW) menyampaikan pandangan matanya. Sejatinya laporannya yang jujur, gamblang apa adanya, sangat diperlukan khalayak untuk menilai secara obyektif bencana yang terjadi. Imbas iba terhadap derita masyarakat terdampak bencana, pemirsa televisi ikut hanyut dalam perasaan duka. Tetapi oleh pihak-pihak tertentu, momen laporan mengharukan itu dianggap mendramatisasi peristiwa. Konon efeknya bergulir liar, memicu dugaan konspirasi dan framing negatif terkait mitigasi bencana. Sungguh memprihatinkan, kabarnya IW mengalami “serangan misinformasi”. Memang benar adanya, setiap profesi menyimpan suatu risiko. Bagi pihak yang “diuntungkan” akan menyampaikan apresiasi. Sebaliknya bagi yang merasa dirugikan, memantik friksi.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem, tak tahan melihat derita rakyatnya. Tangisnya pun pecah. Publik yang menyaksikan wawancaranya dengan Najwa Shihab, sang jurnalis senior, ikut terharu. Tidak ada narasi negatif tentang tangisan beliau. Masyarakat menganggapnya sebagai ekspresi duka yang sangat wajar. Sungguh-sungguh spontan dan alami. Bukan pula bagian dari suatu skenario. Padahal dalam lingkup sistem sosial patriarki, seorang laki-laki “tidak pantas” menangis. Pasalnya laki-laki telah “didoktrin” untuk bersikap tegar, mewakili otoritas moral dan pemimpin rumah tangga. Apalagi ketika mendapat mandat sebagai pemegang kekuasaan/jabatan. “Hebatnya”, Najwa Shihab tidak ikut larut dalam haru mendalam. Meski sebagai seorang perempuan sekaligus jurnalis, apakah dia lebih “tangguh” dari Mualem ? Tentu tidak bisa dijawab dengan narasi hitam-putih, untuk menyederhanakan masalah.
Jurnalis adalah profesi spesifik. Banyak rambu-rambu etika jurnalistik yang mengikat, saat mereka bertugas. Konon misinya harus memberikan informasi yang akurat pada publik. Mereka dituntut bersikap “datar” dan obyektif terhadap peristiwa yang diliputnya. Tidak ditambah, tidak dikurangi pula. Pokok masalah itu, sebagai parameter sisi profesionalitas dan integritasnya. Persoalannya, tugas mulia meliput peristiwa menyedihkan, tidak selalu mudah dijalankan. Kadang harus bisa memisahkan diri antara mindset pribadinya dengan misi obyektif yang harus dijalankannya. Sikap independen itulah yang kini “digugat” pihak-pihak tertentu, karena dipandang memantik opini liar yang dianggap merugikannya. Mungkin topik “air mata jurnalis”, bisa menjadi bahan diskusi ahli terkait.
Aspek medis air mata kesedihan
Sebagai seorang immunologist, penulis memiliki perspektif spesifik terkait air mata. Ketika seseorang meluapkan tangisan kesedihannya, secara bijak berikanlah kesempatan yang cukup. Reaksi emosional sesaat itu, perlu “difasilitasi”. Banyak manfaat di balik fakta menangis. Stres, depresi, merasa kehilangan, atau penyebab lainnya, sejatinya merupakan ekspresi lonjakan hormon stres. Kortisol, nama hormon tersebut, sangat perlu “disalurkan” untuk menuju suasana hati yang lebih damai. Ketegangan dan sistem keseimbangan (homeostasis) yang terjadi pada sistem saraf pusat (SSP), akan kembali menuju “titik nol”.
Mengutip pendapat Robert Ader tentang efek learning process pada regulasi sistem imun, menangis sangat diperlukan. Ada interaksi timbal balik antara SSP, kondisi kejiwaan, imunitas, dan hormon (konsep psiko-neuro-endokrino-imunologi). Ketika tubuh terpapar suatu stressor, secara otomatis melalui berbagai tahapan akan menginduksi sekresi berbagai hormon stres. Mekanisme itu memicu efek domino, menimbulkan efek modulasi pada sistem imun. Masalahnya, tidak semua orang mampu melepaskan stres secara “bijak”. Perlu pembelajaran dan adaptasi berkesinambungan, agar tidak merugikan diri sendiri. Stressor yang berlarut-larut tanpa mendapatkan solusi, berpotensi besar menekan imunitas. Dampak rentetannya berisiko menimbulkan berbagai manifestasi penyakit sistem imun. Bisa dalam wujud kerentanan terpapar infeksi atau munculnya penyakit autoimun. Karena itu semua pihak mesti menaruh empati dan rela mengulurkan tangan pada korban bencana.
Air mata adalah cara untuk berkata-kata tentang sesuatu yang tidak bisa terungkap oleh hati. Itulah wujud ekspresi empati yang paling jujur. Setiap tetes air mata adalah katalis sebuah pembelajaran, membuat seseorang lebih kuat dan bijaksana. Sistem imun pun “ditata kembali”, untuk menemukan jalannya menuju homeostasis baru yang fungsional.
—–o—–
*Penulis :
- Pengajar senior di :
- Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :
- Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
- Catatan Harian Seorang Dokter
- Sisi Jurnalisme Seorang Dokter (dua jilid)



Tinggalkan Balasan