

Namanya M-72/ASO1E. Sudah barang tentu, tidak semua orang dapat memahami makna di balik kode itu. Tak lain dan tak bukan, M-72/ASO1E adalah calon vaksin melawan tuberkulosis/TB. Kini, uji klinisnya ramai diperbincangkan publik. Tidak hanya memicu santernya berita hoax, tapi juga menimbulkan “perdebatan” di masyarakat.
Sejak kedatangan Bill Gates (BG) di Indonesia, kabar simpang siur soal M-72/ASO1E semakin merebak. Pasalnya pendiri Microsoft yang juga dikenal sebagai filantropi, diketahui sebagai penyandang dana uji klinisnya di Indonesia. Akhir-akhir ini, kabar berita tentang BG tersiar semakin deras. Diinformasikan pula, miliarder tersebut berencana mendonasikan hampir seluruh harta kekayaannya. Melalui Gates Foundation, Afrika menjadi sasaran alokasi dana bantuannya. Fokusnya pada pemberdayaan sistem kesehatan dan pendidikan yang jauh tertinggal dari negara-negara lain.
Kabar burung paling fenomenal menyangkut BG, adalah teori konspirasi asal usul virus COVID-19. Ada banyak rumor lainnya. Misalnya vaksin yang didanai kekuatan finansialnya, digunakan “mengendalikan” orang lain melalui microchip ciptaannya. Atau melalui perangkat lunak quantum-dot yang disuntikkan. Rumor yang tidak jelas juntrungannya, merupakan badai sempurna penyebaran disinformasi atau hoax. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutnya sebagai “infodemic”.
Tumbuh suburnya berita hoax/disinformasi, tidak lepas dari rendahnya minat baca masyarakat kita. Berdasarkan data UNESCO, rakyat Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Skornya 0,001 persen. Artinya, hanya satu di antara seribu orang Indonesia yang gemar membaca. Mayoritas lebih doyan menikmati tontonan dari semua platform media sosial. Kalau toh mengakses informasi, hanya tertarik pada segmen singkat suatu kesimpulan/ringkasan. Minimnya budaya membaca dan rendahnya literasi, berdampak pada kualitas berkomentar. Netizen negara kita, dinilai reaktif dan cenderung tidak sopan (menurut Digital Civility Index/DCI). Faktor-faktor tersebut, berpotensi memantik provokasi, hoax, fitnah, dan ujaran kebencian. Ringkasnya, belum ada budaya saring sebelum sharing di masyarakat.
Saya pribadi harus menyatakan disclaimer. Tidak ada relasinya dengan kegiatan BG di Indonesia. Tetapi yang hendak disoroti, adalah pentingnya uji klinis kandidat vaksin TB bagi masyarakat kita. Singkatnya, artikel ini murni untuk kepentingan edukasi publik semata.
Kendala mitigasi TB
Indonesia tergolong “darurat” TB. Kini sedikitnya tercatat 1.090.000 kasus. Angka kematiannya mencapai134 ribu per tahun. Dengan kata lain, terjadi 17 kematian per jamnya. Sangat mungkin realitasnya jauh melampaui catatan itu. Sebab, epidemiologi TB ibarat fenomena gunung es. Artinya kasus yang tidak terdeteksi, bisa berkali-kali lipat dibanding yang dikonfirmasi.
Pajanan Mycobacterium tuberculosis (MTb) pada seseorang, belum tentu langsung menyebabkan jatuh sakit. Mayoritas “hanya” akan mengalami infeksi laten. Fenomena itu bisa terjadi, jika imunitasnya “sempurna” (immunocompetent). Dengan berjalannya waktu, sekitar sepuluh persen di antaranya akan berkembang menjadi TB aktif. Latar belakang penyebabnya beragam. Terbanyak akibat terganggunya sistem imun (immunocompromised). Contohnya pada lansia, penyakit autoimun, kanker, HIV/AIDS, diabetes, dan sebagainya.
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), paling rentan mengalami TB aktif. Diperkirakan sebanyak 30 persen ODHA, disertai TB aktif. Kondisi itulah pemicu utama kematian ODHA. Hingga Maret 2023, tercatat 522.687 ODHA di Indonesia. Sama persis dengan TB, fenomena gunung es terjadi pula pada HIV. Banyak kasus HIV di masyarakat yang tidak terdeteksi, hingga memasuki fase AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Periode transisinya bisa berlangsung bertahun-tahun. Padahal mereka sangat menular, khususnya melalui kontak seksual. AIDS merepresentasikan terjadinya degradasi sistem imun. Pengidapnya rentan terpapar mikroba jenis apa pun. Terutama TB.
Mitigasi TB bukan persoalan sederhana. Relevansinya erat dengan rendahnya tingkat pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Sekitar 65 persen pengidapnya, beririsan dengan problem kemiskinan. Dampaknya, memantik masalah kurang gizi, intoleransi obat, komplikasi, dan fatalitas. Umumnya mereka menghuni rumah tidak layak dengan sistem ventilasi yang buruk.
Kepatuhan mengonsumsi obat secara reguler pun, sering terkendala. Efeknya memicu munculnya TB resistan obat (TB-RO). Dampak buruknya menambah kompleksnya mitigasi.
TB laten juga memerlukan pengobatan pencegahan. Tujuannya supaya tidak berkembang menjadi TB aktif. Karena tidak menampilkan gejala spesifik, sering kali penyandangnya menghentikan pengobatan atas inisiatif sendiri.
Riset vaksin TB
Berbagai kendala mitigasi TB, memantik upaya tindakan preventif. Sejatinya vaksinasi yang aman dan efektif, merupakan tulang punggung pencegahan penyakit menular yang paling ekonomis. BCG sebagai satu-satunya vaksin pencegah TB, sudah satu abad lamanya digunakan di seluruh dunia. Namun daya proteksinya amat terbatas. Hanya bisa mencegah seorang anak, agar tidak jatuh pada kondisi TB yang parah. Setelah remaja dan pada orang dewasa, daya proteksinya menjadi pupus. Bila terpapar MTb, justru mereka berpotensi besar sebagai sumber penularannya.
Kini tengah dikembangkan vaksin baru melawan TB. Berdasarkan data WHO, sedikitnya terdapat 15 kandidat vaksin dari berbagai platform. Beberapa di antaranya sudah memasuki tahap uji klinis aktif. Lainnya masih dalam fase pra-klinis. Ada berbagai mekanisme yang menjadi targetnya. Misalnya mencegah terjadinya infeksi (pra-paparan), mencegah progresivitas penyakit (pasca paparan), dan imunoterapi (bertujuan memperpendek rentang waktu terapi dan menekan risiko kambuh).
Berbeda dengan BCG yang komponen antigennya berasal Mycobacterium bovis (penyebab tuberkulosis pada sapi), struktur M72/ASO1E berasal dari MTb. Meski berbeda spesies, kedua bakteri masih “berkerabat”. Di antara keduanya, menghasilkan imunitas silang. Tetapi vaksin besutan BG, diproyeksikan lebih kuat dalam merangsang imunitas. Nantinya diindikasikan mencegah perkembangan TB laten menjadi TB aktif.
Tahapan uji vaksin bersifat baku. Uji pra-klinis dilakukan pada hewan coba. Fase satu dilakukan pada sebagian kecil orang sehat. Fase dua pada ratusan orang dari berbagai kelompok. Fase tiga pada ribuan orang. Pengembangan M72/ASO1E pada hewan coba, dimulai sejak tahun 1999-2009. Kini telah memasuki uji klinis fase tiga. Tujuan utamanya adalah mengevaluasi efektivitas kandidat vaksin. Tujuan lainnya memastikan tingkat keamanan dan kapasitasnya menginduksi sistem imun protektif. Sejatinya masalah keamanan dan dosis vaksin, telah dievaluasi pada fase satu dan dua. Karena itulah relawan/peserta uji klinis tahap tiga, tidak bisa dilakukan pada sembarang orang. Intinya harus memenuhi kualifikasi tertentu. Terutama berusia 15 hingga 44 tahun.
Semoga dengan partisipasi segenap masyarakat, mitigasi TB di Indonesia dapat terlaksana sesuai harapan.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan