

Setelah seluruh rangkaian ibadah haji disempurnakan, jamaah haji bersiap meninggalkan Tanah Suci Makkah dengan hati yang penuh haru. Namun, sebelum melangkahkan kaki menuju tanah air, mereka diwajibkan untuk melaksanakan satu ibadah penting: Tawaf Wada’, atau tawaf perpisahan. Ini bukan sekadar ritual formalitas, tetapi ungkapan perpisahan yang sarat makna spiritual kepada Baitullah.
Sejarah Tawaf Wada’
Tawaf Wada’ memiliki akar kuat dalam sejarah Islam, dimulai sejak masa Nabi Muhammad SAW. Rasulullah menetapkan tawaf ini sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada Ka’bah sebelum meninggalkan Makkah. Dalam sejarahnya, para sahabat yang hendak kembali ke kampung halaman mereka senantiasa melaksanakan tawaf ini, sebagai bentuk ikatan emosional dan penghormatan terakhir kepada rumah Allah.
Tawaf Wada’ menjadi simbol bahwa meskipun fisik meninggalkan Makkah, ruh dan hati tetap tertambat kepada Ka’bah, kiblat umat Islam di seluruh dunia.
Dalil Tentang Tawaf Wada’
Kewajiban melaksanakan tawaf wada’ bagi jamaah haji ditegaskan dalam hadits-hadits shahih. Di antaranya adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: “أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ، إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْحَائِضِ.”
“Disuruh orang-orang untuk menjadikan akhir dari amalan haji mereka adalah tawaf di Ka’bah, kecuali bagi wanita haid.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa seluruh jamaah haji diwajibkan untuk menutup rangkaian hajinya dengan thawaf wada’, kecuali bagi wanita yang sedang haid. Dalam madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama, tawaf ini termasuk wajib haji. Bila ditinggalkan tanpa uzur, jamaah wajib membayar dam (denda) berupa menyembelih kambing.
Makna dan Hikmah Tawaf Wada’
Tawaf Wada’ bukan hanya aktivitas fisik memutari Ka’bah sebanyak tujuh kali. Ia menyimpan sejumlah hikmah dan pelajaran spiritual:
- Ungkapan Perpisahan yang Penuh Cinta:
Tawaf wada’ adalah simbol perpisahan antara hamba dengan Baitullah. Ibarat seorang kekasih yang berat meninggalkan yang dicintai, tawaf ini menjadi bentuk tangisan perpisahan spiritual, bahwa hati enggan beranjak meski kaki harus melangkah pergi. - Menegaskan Kecintaan pada Ka’bah:
Dalam perjalanan ibadah haji, Ka’bah menjadi poros utama yang selalu diingat dan dituju. Tawaf wada’ mengukuhkan bahwa cinta kepada rumah Allah tidak berakhir meskipun ibadah haji telah selesai. - Pengingat untuk Tetap Istiqamah:
Tawaf wada’ menandai akhir dari sebuah perjalanan suci. Namun sejatinya, ia menjadi awal dari perjalanan hidup baru yang lebih taat dan lebih dekat kepada Allah SWT. Ia mengingatkan bahwa haji bukan hanya ritual, tapi titik tolak perubahan hidup. - Doa Terakhir di Tempat Paling Mustajab:
Dalam thawaf wada’, jamaah dianjurkan memperbanyak doa, karena tempat dan waktu tersebut sangat mustajab. Doa dalam thawaf wada’ ibarat wasiat ruhani sebelum meninggalkan Tanah Suci. - Rasa Syukur dan Harapan untuk Kembali:
Dengan tawaf wada’, jamaah menyampaikan rasa syukur telah menyelesaikan haji. Sekaligus menyimpan harapan dan doa untuk bisa kembali lagi ke Baitullah di masa depan.
Tawaf Wada’ adalah penutup yang indah dari sebuah perjalanan spiritual yang agung. Ia bukan hanya ritus ibadah, tapi juga perpisahan yang mendalam secara emosional dan ruhani. Saat jamaah menyelesaikan putaran terakhirnya, tak sedikit yang meneteskan air mata — bukan karena lelah, tapi karena berat meninggalkan rumah Allah.
Bagi siapa pun yang telah menunaikannya, tawaf wada’ adalah janji dalam hati: semoga suatu hari nanti, Allah SWT memanggil kembali untuk datang sebagai tamu-Nya. Dan jika tidak, semoga perjalanan hidup setelah haji menjadi lebih bermakna dan lebih dekat dengan ridha-Nya.
—000—
*Jurnalis senior, tinggal di Surabaya
Tinggalkan Balasan