

Masalah tembakau memicu polemik pembahasan yang tiada habisnya. Ada dampak kesehatan yang pasti merugikan. Tetapi dengan perkembangan teknologi terkini, tembakau berpotensi sangat menguntungkan. Tidak hanya dari aspek ekonomi, tapi juga bermanfaat dari sisi medis.
Baca juga: Kenaikan Cukai Tembakau, Bikin Petani Makin Galau?
Aspek kesehatan
Saya mengawali tulisan ini dengan mengutip narasi bijak George Bernard Shaw. Dia adalah peraih Nobel Sastra tahun 1925. Berkebangsaan Irlandia dan Inggris. “A cigarette is a pinch of tobacco rolled in paper with fire at one end a fool at the other” (sebatang rokok adalah sejumput tembakau yang digulung di atas kertas dengan api di satu ujung dan orang bodoh di ujung yang lain). Seburuk itukah predikat yang pantas disematkan pada seorang perokok ?
Demikian pentingnya masalah rokok, membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), selalu menyampaikan pesan peringatan. Ada beberapa fakta yang mengejutkan.
Baca juga: Dampak Rokok terhadap Kesehatan Mental: Dari Gangguan Tidur hingga Disfungsi Memori
Tembakau berisiko “membunuh” 50% penggunanya
Lebih dari delapan juta orang di seluruh dunia meninggal karenanya. Sekitar tujuh juta di antaranya, meninggal akibat efek langsung penggunaan tembakau. Sisanya merupakan perokok pasif, akibat “kesembronoan” seorang perokok yang tidak peduli terhadap hak-hak individu lainnya. Mestinya mereka bebas menikmati udara bersih tanpa asap rokok.
Diperkirakan pengguna tembakau sedikitnya berjumlah sekitar 1,3 milyar jiwa di seluruh dunia. “Anehnya”, lebih dari 80 persen berasal dari negara-negara berpendapatan rendah-sedang.
Indonesia memiliki data yang tidak kalah mengagetkan. Tren prevalensi perokok meningkat dari tahun ke tahun. Eskalasinya mencapai 7,4 persen pada anak dan remaja berusia 10-18 tahun. Faktanya berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. Kini setidaknya ada sekitar 70 juta perokok aktif. Rentang usia 15-19 tahun, merupakan kontributor utama. Angkanya mencapai 56,5 persen. Peringkat kedua diduduki populasi berusia 10-14 tahun. Proporsinya sebesar 18,4 persen.
Terkait usia, tidak ada upaya pencegahan ketika seorang anak-remaja membeli rokok. Mayoritas mereka “terinspirasi” melalui iklan di televisi, kios-kios penjualan, internet, dan media sosial. Kini Indonesia disematkan sebagai peringkat keempat jumlah perokok tertinggi di dunia.
Awal tahun 2025, Kementerian Kesehatan mengungkap proporsi rokok dalam biaya keluarga. Anggarannya hampir sama dengan belanja untuk protein hewani. Artinya, betapa egoisnya seorang perokok yang tega mengorbankan anggota keluarga lain. Lebih mementingkan rokok, ketimbang membeli makanan bergizi !
Banyak substansi yang terkandung dalam rokok. Menurut riset, ada sekitar tiga ribu senyawa di dalamnya. Meski demikian, hanya nikotin yang memiliki efek adiksi paling kuat. Senyawa itu memicu rewards pathway. Artinya, penggunanya akan terus berkeinginan untuk memperoleh dan “menikmati” nikotin melalui rokok. Mekanisme tersebut bisa menerangkan terjadinya ketergantungan fisik dan psikis pada seorang perokok. Efek psikoaktif yang ditimbulkannya, dapat memantik perubahan perilaku, emosi, persepsi, dan kesadaran pada penggunanya.
Merokok tidak melanggar hukum. Secara legal terbukti dengan dikenakannya cukai rokok dan produk tembakau. Dengan mempertimbangkan dampak buruknya, kini pemerintah menerbitkan aturan pemasarannya. Termasuk di antaranya larangan beriklan di media sosial. Penjualannya pun dilarang dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Aturannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024. Itu merupakan peraturan pelaksana dari UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Tujuannya tidak lain untuk menurunkan prevalensi dan mencegah perokok pemula. Diharapkan dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas yang diakibatkannya.
Aspek Ekonomi
Tembakau mempunyai sisi positif. Kontribusi ekonominya sangat signifikan bagi negara. Terutama terkait penyerapan tenaga kerja yang mampu menurunkan angka pengangguran. Sumbangsih cukai dan devisanya untuk negara, layak diperhitungkan. Cukai rokok pada tahun 2024, mencapai Rp.226 Triliun. Bandingkan dengan anggaran makan bergizi gratis. Tahun 2025 dialokasikan “hanya” sebesar Rp. 71 Triliun.
Indonesia merupakan negara ke empat sebagai produsen terbesar tembakau di dunia. Industri Hasil Tembakau (IHT), menjadi salah satu sektor manufaktur nasional yang strategis. Mata rantai ekonominya amat luas, mulai dari hulu hingga hilir. Kontribusinya terhadap aspek sosial, ekonomi, maupun pembangunan bangsa Indonesia, tidak perlu diragukan lagi.
Perkembangan teknologi
Kini tembakau banyak digunakan sebagai model riset pengembangan bioteknologi. Sebab tanaman tersebut relatif mudah dimodifikasi/direkayasa genetik, untuk berbagai keperluan medis. Misalnya dimanfaatkan untuk menghasilkan obat, antibodi, dan vaksin yang berbasiskan pada sintesis protein rekombinan.
ZMapp merupakan contoh produk biofarmasi berupa antibodi yang dirancang menggunakan sistem ekspresi berbasiskan tembakau. Sementara ini pengembangannya ditujukan untuk pengobatan penyakit Ebola yang marak di Afrika Barat.
Ekstrak tembakau juga banyak dikembangkan dalam rekayasa jaringan. Manfaatnya sebagai pengobatan luka dan regenerasi sel. Dalam dosis terukur, kini nikotin diteliti untuk pengobatan Alzheimer, Parkinson, dan depresi. Sedangkan alkaloidnya dimanfaatkan sebagai obat pereda nyeri dan anti peradangan. Dalam bidang pertanian, ekstraknya bisa dimanfaatkan sebagai pestisida alami.
Kebijakan yang cerdas adalah yang mampu mengubah risiko merugikan, menjadi peluang yang menguntungkan.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan