Kendari (Trigger.id) – Satu hari menjelangpuncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pada tanggal 9 Februari 2022, suasana Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) sudah terlihat ramai. Ratusan tamu undangan yang rata-rata para jurnalis dari berbagai kota seluruh Indonesia sudah mulai hilir mudik sejak H-3.
Mereka selain mengikuti serangkaian agenda diskusi juga tidak lupa berkeliling kota. Ada yang memburu kuliner, ke lokasi wisata dan ada pula yang mengunjungi kampung-kampung Kota Kendari melihat tradisi warga.
Lantas kuliner apa yang perlu dinikmati senyampang berada di Kota Kendari ?Tentu banyak macam dan rasa. Ada sedikitnya Sembilan makanan khas Kendari seperti Lapa-lapa, Kabuta, Sinonggi, Kasoami, Kapusu, Sate Gogos Pokea, Karasi, Ikan Dole, dan Jus Patikala.
Namun ada satu lagi tradisi khas Suku Muna, Kendari yang layak diketahui yakni Tunuha. Namun sayangnya, tradisi membakar ubi ini tidak bisa dinikmati para jurnalis yang sedang merayakan HPN di Kendari pada Februari ini. Kenapa ? Tradisi bakar ubi ini hanya dibuat Suku Muna pada bulan September sampai Desember, usai musim panen Ubi.
Mengutip laman web Dinas Pariwisata, Sulawesi Tenggara, Tunuha adalah kuliner khas Suku Muna yang pembuatannya terbilang unik. Keunikan tunuha bukan saja dari proses pembuatan namun rasa juga sangat menggoda lidah kita, rasa ubi, gula merah dan kelapa membaur menjadi satu kenikmatan rasa.
Memang tunuha, merupakan makanan berbahan ubi yang dicampur dengan bahan alami lainnya serta dikemas menggunakan bambu atau daun, kemudian dibakar di atas batu yang membara.
Uniknya, makanan ini tidak selalu bisa ditemui setiap hari, karena pembuatan dilakukan pada momen tertentu, misal usai panen ubi oleh petani di bulan September hingga pertengahan Desember. “ Ini sebagai ungkapan rasa syukur petani ubi kepada Sang Pencipta atas hasil panen yang sudah diberikan,” ujar Yusnandar, warga Kota Kendari, kepada Trigger.id, Selasa (8/2).
Dijelaskan Yusnandar, proses pembuatan dilakukan secara gotong royong, saling berbagi peran antara kaum lelaki dan perempuan. Tatkala kelompok perempuan mempersiapkan ubi kayu, gula merah, kelapa serta bahan lainnya, kelompok lelaki juga mempersiapkan lokasi pembakaran serta bahan-bahan yang dibutuhkan.
Penentuan lokasi atau Katidaki, tidak asal dilakukan sembarang. Ada Imam (Modhi/orang yang memimpin doa) memandu pelaksanaan ini, tujuannya memohon kepada sang pencipta agar pelaksanan berjalan baik dan lancar. “Acara tradisi ini kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dilakukan hingga sekarang,” beber Yusnandar.
Uniknya lagi, manakala Tunuha yang sudah dikemas oleh kaum perempuan kedalam daun berbentuk piramida atau yang telah terisi dalam bambu sudah siap, maka selanjutnya diantar ke lokasi pembakaran yang berupa lubang besar.
Luasnya lubang diukur berdasarkan banyaknya orang yang akan mengikuti tradisi Tunuha. Semakin banyak pesertanya, semakin besar lubangnya.
Pada tahap selanjutnya mempersiapkan kayu dan bebatuan yang telah dikumpulkan lalu disusun rapi. Diawali peletakan kayu dan pembakaran batu, semuanya dilakukan oleh Modhi, kemudian disusul peserta atau masyarakat sekitar.
Kayu diletakkan dengan cara disusun berdempet karena di atas kayu akan diletakkan batu-batu Setelah itu kayu dan batu dibakar melalui celah lubang yang ada dibawahnya.
Selama proses pembakaran, sebagian laki-laki mempersiapkan dedaunan yang tebal, biasanya yang dipilih daun sukun dan daun jati. Jika kayu dan batu telah terbakar secara keseluruhan maka daun-daun di atas berfungsi untuk menutupi uap kayu dan batu agar hawa panasnya tidak keluar.
Jika segalanya telah siap, maka satu persatu Tunuha dimasukkan ke dalam lubang, selanjutnya ditutup dengan bara, kemudian dilapisi lagi dengan dedaunan, dan tahap akhir, lubang ditimbun dengan tanah.Tunuha akan dibiarkan di dalam lubang tanah selama semalam.
Di beberapa desa yang juga melakukan tradisi ini, biasanya sembari menjaga tumpukan Tunuha yang dibakar, ada kegiatan kesenian seperti berbalas pantun yang di iringi alunan musik gambus dan Katou (alat musik pukul dari kayu yang disusun di kaki).
Setelah pagi harinya, gundukan tanah siap untuk dibuka. Lagi-lagi, Modhi dipersilahkan untuk membaca doa terlebih dahulu sebagai wujud rasa syukur kepada sang Pencipta, atas hasil panen. Dalam doanya juga diharapkan agar masyarakat dijauhkan dari marabahaya. (kai)
Tinggalkan Balasan