Tatkala semua anggota keluarga ibu Remi (bukan nama sebenarnya) tertidur pulas, ibu dua orang anak itu merasakan demam tinggi. Obat penurun panas yang biasa digunakannya, hanya mampu menurunkan demam sesaat saja. Setelah itu, demamnya melonjak lagi. Ada gejala penyerta lainnya. Muntah-muntah dan sakit kepala yang tak tertahankan, memaksa sang ibu membangunkan suaminya untuk mengantarkannya ke instalasi gawat darurat suatu rumah sakit. Esok harinya, perempuan paruh baya itu sudah mendapatkan penjelasan dari dokter yang merawatnya, bahwa dirinya terpapar demam berdarah dengue (DBD).
Ternyata ibu Remi tidak mengalaminya sendiri. Dua hari berselang,kedua anaknya kakak beradik Dore dan Redo (bukan nama sebenarnya), menyusul ibunya dirawat di rumah sakit. Diagnosisnya sama, yakni DBD. Hanya saja dengan berjalannya waktu, keduanya mengalami manifestasi klinis yang berbeda. Dore sang kakak yang seorang mahasiswa, terpaksa harus mendapatkan perawatan yang lebih intensif di ICU. Meski adiknya, Redo, juga menampakkan adanya bintik-bintik merah di sekujur kedua kaki dan lengannya, namun tidak mengalami perdarahan dan syok seperti kakaknya. Hingga kini tidak mudah untuk memprediksi perjalanan klinis penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes tersebut. Manifestasinya sangat beragam. Bagaikan suatu spektrum, mulai yang tanpa gejala, mengalami syok dan perdarahan, hingga yang berakhir dengan kematian.
Keluarga ibu Remi bukan satu-satunya yang mengalami DBD secara berbarengan. Banyak warga masyarakat lainnya di beberapa kota di Indonesia, mengalami masalah yang sama. DBD sudah menjadi berita rutin di saat musim hujan. Kasusnya saat ini dikabarkan sedang melonjak. Angka kematiannya pun, dilaporkan meningkatdi beberapa daerah.Karena itu pemberantasan sarang nyamuk (PSN) mulai digalakkan lagi, walaupun tidak semua warga konsisten menjalankannya. Memang sangat tidak mudah menggalang pemahaman yang sama, bahwa PSN merupakan cara penting yang rasional dalam hal pencegahan DBD. Nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor/pembawa virus dengue, akan tumbuh subur pada setiap genangan air. Terutama saat musim hujan. Harusnya program nyamuk ber-Wolbachia yang bertujuan menekan penularan virus dengue, menjadi opsi penting. Tetapi beberapa waktu yang lalu, program yang terbukti cukup efektif menurut riset itu, menimbulkan pro-kontra. Bahkan di beberapa daerah, mendapatkan penolakan dari masyarakat setempat.
Sejatinya pencegahan menjadi kata kunci pengelolaan utama penyakit yang relatif lawas tersebut. Pasalnya hingga kini belum ditemukan obat anti virus yang spesifik yang bisa diandalkan. Pengobatannya pun hanya bersifat suportif saja, dengan memberikan cairan yang memadai, disertai obat-obat simtomatis untuk mengurangi gejala klinisnya. Oleh karena itu, harusnya vaksinasi menjadi pilihan utama yang paling ideal. Dari perspektif epidemiologi dan klinis, vaksinasi merupakan modalitas yang terbukti paling aman, efektif, dan termurah, dalam pencegahan suatu penyakit menular. Itu tidak hanya berlaku untuk DBD, tetapi juga terhadap penyakit-penyakit menular lainnya yang sudah tersedia vaksinnya. Prinsipnya, mencegah lebih baik daripada mengobati.
Vaksin DBD
Belajar dari mitigasi Covid-19, vaksinasi menjadi opsi penting menekan dampak buru kakibat pandemi. Banyak penyakit menular lainnya yang juga bisa “dijinakkan” dengan vaksinasi. Saat ini riset untuk menemukan vaksin DBD yang aman dan efektif, sedang digalakkan. Beberapa kandidat vaksin sedang menjalani uji klinis secara intensif.
Penggunaan vaksin DBD tidak bisa sembarangan. Indikasinya harus mempertimbangkan beberapa aspek. Pada kasus ibu Remi, dari hasil pemeriksaan darahnya, didapatkan suatu partikel virus yang bisa memastikan virus dengue sebagai penyebabnya. Antibodi sebagai respons terhadap virus dengue, juga berhasil diidentifikasi. Lebih mendetail lagi, bisa dipastikan bahwa ibu Remi baru untuk pertama kalinya terpapar DBD. Di daerah endemis DBD, seperti halnya di negara kita, terdapat empat macam (serotipe) virus yang bersirkulasi secara bersama-sama. Masing-masing diberi kode DENV (dengue virus)-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Seseorang yang bertempat tinggal di daerah endemis, berisiko terpapar sebanyak empat kali pula oleh masing-masing serotipe.
Kejadian yang dialami oleh ibu Remi, disebut sebagai infeksi primer. Pada kasus demikian, hampir keseluruhannya akan menampilkan gejala yang relatif ringan, atau bahkan bisa tanpa gejala sama sekali. Seseorang yang pernah terpapar oleh salah satu serotipe virus, akan memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama. Tetapi akibatnya bisa sangat berbeda, bila terpapar ulang oleh serotipe virus yang berbeda (infeksi sekunder heterolog). Antibodi infeksi primer hanya bisa bertahan dalam waktu yang relatif singkat, untuk bisa menghadang serotipe virus lainnya. Setelah melampaui waktu tertentu, antibodi tersebut bukan bertindak sebagai lawan, melainkan sebagai “kawan” bagi paparan serotipe virus lainnya. Dampaknya justru memicu dengan cepat perkembangbiakan virus yang bisa berkontribusi penting pada timbulnya gejala klinis yang lebih berat (dengue shocksyndrome/DSS). Dalam istilah medis, penyakit akibat infeksi sekunder berbeda serotipe (heterolog) itu, dikenal sebagai anti body dependent enhancement (ADE).
Antibodi infeksi primer dan atau sekunder, dapat dideteksi keberadaannya di dalam darah. Pada contoh kasus Dore dan Redo, keduanya mengalami infeksi sekunder, meski memberikan dampak klinis yang berbeda. Itulah keunikan DBD, kadang bisa sulit memprediksi hasil akhir dari suatu paparan virus yang sama. Karena merasa khawatir tertular, ayah mereka juga minta diperiksa. Hasil tes darahnya, tidak didapatkan partikel virus ataupun antibodi infeksi primer.
Di beberapa negara di dunia, khususnya negara-negara endemis dengue, vaksin dengue telah menunjukkan peran pentingnya mengatasi problem klinis yang tak mudah diprediksi itu. Mekanisme terjadinya ADE, menjadi pertimbangan yang sangat vital bagi riset dan penerapan vaksin DBD pada masyarakat.
Di dalam negeri, saat ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberi izin edar untuk vaksin DBD. Meski demikian, belum banyak masyarakat yang telah mengetahuinya. Vaksin generasi pertama telah bisa digunakan sejak tahun 2016. Vaksin ini hanya diindikasikan bagi individu yang pernah terpapar infeksi dengue. Tujuannya untuk mencegah paparan ulang virus secara alamiah yang berbeda serotipe, dan itu bisa terjadi kapan saja. Karenanya sebelum dilakukan vaksinasi, harus dilakukan skrining terlebih dahulu, untuk mendeteksi keberadaan antibodi anti dengue (seropositif). Langkah ini penting untuk mencegah terjadinya ADE. Nantinya Ibu Remi memerlukan vaksinasi, untuk mencegah manifestasi klinis ADE seperti yang telah dialami oleh Dore.
Vaksin generasi kedua, telah mendapatkan izin edar pada September 2022. Vaksin yang aman dan efektif ini, tidak memerlukan skrining pra-vaksinasi sebelum digunakan. Diindikasikan untuk seseorang dengan rentang usia 6-45 tahun,dalam mencegah paparan keempat serotipe virus dengue sekaligus. Vaksin generasi kedua ini sangat sesuai diberikan pada suami ibu Remi.
Hingga kini, DBD masih menjadi momok terutama di kala musim hujan. Tetapi dengan berbagai macam tindakan preventif, termasuk vaksinasi, niscaya dapat menekan dampak buruk akibat penyakit tersebut.
—–o—–
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan