

Ada suatu kisah yang patut menjadi renungan dan inspirasi kita bersama. Cerita itu sebenarnya sudah relatif lama, tetapi membawa memori indah bagi penyandang kanker.
Kisahnya terjadi pada Mei 2016. Seorang bocah Belanda yang dijuluki “Super Tijn”, mampu membuat Negeri Kincir Angin itu “menangis”. Usianya baru enam tahun, saat dia divonis menderita kanker otak. “Anehnya” si bocah tidak merasa sedih. Dia merasa masih sangat beruntung. Pasalnya menurut dokter yang merawatnya, banyak anak yang senasib dengannya. Bedanya Tijn bisa berobat, karena keluarganya tergolong mampu secara finansial.
Banyak anak lainnya di seluruh dunia tidak seberuntung Tijn. Mereka hanya pasrah “menanti” kematian. Luar biasanya, bocah itu dengan caranya sendiri berusaha “menggalang dana”. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk anak-anak lainnya yang senasib dengannya. Caranya sangat unik. Dia menawarkan mengecat kuku teman-teman sekolahnya dengan kuteks. Biayanyapun sangat ramah bagi kantong teman-teman kecilnya. Kiatnya tersebut sangat menyentuh rasa kemanusiaan teman-temannya.
Baca juga: Vaksin m-RNA, Terapi Inovasi Melawan Kanker Pankreas
Baca juga: Kanker Serviks Pembunuh Terbanyak Wanita di Indonesia
Singkat cerita, upaya si bocah yang tidak biasa itu terekspos ke seluruh pelosok negeri. Dalam waktu yang relatif singkat, banyak penyandang dana yang tergerak ikut termotivasi. Dana yang mereka kumpulkan,bertujuan membantu perawatan orang lainnya yang secara ekonomi tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan.Meski akhirnya Tijn tidak mampu diselamatkan nyawanya, namun inspirasi yang diciptakannya masih “hidup” hingga sekarang.
Apa hikmah dari kisah inspiratif itu? Pertama. Selama ini masyarakat masih “salah dalam memahami”, bahwa kanker hanya akan terjadi pada orang dewasa atau lansia. Pendapat itu tidak seluruhnya salah. Data epidemiologi menunjukkan, bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka risiko terkena kanker akan semakin meningkat pula.
Kedua.Khalayak sudah sangat mengerti, bahwa mayoritas penyakit keganasan tersebut akan berakhir dengan menyedihkan. Terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan, dengan alasan apa pun. Sudah lazim diketahui, bahwa prognosis kanker jenis tertentu pada umumnya kurang baik.Terutama yang baru terdeteksi/berobat pada fase yang sudah lanjut.
Ketiga.Masyarakat sudah mafhum, bahwa pengobatan kanker cenderungmemakan biaya sangat besar. Meski di Indonesia sebagian biaya pengobatannya bisa ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, tetapi berisiko besar bagi kehidupan sosial penyandang kanker dan keluarganya. Hampir bisa dipastikan, mereka akan bolak-balik ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk berobat. Itu sangat menyita waktu, tenaga, pikiran, dan biaya.Acap kali penyandang kanker akan mengalami kesulitan dalam bekerja, bahkan berujung pada pemutusan hubungan kerja(PHK). Bagi sebuah keluarga yang terkena dampak penderitaan akibat kanker, kondisi tersebut bagaikan pepatah“sudah jatuh tertimpa tangga”.
Berdasarkan data Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) 2023, kanker dikategorikansebagai kasus katastropik(berbiaya tinggi). Pembiayaannya menduduki peringkat kedua,setelah penyakit jantung. Dalam alokasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), biaya keseluruhannya mencapai 4,3 triliun. Bila dibuat rata-rata,anggaran pengobatannya bisa menghabiskanseratus juta rupiah perorang per bulan.Komponen biaya itu terdiri dari kemoterapi, radioterapi, operasi, dan imunoterapi berbasiskan pengobatan presisi. Sungguh angka-angka itu terbilang fantastis untuk kondisi rakyat Indonesia seperti saat ini.
Keempat.Tidak mudah untuk menggalang dana yang ditujukan untuk riset pengembangan teknologi terkini pengelolaan suatu kanker. “Peluang” itulah yang seharusnya diambil oleh para politikus negeri ini. Khususnya saat berkampanye program kesehatan, menghadapi kontestasi pesta demokrasi 14 Februari 2024. Banyak kisah penyandang kanker yang bisa menginspirasi pasangan Capres/Cawapres Indonesia, dalam mengambil kebijakan yang akan diputuskan nantinya. Waktunya pun sangat tepat, karena bersamaan dengan peringatan hari kanker sedunia tanggal 4 Februari 2024.
Menanti kebijakan melawan kanker
Berbagai kisah inspiratif, mampu mendorong penelitian dalam bidang pencegahan dan pengobatan kanker. Terutama bila dialami secara langsung oleh seorang figur publik. Misalnya yang terjadi pada keluarga Joe Biden, presiden Amerika Serikat saat ini. Beau Biden, putra tertuanya, juga meninggal karena kanker otak pada Mei 2015. Di sisi lain, ibu negara Jill Biden mengalami kanker kulit, tetapi dapat disembuhkan. Peristiwa itu mampu menginisiasi berdirinya National Cancer Moonshot yang memprakarsai banyak riset mengenai kanker. Pendanaannya tidak hanya berasaldari partisipasi filantropi, tetapi juga dikuatkan melalui suatu undang-undang. Aktivitasnya mampu mengorganisir hampir seluruh peneliti kanker dari seluruh dunia. Tugasnya memerangi kanker !
Di Indonesia, kita tidak perlu harus menunggu “kisah pilu” dari seorang figur publik. Segenap warga bisa digerakkan dalam misi melawan kanker. Kuncinya terletak pada visi dan misi Capres/Cawapres, dalam upaya perlawanan terhadap kanker. Kampanye politik atau debat Capres/Cawapres, merupakan media yang tepat dalam menginisiasi gerakan yang lebih masif melawan penyakit yang tidak mudah ditaklukkan itu.
Sejatinya kanker bukan disebabkan oleh “nasib buruk” yang menimpa seseorang. Banyak faktor yang melatarbelakangi risiko seseorang yang akhirnya menimbulkan kanker. Setiap jenis kanker memiliki faktor risikonya masing-masing. Bersifat spesifik, artinya antara satu individu dengan individu lainnya bisa berbeda. Mayoritas faktor risikonya adalah “kesalahan” pada diri kita sendiri, sebagai akibat pola hidup yang tidak sehat. Kebiasaan makanan yang buruk, merokok, minimnya aktivitas fisik, kegemukan/obesitas, hingga konsumsi alkohol, secara kumulatif merupakan 70-90 persen risiko pemicunya. Sisanya sekitar 10-30 persen kasus, terkait dengan faktor genetik atau unsur lainnya yang belum bisa diidentifikasi.
Saat pandemi COVID-19 berlangsung, fasilitas pelayanan kesehatan mengalami tekanan hebat. Hampir semua sumber daya bidang kesehatan yang kita miliki, difokuskan bagi mitigasi dampak buruk pandemi. Akibatnya, pengelolaan kasus-kasus medis non-COVID-19 menjadi relatif terbengkalai, termasuk terhadap kanker. Persoalan itu membawa efek pemburukan penyakit yang dampak kerugiannya terasa hingga kini. Probabilitas kesembuhan melalui operasi, kemoterapi, radiasi, atau modalitas terapi lainnya, menjadi terhambat secara signifikan. Keterlambatan penanganan, memantik peningkatan stadium kanker yang berujung pada peningkatan risiko kematian.
Sejarah menunjukkan, bahwa pandemi pada masa lampau dan krisis lainnya, dapat menjadi katalis untuk membangun kembali ketertinggalan pengelolaan suatu penyakit. Paradigma yang baru, diharapkan muncul dari gagasan calon pemimpin bangsa ini. Dinantikan arah kebijakannya yang selaras dengan pemangku kepentingan lainnya, mulai dari tingkat pusat, provinsi, ataupun kabupaten/kota. Khususnya dalam hal mitigasi melawan kanker.
—–o—–
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan