
Yogyakarta (Trigger.id) – Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidatonya dihadapan mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Mesir (18/12) terkait dengan keinginannya untuk mengampuni koruptor dengan syarat mengembalikan aset negara. Menanggapi hal ini, Yuris Rezha Darmawan, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat), Fakultas Hukum UGM, menilai niat Prabowo tersebut terlihat baik, namun pelaksanaannya membutuhkan pendekatan yang tepat. Sebab, kejahatan korupsi memiliki pola dan karakteristik tertentu. Oleh karena itu, pemberantasannya harus disesuaikan dengan karakter kejahatan tersebut. “Alih-alih memberikan pengampunan, negara seharusnya fokus menciptakan efek jera agar pelaku tidak mengulanginya,” ujar Yuris, Jumat (27/12).
Menurutnya, sebagian besar pelaku korupsi bertindak berdasarkan motif ekonomi sehingga harus diberikan efek jera yang efektif dengan pemiskinan dan perampasan aset hasil korupsi. Ia menegaskan bahwa negara perlu memastikan bahwa aset-aset tersebut benar-benar dikembalikan menjadi milik negara.
Yuris mengusulkan beberapa strategi yang dapat dilakukan pemerintah sebagai alternatif pengampunan koruptor. Pertama, presiden perlu mendorong aparat penegak hukum untuk mengikuti aliran dana hasil korupsi, bukan hanya fokus pada pemidanaan pelaku. Dengan melacak aset-aset tersebut, negara dapat lebih mudah merampas hasil kejahatan untuk dikembalikan sebagai aset negara. Menurutnya, hasil korupsi sering kali tidak disimpan dalam bentuk uang tunai, tetapi diwujudkan dalam aset lain seperti investasi atau diatasnamakan orang lain. “Lebih dari itu, setiap perkara korupsi semestinya menyandingkan pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana korupsi dengan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sayangnya, pendekatan ini belum banyak diterapkan,” ungkapnya.
Yuris turut menggarisbawahi pentingnya mengoptimalkan penagihan uang pengganti yang telah diputuskan pengadilan. Banyak pelaku korupsi yang divonis membayar uang pengganti, tetapi hingga kini belum memenuhi kewajibannya. “Berdasarkan laporan tahunan terakhir kejaksaan yang saya baca, terdapat puluhan triliun rupiah piutang negara yang belum ditagih. Presiden harus mendorong KPK dan kejaksaan untuk memastikan pelaku korupsi membayar uang pengganti tersebut,” tegas Yuris.
Terakhir, Yuris mengusulkan langkah terkait kebijakan untuk memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia melalui pengesahan RUU Perampasan Aset dengan melacak aset-aset tersebut, negara dapat lebih mudah merampas hasil kejahatan untuk dikembalikan sebagai aset negara. Yuris juga mendesak revisi UU Tipikor agar segera direvisi dengan memasukkan pasal mengenai illicit enrichment atau kekayaan tidak sah. “Pasal ini memungkinkan negara memeriksa pejabat publik yang memiliki kekayaan tidak sesuai dengan penghasilannya. Jika tidak bisa membuktikan asal usul kekayaan tersebut, negara dapat merampasnya,” tutur Yuris.
Yuris menilai bahwa efek jera merupakan kunci utama untuk mencegah pelaku mengulangi tindakan korupsi. Menurutnya, negara sebaiknya fokus pada upaya pemiskinan koruptor. Negara merampas hasil kejahatan korupsi hingga pelaku tidak memiliki keuntungan finansial dari tindakannya. Kedua, negara harus memastikan bahwa seluruh aset yang dirampas benar-benar kembali menjadi milik negara.
Usulan Strategi Pemberantasan Korupsi
- Melacak Aliran Dana
Aparat penegak hukum perlu menelusuri aliran dana hasil korupsi hingga ke bentuk aset lainnya, seperti investasi atau properti atas nama pihak ketiga. Penggunaan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam perkara korupsi harus dioptimalkan untuk memastikan hasil korupsi tidak tersembunyi. - Penagihan Uang Pengganti
Banyak pelaku korupsi yang divonis membayar uang pengganti tetapi tidak memenuhi kewajibannya. Yuris menekankan perlunya penguatan peran Kejaksaan dan KPK untuk menagih puluhan triliun rupiah piutang negara yang belum tertagih. - Pengesahan RUU Perampasan Aset
RUU ini diusulkan untuk memperkuat pemberantasan korupsi dengan memberikan negara kewenangan lebih besar dalam merampas aset hasil korupsi, termasuk kekayaan yang tidak sesuai dengan penghasilan (illicit enrichment). - Revisi UU Tipikor
Penambahan pasal tentang illicit enrichment di UU Tipikor akan memungkinkan negara untuk menyelidiki asal-usul kekayaan pejabat publik. Jika tidak dapat membuktikan keabsahannya, negara dapat merampas kekayaan tersebut.
Yuris menilai bahwa upaya pemberantasan korupsi harus berorientasi pada efek jera dan pemulihan kerugian negara secara maksimal. Pengampunan koruptor hanya akan efektif jika dilakukan dalam kerangka hukum yang kuat, transparan, dan mendukung pengembalian aset negara tanpa kompromi terhadap keadilan. (ian)
Sumber: ugm dan lainnya
Tinggalkan Balasan