

Banyak cara memperingati HUT Kemerdekaan RI. Bagi warga sepuh, tentu berlainan model dengan Gen Z atau milenial. Aura semangat kepahlawanan yang menyelimuti generasi pejuang, berbeda dengan paradigma kekinian kaum muda. Saat ini pemuda menghadapi “lawan” baru. Bukan melawan penjajah. Melainkan menghadapi tantangan obesitas dan sindrom metabolik. Kedua problem medis itu, justru menjadi ancaman serius bagi generasi penerus. Sungguh kontradiktif, mereka harus menghadapi “ancaman” terhadap kegemarannya sehari-hari. Godaan dan adiksi rasa manis, tanpa disadari menjadi “seteru tersembunyi”. Mampukah pemuda bebas dari tantangan rasa manis yang akhirnya menjadi “pahit” di kemudian hari ?
Data “berbicara”. Pemeriksaan kesehatan gratis yang sekarang digalakkan pemerintah, mengungkap fakta mengejutkan. Program yang diluncurkan sejak 10 Februari 2025, hingga 17 Agustus 2025 telah menjangkau19,4 juta jiwa. Hipertensi, diabetes, obesitas, dan masalah gigi-mulut, mendominasi problem kesehatan masyarakat. Sejatinya keempat temuan tersebut saling berkaitan.
Cek kesehatan gratis (CGK) khusus pelajar, juga mulai diselenggarakan pemerintah. Program yang diluncurkan sejak 4 Agustus 2025, diproyeksikan menyasar 53,8 juta siswa seluruh Indonesia. Hasil sementara, pararel dengan temuan pada masyarakat umum. Mayoritas dideteksi masalah kelebihan berat badan, obesitas, dan karies gigi. Karena itulah edukasi publik serta pengelolaannya, perlu segera diimplementasikan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis data terbarunya (Mei,2025). Satu di antara delapan orang di dunia, mengalami obesitas. Obesitas pada remaja telah meningkat empat kali lipat, dibandingkan sejak tahun 1990. Kini 43 persen orang dewasa berusia di atas 18 tahun, mengalami berat badan berlebih. Sebanyak 16 persen, menghadapi obesitas.
Sugar craving
Sebuah jajak pendapat yang dihelat Populix tahun 2024, mengungkap fakta menarik. Sebanyak 35 persen responden warga Indonesia, menyukai gula dibanding pemanis lainnya. Pada hakikatnya, rasa manis sudah menjadi “tradisi” yang mengakar. Khususnya pada masyarakat Jawa Keraton, rasa manis merepresentasikan filosofi kenikmatan hidup. Kegemaran terhadap cita rasa manis, telah “diwariskan” turun temurun sejak zaman Majapahit.
Sejatinya kegemaran makanan/minuman manis, tidak hanya milik warga Indonesia saja. Melainkan bersifat universal. Kondisi itulah yang memantik fenomena “sugar craving”. Gejalanya menyerupai mengidam santapan manis, saat hamil. Artinya mereka berkeinginan mengonsumsi makanan/minuman dengan kandungan gula, lemak, dan garam yang tinggi. Kehendak itu demikian kuatnya. Sulit dikendalikan. Manifestasinya mirip fenomena adiksi/ketagihan. Penyebabnya beragam. Misalnya faktor biologis, emosional, hormon, dan pola makan. Gangguan homeostasis/keseimbangan beberapa hormon (kortisol, ghrelin, serotonin, dopamin), memicu “kecanduan” gula. Contohnya pada seseorang yang sedang sedih/stres, timbul hasrat yang menggebu-gebu pada makanan manis. Rasa manis dapat menginduksi “pusat kesenangan” di otak. Mediatornya adalah hormon serotonin dan dopamin yang sering dijuluki sebagai hormon kebahagiaan. Tetapi dalam jangka waktu tertentu, konsumsi gula berlebih memantik risiko obesitas, diabetes, dan hipertensi. Gula juga merupakan kontributor penting meningkatnya populasi beberapa jenis mikroba pada area gigi-mulut. Efeknya berisiko memantik demineralisasi jaringan keras gigi (enamel dan dentin). Gigi berlubang menjadi konsekuensinya.
Minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK)
Konsumsi gula masyarakat Indonesia, jauh melampaui rekomendasi WHO. Idealnya konsumsi gula harian tidak melebihi 50 gram (setara dengan empat sendok makan) per hari. Sebagai contoh, satu botol teh berukuran 240 ml, memiliki kandungan gula sebanyak 18 gram ( setara dengan 3,6 sendok teh). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi gula rata-rata penduduk Indonesia mencapai 1,123 kg per kapita per minggu (setara dengan 160 gram per hari).
Untuk mengendalikan konsumsi gula masyarakat, penerapan cukai MBDK merupakan salah satu instrumen penting. Aturannya tertera dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 Tentang Cukai. Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam UU tersebut. Salah satu tujuannya untuk meningkatkan pendapatan negara. Target utamanya adalah teh dalam kemasan, minuman berkarbonasi, energy drink, dan kopi dalam kemasan.
Menurut riset Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI), penerapan cukai sebesar 20 persen, secara efektif dapat menurunkan konsumsi MBDK hingga 24 persen. Hasilnya diprediksi dapat mencegah 1,4 juta kasus diabetes selama 25 tahun. Sayang sekali pemerintah menunda beberapa kali pemberlakuan cukai MBDK.
Informasi kandungan gula dalam setiap produk pangan, seyogianya harus selalu disuarakan. Legalitasnya tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 30 tahun 2013. Setiap label produk pangan olahan dan pangan siap saji, harus mencantumkan informasi kandungan gula, garam, lemak, serta pesan kesehatan. Keterangan nilai gizi (termasuk kandungan gula), telah ada regulasinya. Hal itu tercantum dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) nomor 26 tahun 2021.
Dalam banyak kasus, tidak gampang untuk mengubah perilaku yang tidak tepat dan sudah mendarah daging. Edukasi berkesinambungan, diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat secara bertahap. Intinya, konsumsi gula berlebih, berpotensi memantik bahaya bagi kesehatan.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan