

Di laman media sosial milik sahabat saya, @dokterdecsa saya menyimak salahsatu postingan dr. Decsa Medika Hertanto. Dokter ahli penyakit dalam, Konsultan Ginjal dan Hipertensi tersebut bercerita. … Ketika berkunjung (visite) ke beberapa kamar perawatan pasien, matanya menangkap pemandangan yang begitu sederhana, namun meninggalkan jejak yang dalam di hati — seorang bapak paruh baya duduk di sudut kamar perawatan, dengan tatapan kosong menatap selang infus, alat pernapasan, dan kateter yang menggantung di tubuhnya.
Dalam keheningan yang nyaris membeku, sang pasien berucap lirih, “Dok, kalau sehat itu bisa dibeli, saya mau bayar berapapun.”
Kalimat itu menggema. Bukan hanya di ruang itu, tapi juga di hati siapa pun yang mau mendengarnya dengan kesadaran penuh. dr. Decsa tidak langsung menjawab. Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tetapi karena kalimat itu terlalu dalam untuk disela dengan kata-kata.
Sebagai jurnalis, saya melihat kisah ini bukan sekadar potret haru di ruang perawatan. Ini adalah peringatan lembut tapi tegas bagi kita semua yang masih bisa bernapas lega tanpa bantuan tabung oksigen, yang masih bisa melangkah tanpa alat bantu jalan, dan yang masih bisa meneguk air tanpa selang infus. Kita sering kali lupa, bahwa hal-hal sederhana itu adalah kemewahan bagi sebagian orang.
Kita terlalu sibuk mengejar target, angka, dan ambisi yang tak pernah habis. Kita bekerja tanpa jeda, seolah waktu bisa menunggu, dan tubuh akan selalu kuat. Padahal di luar sana, ada begitu banyak orang yang rela menukar seluruh hartanya hanya untuk bisa merasakan kembali nikmatnya berjalan bebas, tertawa tanpa sesak, makan tanpa rasa pahit obat.
Sebelum meninggalkan kamar itu, sang pasien kembali berbisik pelan kepada dr. Decsa, “Manfaatkan waktumu, Dok. Kalau masih bisa jalan tanpa alat bantu infus, selang napas, dan kateter, itu nikmat banget.”
Kata-kata itu seolah tamparan halus bagi siapa pun yang mendengarnya. Kita sering lupa bahwa sehat bukan hanya tentang tidak sakit, tapi tentang bisa menikmati hidup dengan utuh — tertawa, bekerja, beribadah, dan mencintai dengan tubuh yang masih kuat dan pikiran yang masih jernih.
Kisah ini membuat saya merenung lama. Betapa seringnya kita menunda istirahat demi pekerjaan, menunda makan demi rapat, bahkan menunda pemeriksaan kesehatan dengan alasan “masih kuat”. Kita lupa bahwa sehat tidak pernah menunggu kita sadar untuk menjaganya.
Mungkin hari ini kita masih bisa berlari, masih bisa tersenyum tanpa rasa sakit. Tapi siapa yang tahu esok hari?
Kisah dr. Decsa dan pasiennya bukan sekadar cerita rumah sakit — ia adalah cermin kehidupan. Ia mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan bersyukur. Karena sehat adalah satu-satunya kekayaan yang, ketika hilang, tak ada angka di dunia ini yang bisa membelinya kembali.
Jadi sebelum tubuh memberi tanda lelahnya, mari rawat diri kita dengan bijak. Istirahatlah sebelum dipaksa berhenti, makanlah sebelum tubuh menjerit lapar, dan bersyukurlah sebelum kehilangan nikmat sederhana bernama sehat.
Karena suatu hari nanti, bisa jadi kita yang akan berkata lirih seperti bapak di pojok kamar itu — “Andai sehat itu bisa dibeli…”
—000—
*Pemimpin Redaksi Trigger.id
Tinggalkan Balasan