

Kemajuan teknologi, khususnya smartphone, telah mengubah wajah kehidupan manusia secara drastis. Di satu sisi, ia memberi kemudahan luar biasa: komunikasi yang cepat, akses ilmu tanpa batas, dan berbagai aplikasi yang dapat membantu umat memahami ajaran agama. Namun di sisi lain, teknologi juga menghadirkan tantangan baru, bahkan dalam ranah yang paling sakral sekalipun—ibadah.
Fenomena seseorang melaksanakan shalat sambil membawa smartphone di saku atau di tangan bukanlah pemandangan langka. Kita kerap mendengar dering pesan, bunyi notifikasi, atau ringtone yang tiba-tiba berbunyi di tengah barisan jamaah. Bahkan ada yang refleks ingin meraih ponselnya saat vibrasi terasa, seolah panggilan dari dunia maya tidak boleh tertunda. Inilah realitas yang semakin sering kita hadapi: ibadah yang dilakukan di antara dua notifikasi.
Padahal shalat adalah momen ketika manusia sedang “berdialog” dengan Allah SWT. Ia adalah saat-saat paling intim antara hamba dan Tuhannya—sebuah perjalanan ruhani yang menuntut ketenangan, fokus, dan kehadiran hati. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba sedang bermunajat (berbicara) dengan Tuhannya ketika ia berdiri dalam shalat.” Bayangkan, betapa tidak pantasnya apabila munajat suci ini terputus hanya karena suara pesan WhatsApp atau panggilan telepon.
Dalam konteks kekinian, tantangan terbesar bukan lagi sekadar gangguan dari luar, melainkan “keterikatan batin” kita dengan smartphone. Banyak orang merasa tidak tenang bila jauh dari ponsel, khawatir ada informasi terlewat, takut kehilangan pesan penting, atau sekadar terdorong untuk mengecek notifikasi baru. Ketergantungan ini—disadari atau tidak—telah menyusup ke ruang ibadah. Seakan-akan seseorang sedang shalat sambil menunggu dua notifikasi penting yang bisa muncul kapan saja.
Padahal, shalat bukan hanya sekadar gerakan fisik. Ia menuntut kehadiran jiwa. Kekhusyukan tidak bisa hadir ketika hati terbelah antara Allah dan layar 6 inci di saku. Kelalaian seperti ini mencerminkan betapa teknologi telah mengambil sebagian ruang batin kita, bahkan di tempat yang seharusnya paling suci.
Namun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa smartphone memiliki banyak sisi positif bagi kehidupan beragama. Banyak aplikasi yang membantu umat dalam belajar Al-Qur’an, memahami fiqih, menghafal doa, mencari arah kiblat, hingga mengingatkan waktu shalat. Dalam konteks ini, teknologi sebenarnya adalah alat yang netral—yang menjadi masalah adalah bagaimana kita menggunakannya dan sejauh mana kita membiarkannya memengaruhi prioritas spiritual kita.
Di sinilah pentingnya kesadaran dan adab dalam berteknologi. Ketika memasuki waktu shalat, khususnya shalat berjamaah, ada beberapa langkah sederhana yang bisa menjadi bentuk penghormatan kita terhadap ibadah:
Pertama, aktifkan mode senyap atau matikan ponsel sementara. Jika tidak mendesak, mematikan ponsel selama 10–15 menit tidak akan membuat dunia runtuh. Bahkan, ini bisa menjadi momen “detoks digital” kecil yang bermanfaat bagi kesehatan mental dan batin.
Kedua, letakkan smartphone di tempat yang aman dan jauh dari jangkauan selama shalat. Banyak orang terganggu bukan hanya oleh bunyi, tetapi juga oleh getaran atau rasa khawatir akan jatuhnya ponsel. Menyimpannya di tas atau tempat khusus bisa membantu mengurangi dorongan refleks untuk mengecek layar.
Ketiga, hadirkan kesadaran bahwa Allah lebih berhak atas perhatian kita daripada notifikasi digital. Shalat adalah bentuk penghormatan paling tinggi yang dilakukan manusia. Ketika kita menghadap Pencipta langit dan bumi, apa pun yang bersifat duniawi seharusnya tidak lagi menjadi prioritas.
Keempat, gunakan teknologi dengan niat ibadah, bukan sebaliknya. Aplikasi Al-Qur’an, pengingat shalat, atau kajian daring adalah contoh bagaimana smartphone bisa menjadi sarana ibadah yang produktif selama ditempatkan dalam porsi dan waktu yang tepat.
Tulisan ini bukan ajakan untuk memusuhi teknologi. Bukan pula ajakan untuk meninggalkan smartphone. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk menempatkan teknologi pada posisi yang layak: sebagai alat bantu, bukan penguasa hati. Kita membutuhkan kesadaran untuk menjaga keseimbangan, agar kemajuan digital tidak justru menggerus kedalaman spiritual kita.
Pada akhirnya, shalat adalah momen ketika kita kembali kepada hakikat diri: makhluk yang lemah, yang hanya bisa bergantung kepada Allah SWT. Jika kita bisa menyisihkan waktu sebentar untuk fokus sepenuhnya kepada-Nya, maka sesungguhnya kita sedang memuliakan diri kita sendiri. Karena tidak ada notifikasi apa pun yang lebih penting dari panggilan Allah: Hayya ‘alash shalah… hayya ‘alal falah.
Maka, marilah kita jadikan ibadah sebagai prioritas utama. Mari kita jaga kekhusyukan, kita hormati momen suci itu, dan jangan biarkan ibadah kita terhimpit di antara dua notifikasi. Sebab ketika kita memuliakan ibadah, sesungguhnya kita sedang memuliakan diri di hadapan Sang Maha Pencipta.
—000—
*Pemimpin Redaksi Trigger.id



Tinggalkan Balasan