
Surabaya (Trigger.id) – Prihatin! Kasus demi kasus operasi tangkap tangan (OTT) terus menghiasi pemberitaan di negeri ini. Banyaknya OTT adalah salah satu indikator bahwa praktik korupsi masih menjadi kanker akut yang harus segera diamputasi agar tidak merusak sendi-sendi bangsa ini.
Ada fakta menarik di beberapa kasus korupsi, yakni beberapa pelaku masih memiliki hubungan kekeluargaan. Tentu, yang jadi pertanyaan besarnya, apakah nilai-nilai integitas tak diajarkan dalam keluarga mereka?
Tidak bisa kita pungkiri, keluarga memiliki peranan penting dalam memberikan corak dan warna dalam masyarakat sebuah bangsa. Pendidikan yang baik di keluarga dapat mengantarkan sebuah bangsa menuju kemajuan dan kejayaan peradaban. Sebaliknya, bilamana pendidikan dalam keluarga sudah tidak menjadi perhatian dan diabaikan, maka cepat atau lambat kerusakan moral akan menggerogoti anak-anak dan generasi muda bangsa tersebut.
Masyarakat tak ubahnya sebuah bangunan, dan keluarga adalah salah satu pondasinya. Keluarga adalah pendidik yang pertama dan utama bagi anak. Keluarga menjadi lingkungan pembentuk kepribadian, termasuk penanaman nilai-nilai integritas dan antikorupsi. Nilai-nilai integritas adalah jujur, disiplin, tanggung jawab, adil, berani, peduli, kerja keras, mandiri, dan sederhana.
Menurut Imam al-Ghazali, “Anak adalah amanat di tangan kedua orangtuanya. Hatinya yang suci adalah mutiara yang masih mentah, belum dipahat maupun dibentuk. Mutiara ini dapat dipahat dalam bentuk apapun, mudah condong kepada segala sesuatu”.
Perkataan Imam al-Ghazali menunjukkan bahwa orangtua berperan penting dalam memberikan teladan dan pendidikan kepada anak. Apabila orangtua dan keluarga membiasakan dan mendidik anak dengan hal-hal yang baik, maka anak akan tumbuh dengan kebaikan itu. Sebaliknya, apabila anak dididik dengan keburukan atau bahkan diabaikan pendidikannya, maka mereka akan tumbuh dengan keburukan pula.
Perkataan Imam al-Ghazali menunjukkan bahwa orangtua berperan penting dalam memberikan teladan dan pendidikan kepada anak. Apabila orangtua dan keluarga membiasakan dan mendidik anak dengan hal-hal yang baik, maka anak akan tumbuh dengan kebaikan itu. Sebaliknya, apabila anak dididik dengan keburukan atau bahkan diabaikan pendidikannya, maka mereka akan tumbuh dengan keburukan pula.
Seorang anak akan tumbuh dan berkembang menjadi dewasa di antara keluarganya. Anak akan terbentuk karakternya sesuai apa yang menjadi kebiasaan dan dibiasakan oleh ayah, ibu dan keluarganya. Maka penguatan peran keluarga untuk memberikan pengaruh yang baik mutlak untuk dilakukan. Keluarga harus memiliki visi yang jelas. Ayah dan ibu harus memiliki kesamaan visi agar karakter yang dibentukkan ke anak tidak saling bertolak belakang. Perlu upaya yang serius dan kerja keras secara terus menerus dalam mendidik anak, memperbaiki kesalahan mereka serta membiasakan anak-anak untuk selalu mengerjakan kebaikan.
Menumbuhkan karakter baik pada anak bisa dicapai jika orangtua melakukan hal-hal berikut ini:
1. Menampilkan suri teladan yang baik
Apa yang dilakukan oleh anak adalah hasil dari meniru keluarganya. Maka kedua orangtua harus mampu menjadi teladan apabila ingin anaknya memiliki karakter yang baik. Orangtua haruslah yang lebih dulu menunjukkan kejujuran, kesederhanaan dan sikap bertanggung jawab jika ingin anak-anak mereka memiliki sifat-sifat tersebut.
2. Mencari waktu yang tepat untuk memberikan nasihat
Anak-anak terkadang menerima nasihat, namun di lain waktu menolaknya. Orang tua mesti jeli, kapan saat-saat anak dapat menerima nasihat, dan kapan enggan mendengarkannya. Jika sudah berhasil menemukannya, orangtua akan dengan mudah memberi masukan, membangun pola pikir, mengarahkan perilaku dan menumbuhkan akhlak yang baik pada diri anak. Selain nasihat, hal lain yang bisa dilakukan adalah menanamkan perilaku baik melalui cerita. Beberapa judul buku yang bisa digunakan adalah “Orange Juice for Integrity: Belajar Integritas Dari Tokoh Bangsa” atau “Piknik Di Kumbinesia” yang bisa diperoleh di situs ACLC KPK.
3. Bersikap adil terhadap anak
Orangtua harus berlaku adil dalam memberikan sesuatu kepada anak-anaknya, baik dalam bentuk material maupun spiritual. Jangan sampai timbul iri dengki antar saudaranya karena adanya ketidakadilan. Orangtua juga tidak diperkenankan menampakkan kecintaan kepada salah satu anak saja di hadapan saudara-saudaranya yang lain. Hal ini menjadi salah satu cermin dari penerapan salah satu nilai integritas yakni adil.
4. Menunaikan hak anak
Menunaikan hak anak dan menerima kebenaran darinya dapat menumbuhkan perasaan positif dalam diri mereka. Hal ini juga menjadi pembelajaran bahwa kehidupan itu adalah memberi dan menerima. Menunaikan hak anak juga termasuk bagian dari tanggung jawab yang bisa dilatihkan kepada mereka, yakni memberikan anak kepercayaan dan menerima konsekuensi dari apa yang dilakukan.
5. Memberikan anak mainan edukatif
Memberikan mainan edukatif sesuai dengan usia dan kemampuannya menjadi hal yang penting untuk merangsang potensinya. Beberapa permainan papan (boardgame) seperti Keranjang Bolong, ataupun Kuartet Sahabat Pemberani bisa menjadi pilihan. Ada beberapa kriteria mainan yang baik untuk anak, yakni :
a. Mainan yang diberikan memicu anak bergerak, untuk menjaga kesehatan jasmaninya.
b. Mainan yang dapat menumbuhkan rasa ingin tahu dan inisiatif anak.
c. Mainan yang mendorong anak untuk meniru tingkah laku dan cara berpikir positif orang dewasa, termasuk internalisasi nilai-nilai integritas.
6. Tidak suka marah dan mencela
Sering memarahi anak hanya akan menjadikan mereka semakin sulit diatur, apalagi memarahinya tanpa sebab yang jelas. Mencelanya juga menjadikan anak menjadi penakut. Ketika kedua orangtua mencela anaknya, sesungguhnya mereka telah mencela diri mereka sendiri. Sebab, apa yang dilakukan oleh anak adalah hasil didikan orangtua dan keluarganya.
7. Mendoakan anak
Mendoakan anak adalah bentuk kasih sayang dan ketulusan orangtua dalam mendidik anak. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam. Abu Hamzah bin Abdillah berkata, “Aku bertanya kepada Abu Ubaidah bin Utbah bin Mas’ud, “Apa yang engkau ingat dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam?”. Dia menjawab, “Aku ingat bahwa beliau menggendongku ketika aku berumur lima tahun atau enam tahun, kemudian beliau mendudukanku di pangkuan beliau, mengusap kepalaku dan mendoakan keberkahan bagiku serta anak cucuku”. Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam kitab Mustadraknya.
JIka orangtua dan keluarga memperhatikan hal di atas, maka tak mustahil akan terbentuk generasi yang berkarakter dan siap untuk menjadi pemimpin yang berintegritas negeri ini. Karena dari rahim keluarga yang berkarakter akan melahirkan generasi yang berkarakter pula. Mari saatnya membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa. (zam)
Penulis : Wijaya Kurnia Santoso, Penyuluh Antikorupsi, berprofesi sebagai guru fisika dan Kepala SMA Bina Insan Mandiri di Nganjuk, Jawa Timur.
Sumber : kpk.go.id
Penulis :
Tinggalkan Balasan