
Jakarta (Trigger.id) – Sejumlah organisasi profesi termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Menurut IDI, substansi RUU tersebut, yang salah satunya bertujuan mengatasi krisis dokter spesialis di Indonesia, justru akan “menurunkan kualitas layanan kesehatan”.
Mengutip BBC, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berulang kali menyinggung soal ruwetnya proses penerbitan izin praktek yang diwarnai oleh “perundungan” hingga persaingan tidak sehat. Selain itu, terbatasnya lembaga pendidikan pencetak dokter spesialis yang juga berbiaya mahal, menyebabkan Indonesia kekurangan tenaga dokter spesialis.
Tetapi, upaya pemerintah yang diklaim bertujuan “menyederhanakan aturannya” justru dinilai “mengorbankan kualitas pelayanan kesehatan” serta “mengambil alih peran organisasi profesi”.
Itulah mengapa lima organisasi profesi yakni IDI, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), serta Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menolak omnibus law tersebut.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjabarkan sejumlah poin dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan Omnibus Law (RUU Kesehatan) yang membuat mereka menolak pembahasan hal itu.
Juru Bicara Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Mahesa Pranadipa Maikel, MH, mengatakan terdapat beberapa alasan yang membuat mereka menolak RUU Kesehatan Omnibus Law. Alasan pertama adalah lahirnya regulasi atau undang-undang harus mengikuti prosedur yang terjadi yaitu terbuka kepada masyarakat.
Alasan kedua, kata Mahesa, karena IDI melihat ada upaya liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan melalui RUU Kesehatan Omnibus Law.
Menurut Mahesa, jika pelayanan kesehatan dibebaskan tanpa kendali dan memperhatikan mutu maka akan menjadi ancaman terhadap seluruh rakyat.
Alasan ketiga, masih menurut Mahesa adalah soal penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi dan Surat Tanda Registrasi (STR). Mahesa berpendapat, STR seluruh tenaga kesehatan itu harus diregistrasi di konsil masing-masing dan harus dievaluasi lima tahun sekali.
Sementara Dokter Sutrisno Ketua IDI Jatim menyampaikan bahwa pihaknya merasa tidak dilibatkan dalam rumusan RUU tersebut. Sehingga beberapa pasal yang ada dianggap merugikan profesi kedokteran.
RUU yang disebut sebagai “inisiatif DPR” tersebut juga telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2023.
Kurangnya jumlah dokter merupakan masalah lama yang belum juga terurai hingga saat ini. Harapannya, dengan adanya UU Kesehatan Omnibus Law dapat mempercepat penambahan jumlah dokter spesialis di Indonesia.
Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), hanya ada sekitar 54.000 dokter spesialis di Indonesia.
Dengan jumlah penduduk sebanyak 275 juta jiwa, itu berarti hanya ada dua dokter spesialis untuk setiap 10.000 warga Indonesia. Belum lagi sebarannya yang tidak merata dan hanya terpusat di kota-kota besar.
Sebanyak 647 rumah sakit umum daerah di tingkat kabupaten/kota bahkan belum memiliki tujuh jenis dokter spesialis, antara lain spesialis anak, obstetri dan genokologi, bedah, dan anestesi. (zam)
Tinggalkan Balasan