

Sebelum mampu mengendarai sepeda motor, seseorang harus mahir terlebih dahulu bersepeda angin. Demikian pula saat mengawali laju bersepeda motor. Harus dimulai dulu dengan menggunakan gigi satu. Tidak mungkin langsung ngebut menggunakan gigi empat, tanpa secara bertahap menggunakan gigi yang lebih rendah. Demikian pula pohon yang rimbun dan sejuk, mesti ditopang oleh akar dan batang yang kokoh.
Dua analogi di atas layak diterapkan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG). Hampir semua aktivitas perekonomian, lazimnya dimulai dengan membangun konsep dan sarana yang solid. Operasional program MBG, bisa jadi “melawan” kaidah kelaziman. Demi meraih target kuantitas secara instan, rela “mengorbankan” tata kelola yang mapan. Dampaknya memantik kualitas menu makanan dan penyajian yang substandar. Keracunan dan kelayakan konsumsi pangan, menjadi konsekuensinya.
Sejatinya MBG berawal dari niat mulia mencerdaskan anak bangsa. MBG bukanlah bisnis waralaba yang menerapkan prosedur standar operasionalnya (PSO) yang “rigid” pada mitranya. Bisnis waralaba menerapkan aturan yang baku. Tidak bisa semau gue. Tata kelolanya dilakukan demi akuntabilitas perputaran roda bisnis. Targetnya jangan sampai mengecewakan pelanggan. Ibaratnya Badan Gizi Nasional (BGN), sebagai “pemberi waralaba” memang memiliki PSO. Tetapi ketika sampai di tangan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai “penerima waralaba”, PSO tersebut bagaikan macan kertas belaka. Tidak ada sanksi hukum, bila melakukan “wanprestasi”. BGN pun tidak memiliki instrumen yang cukup untuk melakukan waskat pada SPPG. Terutama perihal mengaudit aspek teknis, keamanan dan kualitas pangan.
MBG memiliki “pelanggan” tetap. Tidak perlu membayar. Apakah karena sifatnya yang gratis itu, sah melarang komplain bila tidak sesuai harapan ? Realitas di lapangan menunjukkan, keracunan MBG dianggap sebagai “musibah”. Karenanya “pelanggan” harus “pasrah” menerima nasib. Tanpa harus boleh melakukan upaya hukum ataupun perlawanan moril. Bersamaan dengan percepatan target penerima manfaat, secara mengenaskan diikuti lonjakan kasus keracunan pangan. Jumlahnya cukup signifikan. Sedikitnya mencapai sekitar 5.626 orang yang tercatat menjadi korban. Sangat mungkin jumlahnya melampaui angka tadi. Pasalnya keracunan pangan bagaikan fenomena puncak gunung es. Dampaknya kepercayaan masyarakat pada program mulia itu menjadi taruhannya.
Tantangan MBG
Siapa pun rakyat Indonesia, pasti mendukung esensi program mulia tersebut. Demi suksesnya meraih Indonesia emas 2045, diperlukan dukungan banyak faktor. Contohnya pada aspek pengentasan tengkes, gizi buruk, peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan pemerataan kondisi sosial rakyat. Tetapi tujuan luhur tanpa konsep penataan yang matang dan terprogram secara sistematis, berpotensi mengundang masalah.
Setelah bergulir beberapa waktu, program MBG diwarnai beberapa kendala. Paling menonjol terkait dengan pengelolaan menu yang tidak berbasiskan standar higiene dan keamanan pangan. Manajemen pengumpulan bahan, pengemasan, suplai, hingga penyaluran makanan, belum memiliki regulasi teknis yang memadai. Dampaknya memicu terjadinya keracunan makanan secara beruntun di berbagai daerah.
Keracunan makanan
Kontaminasi makanan oleh mikroba ataupun toksin, merupakan penyebab keracunan. Cemaran mikroba berupa bakteri, virus, parasit, atau jamur, umumnya tidak langsung menimbulkan gejala seketika. Perlu waktu beberapa jam hingga berhari-hari, tergantung waktu inkubasi masing-masing mikroba. Rentang waktu menyantap makanan hingga diawalinya gejala, sangat berkorelasi dengan jumlah kontaminan.
Ada pula substansi dalam bahan makanan yang bersifat toksik. Misalnya zat kimia berupa pestisida, obat-obatan, dan zat beracun alami (jamur beracun, ikan karang, ikan buntal, dan sebagainya). Enterotoksin yang dihasilkan oleh mikroba tertentu (contohnya Staphylococcus aureus), dapat segera mengakibatkan gejala akut. Dalam hitungan satu hingga enam jam, umumnya menimbulkan muntah-muntah, pusing, dan diare.
Mayoritas keracunan pangan disebabkan cara pengelolaan, persiapan, ataupun penyimpanan makanan yang tidak proporsional. Pada hakikatnya banyak terkait dengan penerapan standar higiene yang buruk. Keracunan karena bakteri, mestinya dapat dicegah dengan memasaknya secara sempurna pada suhu di atas 74oC. Pasalnya bakteri dapat tumbuh optimal, pada kisaran suhu empat hingga 60oC (“zona bahaya”). Meski demikian, banyak toksin mikroba yang tidak hancur dengan pemanasan.
Cara yang tepat mencegah efek negatif keracunan bahan baku makanan, dengan membilas hasil bumi dan menyimpannya dengan cara yang tepat. Rajin mencuci tangan dan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), merupakan keharusan.
Evaluasi
Target MBG tidak bisa instan. Mungkin hingga pemerintahan Prabowo-Gibran berakhir, niscaya sasaran itu belum akan tercapai. Namun target antara harus segera dipatok. Misalnya pada status antropometri penerima program MBG. Pengukuran tinggi dan berat badan, mesti diukur secara berkala. Dari sisi kecukupan gizi, dapat diukur juga kadar hemoglobin. Sebab anemia gizi merupakan salah satu indikator defisiensi nutrisi pada seseorang. Berkurangnya angka absensi karena sakit ataupun peningkatan prestasi siswa, bisa pula dijadikan tolok ukur.
Pengambilan kebijakan politis pada situasi yang tepat, niscaya berbuah kemaslahatan. Namun bila tidak dilakukan dengan perhitungan yang cermat, berpeluang merugikan banyak pihak.
—–o—–
*Penulis :
- Pengajar senior di :
- Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :
- Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
- Catatan Harian Seorang Dokter
- Sisi Jurnalisme Seorang Dokter (dua seri)
Tinggalkan Balasan