

Akhir-akhir ini isu kurang sedap menimpa Gen Z (lahir 1997-2012). Berita “lama”, mengaitkan mereka dengan “generasi strawberry”. Suatu predikat yang tak seindah makna sebenarnya. Buah itu amat menarik. Terlihat cantik dengan warna merah menawan. Sebaliknya, rasa manisnya tidak mampu menghilangkan kerapuhannya. Begitulah analoginya. Tatkala gen Z menghadapi tantangan stres, ternyata gampang menyerah. Berbagai faktor melatarbelakangi gen Z rawan terpapar stres.
Kini diberitakan colorectal cancer/kanker usus besar(KUB) semakin banyak menimpa gen Z. Sejatinya bukan hanya gen Z saja, tetapi secara umum menyasar pada kaum muda. Dahulu lazimnya KUB hanya menimpa seseorang berusia lebih dari 50 tahun. Sejak tahun 2011, terjadi peningkatan insiden sebesar dua persen per tahun pada usia di bawah 50 tahun (American Cancer Society,2023). Banyak pakar dan peneliti kanker harus “berpikir ulang”. KUB bukan lagi khas lansia, melainkan berisiko menyasar kaum muda pula. Akar masalah penyebab itulah yang kini menjadi bahan riset para ahli.
Usus besar
Usus besar (kolon) merupakan bagian sistem pencernaan. Panjangnya sekitar 1,5 meter. Fungsi utamanya menyerap air dan elektrolit sisa makanan, setelah melewati usus halus. Selanjutnya dimampatkan dalam bentuk feses di rektum (panjang sekitar 15 cm), sebelum akhirnya dibuang. Pada hakikatnya buang air besar (BAB) adalah mengeluarkan sampah proses pencernaan melalui anus. KUB merepresentasikan penyakit keganasan yang menyerang kolon dan rektum.
KUB
Mayoritas KUB berjenis adenokarsinoma. Artinya bibit kankernya berasal dari sel-sel epitel yang memproduksi lendir. Fungsinya sebagai “pelumas” bagian dalam kolon dan rektum. Sel-sel epitel tersebut, berinteraksi secara aktif (“simbiosis”) dengan mikroflora komensal usus. Manfaatnya penting untuk membangun sistem imunitas. Lazimnya sel-sel saluran cerna yang telah “kedaluwarsa”/”tua” akan mati. Mekanismenya dikendalikan oleh gen “induktor kematian sel” dan terprogram secara alamiah. Di sisi lain, selalu ada pembaruan dan regenerasi sel yang berkesinambungan. Pengendalinya adalah gen “induktor kehidupan” (onkogen). Pada dasarnya kanker dipicu oleh mutasi yang terjadi pada gen pengendali. Bisa karena dominannya onkogen. Sebaliknya, dapat pula disebabkan disfungsi gen induktor kematian sel. Dampaknya memantik peningkatan pertumbuhan sel-sel abnormal, di luar kendali sistem regulasi yang fisiologis.
Penyebab mutasi telah lama menjadi kajian intensif para peneliti. Berbagai faktor disinyalir sebagai kausanya. Meski demikian benang merahnya belum bisa diuraikan secara gamblang hingga kini.
Faktor risiko
Setiap generasi memiliki tantangan hidup tersendiri. Sejak sebelum lahir hingga sepanjang usianya, berbagai faktor lingkungan berpotensi sebagai tantangan. Misalnya problem sosial, tren makanan, paparan polusi, kontaminan lingkungan (misalnya pestisida), dan pola hidup. Fokus para ilmuwan mengaitkannya dengan rokok, penggunaan alkohol, pola makan tidak sehat, kelebihan berat badan/obesitas, serta minim aktivitas fisik.
Telah terjadi pergeseran drastis preferensi makanan generasi muda. Makanan siap saji yang tidak sehat, kini menjadi kegemaran mereka. Komposisinya tergolong tinggi kalori, lemak, gula, dan garam. Sebaliknya rendah serat, vitamin, dan mineral. Mayoritas makanan siap saji berbasiskan ultra-processed food (UPF). UPF adalah makanan/minuman yang telah melewati rangkaian proses pengolahan industri. Konsekuensinya banyak mengandung aditif (pengawet-penyedap-pewarna-pemanis /“4P”). Ada pula aditif lainnya yang digunakan untuk memperbaiki tampilan atau tekstur makanan. Contoh UPF antara lain, sereal, daging olahan, sosis, roti, coklat kemasan, saus, mie instan, camilan, biskuit, es krim, minuman ringan, dan sebagainya.
Stres dan disbiosis
Usus manusia dihuni oleh triliunan mikrorganisme. Masing-masing mikrobiom/flora usus, memiliki fungsi yang berbeda-beda. Antara yang bersifat komensal (“baik”/menguntungkan) dan yang patogen (“jahat”), membentuk keseimbangan yang dinamis. Disbiosis berarti terjadi gangguan/hilangnya keanekaragaman mikrobiom yang normal. Bisa akibat menurunnya populasi mikroba “baik”. Tapi bisa juga karena pertumbuhan bakteri “jahat” yang terlampau banyak.
Stres berkepanjangan dapat memantik terjadinya disbiosis, meski mekanismenya belum dapat dijelaskan dengan pasti. Dampaknya menyebabkan disfungsi sistem imun. Padahal sistem imun lokal saluran cerna sangat penting dalam deteksi dini pertumbuhan sel kanker. Kemudian segera mengeliminasinya. Studi pengamatan jangka panjang menunjukkan adanya relevansi yang signifikan, antara stres harian dengan risiko KUB.
Dalam bidang medis, keseluruhan faktor risiko lingkungan yang diuraikan tadi disebut dengan eksposom. Pada individu tertentu yang peka secara genetik, eksposom berinteraksi memicu timbulnya KUB.
Gejala KUB tergantung pada lokasi dan stadiumnya. Separo kasus malah tidak menunjukkan gejala awal, hingga akhirnya baru terdeteksi setelah memasuki stadium lanjut. Keluhan “khas” biasanya berupa sembelit, BAB disertai darah, penurunan berat badan, kehilangan nafsu makan, dan gejala pencernaan lainnya.
Makanan dan minuman penting sebagai penunjang kehidupan. Tapi bijak dalam memilih konsumsi, lebih utama bagi kesehatan.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan