
“Ada banyak alasan seseorang menutupi atau menyamarkan perilakunya, termasuk para terdakwa saat menjalani persidangan. Mereka ‘mendadak’ alim dan terlihat sopan. dan bahkan tidak jarang selalu tersenyum setiap menatap lawan bicara. Apa maksud semua itu?. Benarkah mereka telah bertobat atau hanya sekedar memburu simpati?”.
Oleh Teguh W. Utomo

Persidangan bagi sebagian orang menjadi pertaruhan hidup mati. Sebab kalah dalam persidangan, maka jeruji besi sudah pasti menanti. Karenanya mereka mati-matian mempertahankan argumentasinya agar hakim dan siapapun pihak yang ada dalam ruang sidang bersimpati lalu hakim memberi vonis hukum seringan mungkin.
Tidak jarang dalam persidangan, para terdakwa kasus apapun selalu terlihat sopan, dan seringkali mendadak alim. Sampai-sampai mereka menggunakan baju putih lengan panjang, celana hitam dan menggunakan peci atau songkok hitam. Sementara jika mereka perempuan, tidak segan menggunakan jilbab atau kerudung. Apa sebenarnya dibalik itu semua?.
Melihat fenomena banyaknya terdakwa yang tiba-tiba menggunakan atribut agama dalam persidangan, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin merasa perlu membuat aturan baru. Ke depannya, Kejaksaan Agung akan melarang jaksa memberikan atribut keagamaan kepada terdakwa sebelum proses persidangan.
Untuk merealisasikan wacana ini, Kejaksaan Agung akan membuat surat edaran secara internal kepada Kejaksaan Negeri di seluruh daerah, untuk menegaskan atribut keagamaan tidak wajib dipakai dalam persidangan, agar petugas tahanan dan jaksa memiliki satu pemahaman yang sama.
Tata Cara Berpakaian Dalam Persidangan Menurut KUHAP
Berdasarkan penelusuran kami, tata cara berpakaian terdakwa saat menghadiri persidangan belum atau tidak diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Di dalam KUHAP, pengaturan pakaian hanya ditujukan bagi hakim, jaksa, penasihat hukum, dan panitera. Hal ini termuat dalam Pasal 230 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
‘Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-masing’
Dalam persidangan perkara pidana selama ini, terdakwa dapat menggunakan pakaian apapun. Mulai dari pakaian kemeja putih dan celana hitam, rompi tahanan, hingga baju gamis maupun batik. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebebasan berpakaian diberikan kepada terdakwa, asalkan tetap sopan.
Sementara Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah KH. Cholil Nafis mengaku setuju dengan kebijakan Jaksa Agung ST Burhanuddin ‘melarang’ terdakwa yang mendadak mengenakan atribut keagamaan yang sebelumnya tak pernah dipakai di persidangan.
Cholis Nafis mengaku heran kenapa para terdakwa persidangan mendadak menjadi seperti orang saleh. Nafis setuju dengan rencana Jaksa Agung membuat aturan atribut atau pakaian yang harusnya dikenakan terdakwa.
Selama belum ada aturan baku, para terdakwa persidangan selama ini bebas saja mengenakan atribut apapun termasuk atribut keagamaan dan mungkin baju daerah yang dinilai sopan oleh majelis hakim.
Kita pun tidak bisa dan tidak boleh memvonis pakaian yang dikenakan para terdakwa tersebut hanya upaya ‘mengelabuhi’ majelis hakim dan masyarakat agar merasa iba dan seterusnya.
Semuanya kembali ke niatan para terdakwa. Apakah pakaian atau atribut tersebut memang menandakan yang bersangkutan benar-benar mengaku bersalah kemudian bertobat atau hanya sekadar siasat. (ian)
Tinggalkan Balasan