

Mungkin kata “gobak sodor” belum pernah terdengar oleh generasi Z/Gen Z (lahir 1997-2012). Apalagi memainkannya. Bisa jadi mereka yang saat ini berusia sekitar 9-24 tahun, hanya mengetahui dari cerita orang tua atau kakek-neneknya perihal permainan tradisional itu. Aktivitas berkelompok jaman dulu (jadul), begitu melegenda di kalangan anak-anak. Bagi generasi Baby Boomer (lahir 1946-1964) yang berkesempatan pulang kampung, akan bernostalgia dengan sesama teman waktu kecil mereka. Bukan untuk memainkannya. Tetapi hanya sekedar mengingat cerita masa lalu, sambil bersilaturahmi. Masih banyak permainan jadul lainnya yang bersejarah. Misalnya engklek, bentengan, petak umpet, lompat tali, egrang, dan masih banyak lagi. Tidak jarang macam permainan itu dilombakan, pada peringatan HUT RI setiap tanggal 17 Agustus. Tanpa disadari, giat permainan fisik itu sangat bermanfaat bagi kesehatan dan interaksi sosial. Setidaknya penting untuk mencegah berbagai penyakit tidak menular (PTM), saat mereka memasuki usia dewasa atau lansia.
Zaman telah berubah. Sebagai konsekuensi perkembangan teknologi, kini pola permainan anak telah bergeser. Permainan jadul yang mayoritas dilakukan secara kolektif, saat ini lebih banyak dilakukan secara mandiri. Semula dilakukan dengan banyak bergerak, kini berubah menjadi minim gerak, bahkan malas gerak (mager). Gawai, komputer, TV, permainan elektronik, terutama di lingkungan perkotaan, telah menjadi teman setia setiap saat. Hal itu memantik pola hidup kurang aktivitas fisik (sedentary lifestyle).
Kemajuan tingkat ekonomi masyarakat, berdampak pula pada perubahan paradigma transportasi. Aktivitas ke sekolah yang dulu banyak dilakukan dengan berjalan kaki atau bersepeda, kini mayoritas beralih pada kendaraan bermotor. Contoh kekinian adalah soal jalan penyeberangan orang (JPO) yang dilengkapi dengan lift. Tampaknya telah terjadi “salah sasaran” pada penggunanya. Semula konsep lift JPO diprioritaskan bagi kaum difabel, perempuan hamil, dan lansia. Tetapi kini justru banyak dimanfaatkan anak-anak muda. Mestinya naik tangga JPO, dipandang lebih bermanfaat bagi pemeliharaan tulang, otot-otot kaki, serta fungsi kardiovaskuler. Sayangnya, sambil bermain gawai, mereka memanfaatkan sarana lift yang mestinya bukan prioritasnya.
Tidak hanya melalui olah raga secara reguler, giat fisik sehari-hari terbukti mampu mencegah dan mengelola PTM. Misalnya dapat menekan prevalensi diabetes, hipertensi, penyakit jantung, stroke, dan kanker yang kini semakin meningkat dari waktu ke waktu. Manfaatnya pada peningkatan kesehatan mental/menurunkan risiko depresi, kesejahteraan, dan kualitas hidup, telah banyak pula dibuktikan melalui berbagai riset. Khususnya pada anak, dapat meningkatkan kemampuan memori dan memusatkan perhatian pada tugas-tugas sekolah. Dengan sendirinya, hal itu dapat meningkatkan performa akademis.
Rutinitas aktivitas fisik, penting bagi masa depan kesehatan anak. Kemampuan otot dan tulang, menjadi jauh lebih baik. Demikian pula dalam optimalisasi mempertahankan berat badan ideal, kesehatan kardiovaskuler, dan metabolik. Dalam jangka panjang, berperan penting menekan risiko obesitas dan munculnya diabetes pada anak dan remaja. Sebanyak 31 persen orang dewasa dan 80 persen remaja, tidak memenuhi tingkat aktivitas sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dilansir dari laman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, negara kita menempati peringkat pertama sebagai masyarakat termalas berjalan kaki di dunia.
Baca juga: Penantian Panjang Vaksin HIV
Gerakan Indonesia Bugar (GIB)
Baru-baru ini pemerintah berencana mencanangkan program GIB. Inisiatornya adalah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) bersama dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Jam olahraga atau kegiatan ekstrakurikuler olahraga siswa sekolah akan difasilitasi. Selain kebugaran fisik, diharapkan dapat berkontribusi membentuk bibit atlet berbakat sejak usia dini. Dari perspektif penulis sebagai praktisi medis, GIB sangat bermanfaat sebagai sarana pencegahan PTM.
Problem kesehatan Indonesia
Tantangan fundamental saat ini, ditujukan terhadap pengelolaan lima penyakit utama. Penyakit tersebut adalah jantung, kanker, stroke, gagal ginjal yang memerlukan hemodialisis reguler, serta tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi.
Anggaran belanja kesehatan bisa menghabiskan Rp.186,4 triliun pada tahun 2024. Itu belum termasuk pembiayaan dari sektor privat ataupun tender yang anggarannya setara dengan yang disalurkan melalui BPJS. Sekitar 85-90 persen bujet kesehatan, dialokasikan bagi layanan kuratif.
Contohnya pembiayaan penyakit jantung sebagai penyebab kematian tertinggi, mencapai Rp.67,34 triliun pada tahun 2024. Nominal tersebut memakan lebih dari separo anggaran total penyakit tidak menular (PTM). Belanja layanan kuratif berpotensi dipangkas maksimal, jika edukasi preventif penyakit berjalan optimal. Upaya itu menghadapi kendala dan tantangan.
Masalah pelik berikutnya adalah lonjakan prevalensi obesitas dan diabetes. Termasuk yang terjadi pada anak-anak dan remaja. Kedua problem klinis itu, mendasari mayoritas faktor risiko PTM. Pada PM pun, berpotensi menimbulkan output yang jauh lebih buruk. Jumlah penyandang obesitas dan diabetes di negara kita, berturut-turut mencapai sekitar 68 juta dan 19,5 juta jiwa. Kondisi itu diperparah dengan malasnya warga melakukan aktivitas fisik. Tanpa upaya pencegahan yang lebih keras, diprediksi prevalensi diabetes dan obesitas semakin kencang melaju. Sejatinya obesitas dan diabetes, dapat dicegah melalui edukasi pola perilaku hidup sehat sejak dini. Olah raga dan aktivitas fisik reguler, menjadi kata kuncinya.
Tantangan upaya kesehatan
Mestinya aspek promotif dan preventif lebih diutamakan, ketimbang intervensi kuratif dan rehabilitatif. Paradigma tersebut dipandang lebih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi rakyat Indonesia saat ini. Hal itu sesuai amanat Undang-Undang (UU) Kesehatan No.17 tahun 2023. Dengan dihapusnya mandatory spending kesehatan sebesar lima persen dana APBN dan sepuluh persen APBD, diprediksi upaya kesehatan negara kita akan semakin tertantang. Pasalnya menurut data Bank Dunia tahun 2023, anggaran kesehatan Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara middle income lainnya.
Kembali pada judul artikel ini, untuk siapakah GIB ? Bukan hanya untuk siswa sekolah, tapi juga untuk masa depan Indonesia. Khususnya dalam mencapai era generasi emas dan bonus demografi tahun 2045.
—000—
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan