

Pandemi Covid-19 telah berlalu. Momen traumatis yang melanda dunia itu, banyak memberi pelajaran berharga. Anggaran kesehatan, kerugian ekonomi, dan dampak sosialnya luar biasa besar. Sektor pendidikan mengalami tekanan hebat, sebagai imbas lockdown. Apa hikmahnya ? Membengkaknya biaya kesehatan bisa dihindari, jika masyarakat tidak terpapar virus penyebabnya. Hal itu efektif dicegah dengan mematuhi protokol kesehatan. Meski pengadaan vaksinasi memakan dana besar, pandemi terbukti dapat dikendalikan. Artinya aspek preventif lebih efisien dan efektif, ketimbang sisi kuratif.
Indonesia memiliki area geografis yang unik. Masyarakatnya pun sangat majemuk. Tingkat pendidikan yang tidak merata, memantik sulitnya mencapai optimalisasi derajat edukasi pencegahan penyakit. Misalnya terkait korban kecelakaan lalu lintas (KLL). Laju teknologi dan perekonomian, memicu melonjaknya kebutuhan sarana transportasi di seluruh negeri. Tanpa pengetahuan dan disiplin berlalu lintas, niscaya angka KLL sulit dikendalikan. Dalam situasi kompleks seperti itu, aspek penanganan kuratif korban KLL mungkin lebih berperan. Persoalannya, tidak semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas kesehatan yang memadai untuk keperluan tersebut. Kalau toh ada, umumnya tanpa dilengkapi dokter yang berkompeten menanganinya. Solusi kompleksnya problem kronis pemerataan pelayanan kesehatan, menjadi “pekerjaan rumah” bagi pemerintahan Prabowo-Gibran.
Baca juga: Overtraining Syndrome Melanda Skuad Garuda?
Problem kesehatan Indonesia
Tantangan fundamental saat ini, ditujukan terhadap pengelolaan lima penyakit utama. Penyakit tersebut adalah jantung, kanker, stroke, gagal ginjal yang memerlukan hemodialisis reguler, serta tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi.
Anggaran belanja kesehatan bisa menghabiskan Rp.186,4 triliun pada tahun 2024. Itu belum termasuk pembiayaan dari sektor privat ataupun tender yang anggarannya setara dengan yang disalurkan melalui BPJS. Sekitar 85-90 persen bujet kesehatan, dialokasikan bagi layanan kuratif.
Contohnya pembiayaan penyakit jantung sebagai penyebab kematian tertinggi, mencapai Rp.67,34 triliun pada tahun 2024. Nominal tersebut memakan lebih dari separo anggaran total penyakit tidak menular (PTM). Belanja layanan kuratif berpotensi dipangkas maksimal, jika edukasi preventif penyakit berjalan optimal. Upaya itu menghadapi kendala dan tantangan besar.
Sejatinya mayoritas PTM dapat dicegah sejak dini. Sasarannya pada pengendalian faktor risiko penyebabnya. Dampak fatalitas akibat penyakit menular (PM) pun, berpotensi dapat dicegah. Penerapannya melalui perilaku hidup bersih dan sehat. Faktor risiko utama yang mendasari PTM dan PM adalah rokok. Terkait penyakit jantung koroner, produk tembakau itu memicu 87 persen penyebab kematiannya. Di sisi lain, rokok dan tuberkulosis memantik kolaborasi buruk. Dampaknya mendasari penyebab kematian tertinggi penyakit infeksi menular. Kini pemberantasan tuberkulosis menjadi atensi utama pemerintahan Prabowo-Gibran.
Bagai dua sisi mata uang. Rokok banyak bahayanya, tetapi ada pula “keuntungannya”. Cukai hasil tembakau menghasilkan penerimaan negara yang cukup besar. Misalnya pada tahun 2023, mencapai Rp. 210,29 triliun. “Kontributornya” sekitar 70 juta perokok aktif yang justru didominasi masyarakat miskin. Sebanyak 7,4 persen di antaranya, berusia 10-18 tahun yang mayoritas belum berpenghasilan.
Masalah pelik berikutnya adalah lonjakan prevalensi obesitas dan diabetes. Kedua problem klinis itu, mendasari mayoritas faktor risiko PTM. Pada PM pun, berpotensi menimbulkan output yang jauh lebih buruk. Obesitas dan diabetes, dapat dicegah melalui edukasi pola perilaku hidup sehat. Konsumsi gula, garam, dan lemak yang melebihi rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia, belum mendapatkan respons optimal dari masyarakat. Di sisi lain pemerintah masih “gamang” menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Proyeksinya baru diberlakukan tahun 2025. Jumlah penyandang obesitas dan diabetes di negara kita, berturut-turut mencapai sekitar 68 juta dan 19,5 juta jiwa. Kondisi itu diperparah dengan malasnya warga bergerak. Berdasarkan riset, rakyat Indonesia menduduki peringkat pertama pejalan kaki termalas di dunia. Tanpa upaya pencegahan yang lebih keras, diprediksi prevalensi diabetes dan obesitas semakin kencang melaju.
Tantangan upaya kesehatan
Aspek promotif dan preventif lebih diutamakan ketimbang intervensi kuratif, karena lebih dibutuhkan rakyat dan sesuai dengan kondisi saat ini. Hal itu sesuai amanat Undang-Undang (UU) Kesehatan No.17 tahun 2023. Dengan dihapusnya mandatory spending kesehatan sebesar lima persen dana APBN dan sepuluh persen APBD, diprediksi upaya kesehatan negara kita akan semakin tertantang. Pasalnya menurut data Bank Dunia tahun 2023, anggaran kesehatan Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara middle income lainnya.
Sejak awal penyusunan RUU Kesehatan Omnibus Law, terkesan tidak transparan. Publik paham, pengesahan UU Kesehatan tersebut oleh DPR merupakan kemauan pemerintah. Nyaris tanpa kritisi wakil rakyat yang juga mewakili tenaga kesehatan sebagai bagian dari rakyat Indonesia.
Pelantikan 580 anggota DPR periode 2024-2029 telah digelar. Hanya tujuh orang di antaranya yang berlatar belakang profesi dokter. Sementara itu penentu kebijakan di kabinet untuk bidang kesehatan, masih diisi wajah-wajah lama. Benarkah dokter tidak “menjiwai” ranah politik ? Pertanyaan tersebut sekaligus sebagai “penyemangat” peringatan Hari Dokter Nasional (HDN) yang jatuh setiap tanggal 24 Oktober.
Semoga pemerintahan yang baru dapat membawa efisiensi anggaran, khususnya pembiayaan kesehatan di tengah-tengah ruang fiskal yang kian tertekan.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan