Surabaya (Trigger.id) – Bruce Ackerman, Profesor Hukum Konstitusi di Yale Law School mengingatkan bahwa kekuasaan yang berlebihan cenderung mengikis prinsip rule of law dan demokrasi.
Menurut Ackerman, ketika pemerintah memiliki terlalu banyak kekuasaan, mereka cenderung melemahkan institusi-institusi yang seharusnya bertindak sebagai pengawas, seperti pengadilan, parlemen, dan media. Ini dapat menyebabkan pemerintahan yang sewenang-wenang dan mengurangi akuntabilitas.
Sementara Larry Diamond, Ahli Demokrasi dan Tata Negara di Stanford University menyatakan bahwa konsentrasi kekuasaan pada pemerintah dapat menimbulkan “autoritarianisme elektoral,” di mana pemilu tetap diadakan, tetapi tidak lagi kompetitif atau adil karena pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi hasil pemilu, menekan oposisi, dan membatasi kebebasan berpendapat.
Bahkan John Locke, Filsuf dan Teoritikus Tata Negara, dalam tulisannya tentang teori kontrak sosial, menegaskan bahwa kekuasaan yang tidak diawasi akan cenderung disalahgunakan.
Ia berargumen bahwa kekuasaan harus dibatasi dan dibagi untuk mencegah tirani, dan masyarakat harus memiliki mekanisme untuk menggantikan pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaannya.
Ketika pemerintah memiliki terlalu banyak kekuasaan, hak asasi manusia sering kali menjadi korban pertama. Negara yang kuat cenderung memberlakukan undang-undang represif, menekan kebebasan berbicara, dan melakukan penangkapan sewenang-wenang untuk mempertahankan kekuasaannya. Ini kata Louis Henkin, Ahli Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia.
Kekuasaan pemerintahan yang terlalu berlebihan dalam sebuah negara demokrasi, yang sering disebut sebagai otoritarianisme atau kekuasaan terpusat, dapat memiliki dampak yang signifikan, baik dari segi keuntungan maupun kerugian. Meskipun beberapa negara mungkin mengalami stabilitas jangka pendek atau keberhasilan dalam mencapai tujuan tertentu, dampak negatifnya cenderung lebih dominan dan merugikan dalam jangka panjang.
1. Keuntungan dari Kekuasaan Pemerintahan yang Berlebihan:
- Stabilitas Jangka Pendek: Pemerintahan yang kuat dan terpusat dapat memastikan stabilitas politik dan keamanan dalam jangka pendek, terutama di negara yang mengalami konflik internal atau ketidakstabilan.
- Efisiensi dalam Pengambilan Keputusan: Dengan kekuasaan yang terkonsentrasi, keputusan dapat dibuat lebih cepat tanpa perlu melewati proses panjang dari checks and balances yang sering kali melibatkan banyak pihak.
- Kemampuan Mengimplementasikan Kebijakan Besar: Pemerintahan yang kuat bisa lebih mudah dalam menerapkan kebijakan besar seperti reformasi ekonomi atau proyek infrastruktur besar tanpa gangguan dari oposisi atau kelompok lain.
2. Kerugian dari Kekuasaan Pemerintahan yang Berlebihan:
- Erosi Demokrasi: Kekuasaan yang terlalu berlebihan cenderung mengikis prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti kebebasan berpendapat, pemilu yang bebas dan adil, serta pemisahan kekuasaan. Ini bisa mengarah pada pemerintahan yang otoriter atau bahkan kediktatoran.
- Penyalahgunaan Kekuasaan: Kekuasaan yang tidak diawasi sering kali berujung pada korupsi, nepotisme, dan penindasan terhadap lawan politik. Ini bisa merusak integritas institusi dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
- Kekerasan dan Repressi: Pemerintah yang memiliki kekuasaan berlebihan cenderung menggunakan kekerasan dan repressi untuk mempertahankan kekuasaan, yang dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, penahanan sewenang-wenang, dan bahkan pembunuhan politik.
- Kurangnya Akuntabilitas: Tanpa sistem checks and balances yang kuat, pemerintah mungkin tidak bertanggung jawab kepada rakyatnya. Kebijakan yang tidak populer atau merugikan mungkin tetap diterapkan tanpa adanya mekanisme untuk menghentikan atau mengoreksi mereka.
- Pemberontakan dan Instabilitas Jangka Panjang: Pemerintahan yang otoriter atau terlalu kuat sering kali menghadapi perlawanan dari rakyatnya, yang bisa berujung pada pemberontakan, revolusi, atau perang saudara. Hal ini pada akhirnya bisa menghancurkan stabilitas dan integritas negara.
3. Contoh Negara-Negara yang Tumbang karena Kekuasaan yang Berlebihan:
- Uni Soviet (1991): Uni Soviet runtuh sebagian karena konsentrasi kekuasaan yang luar biasa di tangan Partai Komunis, yang menyebabkan penindasan, stagnasi ekonomi, dan ketidakpuasan yang meluas di kalangan rakyat. Upaya reformasi oleh Mikhail Gorbachev melalui kebijakan perestroika dan glasnost justru mempercepat disintegrasi ketika rakyat mulai menuntut lebih banyak kebebasan.
- Jerman Nazi (1945): Kekuasaan yang sangat terpusat di bawah Adolf Hitler membawa Jerman ke dalam kebijakan-kebijakan ekstrem yang menyebabkan Perang Dunia II. Kekuatan militer dan kontrol totalitarian tidak hanya menyebabkan kehancuran di Jerman sendiri, tetapi juga di seluruh Eropa. Setelah kekalahan dalam perang, Jerman Nazi runtuh dan negara dibagi menjadi dua bagian.
- Libya (2011): Muammar Gaddafi memerintah Libya selama lebih dari 40 tahun dengan tangan besi, menggunakan kekuasaan yang sangat terpusat dan menindas setiap bentuk oposisi. Revolusi Arab Spring tahun 2011 menyebabkan pemberontakan besar-besaran yang akhirnya menggulingkan dan membunuh Gaddafi, meninggalkan negara dalam kondisi konflik berkepanjangan hingga hari ini.
- Yugoslavia (1990-an): Di bawah kekuasaan Presiden Josip Broz Tito, Yugoslavia menjadi negara komunis yang kuat dengan kekuasaan yang terpusat. Setelah kematian Tito pada 1980, ketegangan etnis dan nasionalisme yang telah ditekan selama puluhan tahun akhirnya meledak, menyebabkan perang saudara yang menghancurkan dan fragmentasi negara menjadi beberapa negara kecil.
- Zaire (1997): Di bawah rezim Mobutu Sese Seko, Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo) mengalami kekuasaan yang sangat terpusat dan korupsi yang merajalela. Setelah bertahun-tahun pemerintahan yang represif dan penyalahgunaan kekuasaan, Mobutu digulingkan dalam pemberontakan yang didukung oleh negara-negara tetangga, mengakhiri masa pemerintahannya yang brutal.
Meskipun kekuasaan pemerintahan yang berlebihan dapat memberikan keuntungan dalam situasi tertentu, seperti stabilitas jangka pendek atau efisiensi dalam pengambilan keputusan, dampak negatifnya terhadap demokrasi dan stabilitas jangka panjang sangat signifikan. Contoh negara-negara yang mengalami kehancuran akibat kekuasaan yang terpusat menunjukkan bahwa tanpa checks and balances yang memadai, pemerintahan yang terlalu kuat dapat merusak fondasi demokrasi, memicu ketidakstabilan, dan bahkan menyebabkan kejatuhan negara itu sendiri. (kai)
Tinggalkan Balasan