![](https://trigger.id/wp-content/uploads/2024/04/Kesehatan-Wisata-dan-Pemanasan-Global.jpg)
![](https://trigger.id/wp-content/uploads/2023/09/Ari-Baskoro4.jpeg)
Ketika seorang pelancong akan mengunjungi suatu destinasi wisata, keindahan alam merupakan faktor yang dijadikan pertimbangan utama. Indonesia memiliki banyak kekayaan pemandangan alam yang pesonanya layak dinikmati. Misalnya wisata alam di Indonesia bagian timur, bak surga dunia, digadang-gadang mampu memanjakan mata pengunjungnya. Siapa yang tak kenal Raja Ampat di Papua Barat dan Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur? Pengembangan kedua destinasi wisata prioritas tersebut, merupakan bagian dari target pemerintah meningkatkan kunjungan wisata dan mendatangkan devisa.
Papua memiliki potensi pariwisata yang sangat besar. Hampir keseluruhan destinasi wisatanya berupa keindahan alam yang amat menakjubkan. Tetapi sayangnya belum dikelola secara maksimal, sehingga berdampak pada kondisi sosial-ekonomi setempat. Masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut, pada umumnya masih tergolong ekonomi lemah (Kementerian Dalam Negeri, 2020).
Bumi Cenderawasih terdiri atas dataran rendah berawa, padang rumput, lembah, hingga dataran tinggi yang merupakan hutan hujan tropis. Semua itu lengkap dengan kelebatan alang-alangnya. Namun ada sisi negatifnya.Situasi demikian merupakan ekosistem yang ideal bagi kelangsungan kehidupan nyamuk. Dekatnya pemukiman penduduk dengan ekosistem serangga penular penyakit tersebut, berpengaruh pada tingkat transmisi malaria dan demam berdarah dengue (DBD).
Labuan Bajo yang berada di Kabupaten Manggarai Barat, menjadi destinasi wisata yang tak kalah eloknya dibanding Papua. Taman Nasional Komodo telah diakui sebagai warisan dunia yang telah ditetapkan oleh UNESCO. Dipilihnya lokasi tersebut sebagai tuan rumah KTT ASEAN ke-42 tahun 2023, merupakan isyarat bagi pengembangan dan promosi destinasi wisataitu ke seluruh mancanegara.
Ada suatu rekomendasi penting dalam “buku kuning” Centersfor Disease Controland Prevention (CDC) Amerika Serikat 2024 yang patut menjadi perhatian penyelenggara wisata/perjalanan internasional.Untuk menuju kedua destinasi wisata di Indonesia tersebut, calon wisatawan dihimbau selalu waspada terhadap risiko penularan malaria. Sebelum berkunjung, mereka direkomendasikan untuk mengonsumsi obat-obatan pencegahannya terlebih dahulu. “Peringatan” tersebut selaras dengan data epidemiologi, bahwa malaria di Indonesia menempati peringkat tertinggi kedua di kawasan Asia setelah India.
Menurut Kementerian Kesehatan, terjadi tren kenaikan jumlah kasusnya selama kurun waktu tahun 2020 (254 ribu kasus) hingga tahun 2022 (lebih dari 443 ribu kasus). Indonesia Timur, khususnya Papua, berkontribusi terhadap 90 persen total kasus yang tercatat.Setiap tahunnya dilaporkan sedikitnya 2.334 pelaku perjalanan mengalami penularan malaria, setelah kembali ke tempat asalnya.Di sisi lain, pemerintah menargetkan eliminasi malaria dari seluruh bumi Indonesia pada tahun 2030.
Mestinya upaya “ambisius” tersebut memerlukan dukungan anggaran yang memadai.Tetapi “anehnya” malah terjadi penurunan anggaran,antara tahun 2020-2022. Tahun 2022 terealisasi hanya sebesar Rp 71 miliar. Sebelumnya tercatat Rp 87 miliar (tahun 2020) dan Rp 86 miliar (tahun 2021). Tren penurunan itu menunjukkan pemerintah belum konsisten dalam mendukung program eliminasi malaria yang telah ditetapkan dalam Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 (Buletin APBN, Desember 2023).
Program eliminasi malaria, memiliki pola kendala yang samadengan pemberantasan demam berdarah dengue (DBD). Kedua penyakit tersebut sama-sama ditularkan melalui gigitan nyamuk. Hingga kini, DBD masih menjadi momok musiman. Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara di dunia yang kena dampak tertinggi.Berbeda dengan malaria, DBD menyasar hampir keseluruhan wilayah tanah air. Dari tahun ke tahun, angka kejadiannya cenderung berfluktuasi. Sebagai contoh, pada tahun 2021 tercatat ada 73.518 kasus. Angka itu sebenarnya sudah menurun sebesar 32,12 persen, bila dibandingkan pada tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 108.303 kasus. Tetapi jumlahnya melonjak lagi pada tahun 2022, menjadi 143.266 kasus. Pola fluktuatif tersebut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Masalah lingkungan, musim, dan rendahnya status kekebalan kelompok (herdimmunity) menjadi latar belakang penyebabnya. Risiko penularannya banyak berhubungan dengan persoalan urbanisasi, kepadatan penduduk, mobilitas warga, akses sumber air yang terbatas, dan tata kelola penyimpanan air. Pada prinsipnya, pola epidemiologinya banyak tergantung pada tingkat pengetahuan, sikap, dan cara pandang masyarakat, terhadap penyakit yang berpotensi mengancam jiwa itu.
Melonjaknya kasus DBD akhir-akhir ini, sejatinya sudah diprediksi jauh hari sebelumnya. Hal itu merupakan masalah rutin tahunan, saat musim hujan tiba. Tetapi pada tahun ini, lonjakan kasusnya jauh melampaui prediksi. Hingga April 2024, jumlah kasusnya telah meningkat tiga kali lipat, bila dibandingkan periode waktu yang sama pada tahun sebelumnya.Diprediksi lonjakan tersebut bisa berlangsung hingga Mei 2024 yang merupakan percepatan dari siklus tiga atau empat tahunan. Masalahnya kini DBD terkesan dianggap sebagai “penyakit biasa”, sehingga mitigasinyapun tidak maksimal. Agenda politik penyelenggaraan Pemilu, meningkatnya harga kebutuhan pokok, dan persiapan perayaan Idul Fitri, membuat konsentrasi masyarakat terpecah dalam program pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
Berbicara soal penyakit yang ditularkan melalui nyamuk, sangat tergantung pada tingkat populasi dan sebaran nyamuk itu sendiri. Dampak El Nino dan perubahan iklim, menjadi faktor pemicu penting. Peningkatan suhu permukaan bumi, tingginya curah hujan, dan faktor meningkatnya kelembaban udara , merupakan kontributor penting bagi ekosistem yang paling sesuai untuk perkembangbiakan nyamuk.
Hippocrates (460 SM-370 SM) yang dijuluki sebagai “Bapak Kedokteran”,bahkan sudah bisa memprediksi timbulnya dampak penyakit akibat perubahan musim. Risalahnya yang terkenal, yaitu “Airs, Waters, Places”, menggambarkan bagaimana peran perubahan musim (khususnya terkait paparan sinar matahari, tanah, daerah dengan ketinggian tertentu dari permukaan laut, aspek geografi, dan iklim), berpengaruh pada tingkat kesehatan masyarakat. Pemikirannya yang “outofthebox” pada masa itu, ternyata menjadi perhatian penting para ilmuwan pada akhir abad ke-20. Banyak riset yang akhirnya mengaitkan pengaruh lingkungan hidup, perubahan iklim dan cuaca pada saat tertentu, dapat memicu timbulnya penyakit infeksi dan beberapa gangguan kesehatan lainnya.
Pemanasan global
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, bahwa perubahan iklim merupakan ancaman terbesar kesehatan global pada abad ke-21. Itu bisa dalam wujud kelangkaan air, kekurangan sumber makanan, peningkatan terjadinya banjir, dan cuaca panas ekstrem. Muaranya akan dapat memantik timbulnya berbagai macam penyakit. Pemanasan global terpantau mulai pertengahan abad ke-20. Penyebabnya tak lain dan tak bukan, terkait aktivitas kehidupan manusia. Bahan bakar berbasiskan fosil, seperti halnya minyak bumi, batu bara, ataupun gas alam, menghasilkan berbagai macam gas dan polutan. Komponen utamanya terdiri dari karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen dioksida (N2O), freon, dan uap air.
Matahari merupakan sumber energi terbesar. Radiasi cahayanya yang sampai ke permukaan bumi, berubah menjadi energi panas. Sebagian akan diserap. Tetapi sebagian lainnya akan dipantulkan kembali ke angkasa. Gas-gas polutan tadi berefek menahan pantulan panas di atmosfer, sehingga terperangkap di permukaan bumi. Dampaknya bumi akan semakin panas. Itulah kondisi yang disebut dengan efek rumah kaca, sebagai pemicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Saat ini ramai diperbincangkan aktivitas militer, khususnya perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina, semakin memicu terjadinya efek gas rumah kaca.
Dalam satu abad terakhir ini, suhu permukaan bumi telah meningkat antara 0,60C hingga 0,90C. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), suhu rata-rata udara di permukaan tanah Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,50C.Dalam skala yang lebih luas, Asia merupakan wilayah yang paling terdampakakibat pemanasan global, dibanding secara global. Kenaikan suhu pada tahun 2023 rata-rata hampir dua derajat Celsius, bila dibandingkan pada tahun 1961-1990. Akibatnya memicu terjadinya peningkatan bencana, mulai dari perubahan iklim dan cuaca,kekeringan, gelombang panas, badai, hingga bencana hidrometeorologi.
Persetujuan Paris tahun 2015, bertujuan untuk menghentikan peningkatan suhu permukaan bumi agar tidak melebihi dua derajat Celsius. Caranya dengan menekan tingkat emisi karbon hingga pada tahun 2030. Harapannya dapat tercapai netralitas karbon pada tahun 2050.
Peringatan hari DBD dan malaria
Peringatan hariDBD nasional setiap tanggal 22 April dan hari malaria sedunia tanggal 24 April, harusnya menjadi perhatian penting.Nyamuk sebagai serangga ektoterm (hewan berdarah dingin), telah berevolusi memicu peningkatan populasinya, seiring terjadinya pemanasan global. Parasit plasmodium penyebab malaria, saat ini telah banyak yang resistan (kebal) terhadap pengobatan standar. Sementara itu hingga kini belum ditemukan obat anti virus spesifik untuk DBD. Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) yang merupakan tulang punggung pencegahan penyakit selama ini, tampaknya sulit diandalkan dan diterapkan secara konsisten.
Aspek kesehatan wisatawan
Sebelum melakukan perjalanan, calonwisatawan perlu memahami risiko gangguan kesehatan yang mungkin bisa terjadi. Di negara-negara maju, langkah tersebut sudah lazim dilakukan olehinstitusi kesehatan yang memang sudah dipersiapkan. Di negara kita, tidak semua daerah memiliki fasilitas tersebut. Pada umumnya wisatawan lokal kurang memiliki literasi tentang risiko penularan penyakit di daerah destinasi wisata.
WHO saat ini telah merekomendasikan penggunaan vaksin malaria, terutama di negara-negara endemis.Termasuk jugapada calon wisatawan mancanegara yang akan berkunjung. Vaksin tersebut belum tersedia di Indonesia. Di sisi lain vaksin untuk mencegah DBD, telah tersedia di dalam negeri, meski harus berbayar.
Semoga momen peringatan hari DBD nasional dan hari malaria sedunia, mampu meningkatkan “sadar wisata” masyarakat Indonesia. Peringatan ini sekaligus lebih menyadarkan kita, bahwa masalah pemanasan global memerlukan perhatian lebih dari seluruh masyarakat dunia.
—o—
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan