
Surabaya (Trigger.id) – Mantan eksekutif Meta, Sarah Wynn-Williams, mengungkap sisi lain dari perusahaan tersebut dalam bukunya yang berjudul “Careless People” yang diterbitkan pada hari Selasa. Dalam buku ini, ia memberikan kesaksian tentang budaya kerja Meta yang menitikberatkan pertumbuhan perusahaan tanpa mempertimbangkan dampaknya, yang berujung pada berbagai permasalahan di dunia nyata.
Wynn-Williams, yang bekerja di Meta selama enam tahun, mengungkap sejumlah momen kontroversial dalam sejarah perusahaan. Salah satu di antaranya adalah peran Facebook dalam menyebarkan kekerasan politik selama genosida terhadap Muslim Rohingya di Myanmar, yang belakangan diakui Meta sebagai kegagalan dalam mengatasi penyalahgunaan platform mereka. Buku ini juga membahas keterlibatan Facebook dalam kampanye pemilu Donald Trump tahun 2016, serta beberapa tokoh penting di Meta seperti CEO Mark Zuckerberg, mantan COO Sheryl Sandberg, dan Kepala Urusan Global yang baru diangkat, Joel Kaplan.
Wynn-Williams, yang sebelumnya adalah diplomat Selandia Baru di Washington, DC, bergabung dengan Facebook pada 2011 dan mencapai posisi Direktur Kebijakan Publik Global sebelum akhirnya dipecat pada 2017. Perusahaan menyatakan bahwa pemecatannya disebabkan oleh penyelidikan yang menemukan bahwa ia membuat pernyataan yang tidak berdasar. Namun, dalam bukunya, Wynn-Williams mengisyaratkan bahwa ia sebenarnya dipecat sebagai balasan karena melaporkan kasus pelecehan seksual.
Meta dengan tegas menolak klaim yang ada dalam buku tersebut. Dalam pernyataan kepada CNN, juru bicara Meta, Nkechi Nneji, menyebut bahwa buku ini berisi tuduhan yang sudah tidak relevan serta tidak benar terhadap para eksekutifnya. Nneji juga menyebut Wynn-Williams sebagai seorang “aktivis” yang telah menerima bayaran dari pihak yang menentang Facebook.
Menurut Nneji, Wynn-Williams dipecat delapan tahun lalu karena kinerja yang buruk dan perilaku yang dianggap beracun. Investigasi internal Meta saat itu menyimpulkan bahwa tuduhan pelecehan yang dia ajukan tidak berdasar dan menyesatkan. Nneji juga menambahkan bahwa sejak saat itu, Wynn-Williams aktif bekerja dengan kelompok-kelompok anti-Facebook, dan bukunya dianggap sebagai kelanjutan dari agenda tersebut.
Wynn-Williams bukanlah satu-satunya mantan karyawan yang mengungkap budaya kerja Meta. Pada 2021, Frances Haugen, mantan manajer produk Facebook, membocorkan ratusan dokumen internal yang menunjukkan kegagalan perusahaan dalam menangani perdagangan manusia di platformnya serta perlindungan terhadap pengguna muda. Ia bersaksi di hadapan Kongres bahwa Meta lebih mengutamakan keuntungan daripada kepentingan sosial.
Pada tahun yang sama, mantan ilmuwan data Facebook, Sophie Zhang, mengklaim bahwa perusahaan tidak cukup serius dalam menangani penyebaran kebencian dan misinformasi, terutama di negara-negara berkembang. Zhang bahkan menyerahkan dokumen ke penegak hukum AS, meski Facebook menyatakan bahwa pemecatannya terkait dengan masalah kinerja.
Kemudian, pada 2023, mantan direktur teknik Facebook, Arturo Bejar, bersaksi di Kongres bahwa Meta memiliki budaya yang cenderung mengabaikan bukti-bukti dampak negatif dari platformnya. Ia menyebut bahwa Zuckerberg mengabaikan peringatan selama bertahun-tahun tentang dampak buruk Instagram terhadap remaja.
Sebagai tanggapan, Meta membantah bahwa mereka lebih mementingkan keuntungan daripada keselamatan pengguna. Perusahaan juga menyatakan telah menginvestasikan miliaran dolar untuk meningkatkan keamanan platform serta menerapkan berbagai fitur perlindungan bagi remaja.
Setelah buku Wynn-Williams diterbitkan, Meta merujuk CNN ke pernyataan di media sosial dari beberapa karyawan lama dan baru yang membantah penggambaran yang ada dalam buku tersebut. Meta juga mengajukan tuntutan arbitrase terhadap Wynn-Williams, menuduhnya melanggar perjanjian non-pencemaran nama baik yang ia tanda tangani saat keluar dari perusahaan. Selain itu, Meta mengirim surat kepada penerbit sebelum peluncuran buku, menuduh mereka tidak memverifikasi isinya dengan Meta dan mengancam akan mengambil tindakan hukum jika ada pernyataan yang salah atau menyesatkan.
Buku ini berpotensi menarik kembali perhatian Kongres terhadap Meta, terutama karena perusahaan ini sudah berulang kali dipanggil untuk menjelaskan dugaan kelalaian mereka dalam menjaga keamanan platform. Meski demikian, hingga kini belum ada undang-undang federal yang disahkan untuk mengendalikan raksasa internet tersebut.
Dalam bukunya, Wynn-Williams menyoroti peran Joel Kaplan, yang diangkat menjadi Kepala Urusan Global Meta tepat sebelum Trump kembali menjabat. Ia menggambarkan Kaplan sebagai sosok yang berperan penting dalam mendorong Meta menjual iklan politik, dengan tujuan agar politisi bergantung pada Facebook untuk memenangkan pemilu sehingga mereka enggan mengeluarkan kebijakan yang merugikan perusahaan.
Wynn-Williams juga mengungkap dugaan pola pelecehan seksual oleh Kaplan, yang menurutnya menjadi alasan utama ia dipecat. Salah satu insiden yang diceritakan terjadi saat ia cuti melahirkan dan harus menjalani operasi tambahan. Kaplan, menurutnya, menanyakan secara berulang, “di mana kamu mengalami pendarahan?” selama pertemuan daring. Ia juga mengklaim bahwa Kaplan membuat komentar tidak pantas tentang penampilannya dan melakukan tindakan tidak senonoh di acara perusahaan.
Investigasi internal Meta terhadap tuduhan tersebut menyatakan bahwa tidak ada bukti yang mendukung klaim Wynn-Williams. Meta menegaskan bahwa mereka telah mewawancarai 17 saksi dan meninjau dokumen terkait sebelum akhirnya menyimpulkan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar.
Terlepas dari bantahan Meta, buku ini berpotensi memicu perdebatan lebih lanjut mengenai budaya kerja perusahaan serta pengaruhnya terhadap politik dan masyarakat secara luas. (ian)
Tinggalkan Balasan