Ketika seorang pelajar/mahasiswa menyampaikan suatu materi pembelajaran, mungkin tidak akan semua rekannya memiliki pemahaman yang sama dengan pokok-pokok pikiran yang disampaikannya. Lazim kiranya bila hal itu memicu suatu perbedaan pendapat diantara mereka.
Dalam ranah ilmiah, pro-kontra merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Manusiawi bila itu memang harus terjadi. Meski demikian, jika dikemas dengan tepat, keragaman cara pandang justru dapat memperluas cakrawala berpikir seseorang. Hierarki kekayaan intelektual manusia, pada dasarnya dibangun secara bertahap, karena adanya tantangan dan diversitas. Idealnya seorang guru/pendidik, dipandang murid-muridnya sebagai “hakim yang bijak” yang layak “digugu” dan “ditiru”.
Dalam hal yang lain, guru juga mampu mengondisikan pluralitas berpikir murid-muridnya dalam suatu bingkai yang konstruktif. Tanpa embel-embel suatu keberpihakan!. Kompetensi yang diampunya, secara “berwibawa” dapat memberi gambaran akan suatu tingkat kepercayaan dan kebenaran. Seorang guru yang kompeten juga dapat mengukur tingkat kognitif dan kecerdasan beretika murid-muridnya. Itu merupakan suatu parameter penilaian kelulusan anak didiknya. Tentunya semua elemen masyarakat telah dapat “membuktikan” tingkat kesahihan postulat tersebut. Pekerti seorang guru,dapat memprediksi kepentingan yang lebih besar bagi masa depan murid-muridnya. Alhasil atmosfer pendidikan yang kondusif dan kehadiran seorang guru, diharapkan mampu melegakan semua pihak.
Dalam skala yang lebih tinggi, paradigma di atas tak ubahnya seperti debat pasangan calon (paslon) Capres-Cawapres yang banyak menyedot atensi publik. Sudah selayaknya bila ada “guru” yang hadir di situ. Mereka telah diberi wewenang memberikan soal kepada “murid-muridnya” yang harus dijawab dan dibahas di hadapan jutaan pasang mata. Sayang sekali karena alasan keterbatasan waktu, “sang guru” tidak bisa memberikan ulasan-ulasannya. Belum tentu jawaban paslon Capres-Cawapres, sesuai dengan maksud dan harapan sang “guru”/panelis. Setiap pemirsa yang memiliki latar belakang beraneka ragam, akan “terpaksa” menerima “dengan pasrah” pernyataan sang kandidat pemimpin bangsa.
“Pesan” yang mampu diolah dan diterima pemirsa,sangat berkorelasi dengan latar belakangnya. Terutama tingkat pendidikannya.Entah kesimpulan debat itu tepat atau tidak, semua pemirsa berhak “merasa benar” atas olah pemikirannya sendiri. “Kebenaran” nisbi tersebut, bisa menjadi bola liar pasca debat. Para buzzer pun dengan cerdas menangkap peluang tersebut.
Penyebar luasan berbagai editan informasi melalui macam-macam kanal sosial media, segera dilakukan demi kepentingan golongan tertentu. Suasana akan semakin riuh dengan banyaknya polling pendapat dari para netizen/warganet. Topik yang diangkat pun pada umumnya kurang memiliki relevansi dengan konteks materi debat Capres-Cawapres. Intinya, semua lapisan masyarakat merasa berhak berpartisipasi dalam pesta demokrasi,sesuai kadar pemahaman masing-masing.
Ketiadaan kesempatan “berbicara”bagi “sang guru” yang tingkat kepakarannya sebagai panelistidak diragukan lagi, memicu berlanjutnya silang pendapat. Sekali lagi, publik hanya bisa terkesima dengan argumentasi hebat dari masing-masing Capres-Cawapres, tanpa bisa mengetahui tingkat kebenarannya. Sorak sorai tim suksesnya masing-masing, dianggap semakin melegitimasi kebenaran pernyataan jagoan mereka.
Tidak berselang lama, publik kemudian bisa menyaksikan “debat kusir” yang bisa berujung panas. Bahkan memantik pernyataan atau kata-kata “tak pantas”. Tontonan itu bisa disaksikan melalui berbagai platform media, terutama televisi. Kini giliran tim sukses yang tampil. Sudah lumayan bila argumentasi pendidikan politiknya bisa dinikmati dan bisa ditarik kesimpulan yang gamblang bagi publik. Lagi-lagi panelis debat Capres-Cawapres tidak dapat dihadirkan dengan berbagai alasan. Demi netralitas ? Demi “pakta integritas”? Rekan-rekan sesama panelis atau lebih tepatnya para pakar bidang terkait, akan berusaha mengulas dan memberikan take-home message. Harapannya bisa dijadikan “penengah” silang pendapat, terhadap gagasan yang dilontarkan tim sukses masing-masing paslon.Arena pembelajaran politik yang harusnya bisa menerjemahkan visi-misi Capres-Cawapres, kadang malah lebih dominan narasi negatif yang saling ingin menjatuhkan lawan politiknya.
Panelis
Seorang panelis sudah tidak perlu diragukan lagi tingkat kepakarannya pada suatu bidang tertentu. Mereka sudah sangat teruji kompetensi dan integritasnya. Sungguh patut disayangkan, tugasnya “hanya” membuat soal, tanpa bisa menilai atau mengulas maksud dari pertanyaannya. Mayoritas mereka yang mendapat kehormatan sebagai panelis, berlatar belakang akademisi dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ada pula praktisi dari lembaga tertentu yang sudah dikenal publik sangat mumpuni di bidang masing-masing.
Di lingkungan akademis, seorang pakar sudah dikenal melalui karya-karya ilmiahnya. Kompetensi, pengetahuan, dan keterampilannya yang sudah mapan, diperolehnya melalui rentang waktu yang cukup panjang. Jenjang pendidikan, hasil riset, pengalaman, dan praktiknya pada bidang tertentu, telah diakui oleh berbagai kalangan. Seorang pakar juga memiliki kemampuan untuk membuat pedoman bagi keperluan tertentu. Pengetahuan berharga yang dimilikinya, dapat menavigasi orang lain untuk melakukan perencanaan. Harapannya agar mereka dapat bekerja, bertindak, menyelesaikan, mencipta, dan berpikir seperti mentornya.
Panelis pada debat Capres-Cawapres,mungkin mendapatkan penghargaan tertentu dari negara. Itu sudah selayaknya. Tetapi publik sebenarnya sangat berharap pada peran yang sesungguhnya, sesuai tingkat kepakarannya. Bukan hanya sekedar pembuat soal.Tidak lain agar semakin membantu meneguhkan pilihan publik, pada kandidat yang sesuai dengan keinginannya.Salah satu pertimbangan utama masyarakat adalah, bahwa paslon tersebut berkompeten mengusai permasalahan, selaras dengan isu yang dilontarkan panelis.
Sebagai solusinya, alangkah beruntungnya publik bila para panelis memperoleh kesempatan tersendiri di luar acara debat.Isu-isu terhangat di masyarakat yang terlontar melalui pertanyaan-pertanyaannya, sebaiknya diulas secara mendalam. Bisa dalam bentuk wawancara khusus atau melalui esainya yang mudah diakses masyarakat. Hal itu dilakukan tanpa mereka harus memberikan “penilaian” kepada masing-masing paslon, demi netralitas dan integritasnya. Di sisi lain, kesempatan penting tersebut merupakan wujud penghargaan dan aktualisasi diripada para pakar, sesuai piramida hierarki Abraham Maslow.
Usulan merevisi format debat Capres-Cawapres yang disampaikan Presiden Jokowi, sangat tepat diterapkan bila berkaitan dengan peran yang lebih dari seorang panelis. Harapannya substansi dan visi-misi paslon akan “lebih terarah” dan terhindar dari saling serang secara personal di luar konteks topik debat.
—–o—–
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan