Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, telah disahkan tanggal 26 Juli 2024. PP tersebut merupakan Peraturan Pelaksanaan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023, tentang Kesehatan. Ada beberapa pasal dalam PP itu yang memantik keterkejutan masyarakat. Khususnya terkait penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja.
Persoalan kontroversial itu tercantum dalam pasal 103 yang membahas masalah kesehatan sistem reproduksi. Bunyi pasal tersebut secara spesifik ditujukan untuk usia sekolah dan remaja. Pada ayat (2),melalui komunikasi, informasi, dan edukasi, pemerintah berupaya meningkatkan kesehatan sistem reproduksi.
Poin penting yang mendapat sorotan tercantum dalam ayat (2) huruf c dan huruf e.Pada huruf c,upaya itu dilaksanakan melalui edukasi perilaku seksual berisiko dan akibatnya.Risiko yang dimaksud adalah pada perkawinan anak, atau dampaknya pada perkawinan dini.Pada huruf e, dinyatakan (usia sekolah dan remaja)mampu melindungi diri dan menolak hubungan seksual. “Anehnya” pada ayat (4)huruf e tentang pelayanan kesehatan reproduksi, pemerintah memfasilitasi penyediaan alat kontrasepsi. Timbul interpretasi terjadinya peraturan yang “berlawanan”, antara ayat (2) huruf c dan huruf e di satu sisi, dengan ayat (4) huruf e. Meski demikian, fasilitasi tersebut telah melalui suatu konseling yang tercantum dalam ayat (5). Bentuk konselingnya dilaksanakan dengan memperhatikan privasi dan kerahasiaan. Pelaksananya adalah tenaga medis, tenaga kesehatan, konselor, dan/atau konselor sebaya yang memiliki kompetensi sesuai dengan kewenangannya. Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai tingkat kompetensi yang dimaksud, khususnya pada konselor sebaya.
Menyikapi persoalan yang telah diuraikan tadi, ada beberapa pokok yang patut menjadi perhatian semua pihak.
Aspek legal dan moralitas
Pelaksanaan PP Nomor 28 tahun 2024, khususnya pasal 103, mestinya telah melalui pengkajian yang mendalam. Harusnya tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda, antara pembuat peraturan dan masyarakat. Berdasarkan hukum hak asasi manusia (HAM) internasional, semua orang mempunyai hak yang berkaitan dengan seksualitas mereka. Konsepnya disebut dengan hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) yang juga diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Itu harus bebas dari kekerasan, paksaan, atau intimidasi. Semua individu memiliki akses yang sama terhadap informasi, pendidikan, dan layanan kesehatan seksual reproduksi. Pada prinsipnya pemerintah setiap negara di dunia wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM tersebut.
Hak reproduksi juga diakui oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM, meski harus diinterpretasikan dalam konteks yang berbeda. Dasar hukumnya antara lain pada UU No.39 Tahun 1999, UU No.10 Tahun 1992, dan UU No.36 tahun 2009. Pokok bahasannya hampir serupa, namun konteksnya dilakukan terhadap setiap pasangan. Semuanya dilaksanakan dengan tidak merendahkan martabat manusia dan harus sesuai dengan norma agama. Dalam PP No.61 tahun 2014, konteksnya lebih jelas. Itu ditujukan bagi pasangan dalam usia reproduksi, agar seorang ibu mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas. Di sisi lain, PP tersebut juga menjamin hak reproduksi bagi remaja mendapatkan informasi, edukasi, dan pelayanan lainnya, sesuai kebutuhan mengenai reproduksi.
Menurut WHO, kriteria rentang usia sekolah adalah antara tujuh hingga 15 tahun. Di sisi lain, peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa, disebut remaja. Peralihan itu terkait dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Menurut Maslow, seorang ahli psikologi humanistik, dikatakan dewasa bila yang bersangkutan telah dapat mengaktualisasikan dirinya. Artinya mampu mengenali potensi dalam dirinya dan telah dapat menerima dirinya sendiri. Di negara kita, hingga kini belum terdapat keseragaman terkait kriteria usia seseorang yang dinyatakan cukup umur (legal age). Sebagian besar peraturan perundang-undangan, menyebut usia 18 tahun sebagai usia dewasa atau legal. Tetapi menurut Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebut dewasa bila berusia 21 tahun.
Islam dengan tegas melarang hubungan seks di luar pernikahan. Hukum itu berlaku dan dipahami seluruh muslim di dunia. Mayoritas agama lain juga memberlakukan aturan yang sama.
Aspek medis-sosial ?
Perkembangan biologi seorang manusia, dilalui secara bertahap. Segmen populasi remaja merupakan puncak transisi yang paling krusial. Periode waktu tersebut, merupakan bagian dari perkembangan biologis, kognitif, dan psikososial yang pesat. Ekspresinya tidak hanya dalam bentuk perubahan fisik semata. Fase pubertas mengarah pada perkembangan kematangan seksual, akibat induksi pertumbuhan hormon. Status gizi dan jangkauan pelayanan medis yang lebih baik, serta pengaruh lingkungan (khususnya media sosial), bisa mempercepat fase pubertas.
Menunda usia pernikahan (waithood), kini tampaknya sudah menjadi tren global, termasuk di Indonesia. Mengharapkan kemandirian ekonomi dan mengejar karier, menjadi latar belakang utama penyebabnya. Tidak sedikit pula yang trauma terhadap meningkatnya kasus perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Fenomena waithood membuka peluang besar kesenjangan waktu, antara masa pubertas dan saat pernikahan. Kesenjangan tersebut berdampak pada tantangan mengelola hasrat seksual dalam jangka waktu yang lebih lama. Muaranya bisa berujung pada inisiasi perilaku seksual dalam bentuk “berkencan”, hubungan seksual pranikah, kehamilan yang tidak diinginkan, dan aborsi ilegal.
Perilaku seksual berisiko pranikah, berpotensi meningkatkan probabilitas terpapar infeksi menular seksual (IMS). Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan IMS yang paling mengkhawatirkan. Pasalnya mereka belum memiliki pengetahuan yang memadai, tentang cara-cara pencegahannya. Menurut Kementerian Kesehatan, ada sebanyak 1929 orang berusia 15-24 tahun yang terpapar HIV. Data pada tahun 2022 itu, telah meningkat sebesar 3,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang tahun 2023, terdapat 16.410 kasus HIV baru. Angka tersebut telah menambah daftar panjang HIV di negara kita yang telah mencapai 515.455 orang, pada tahun 2023.
Ada risiko masalah medis dan sosial lainnya. Misalnya kehamilan yang tidak diharapkan, prevalensi aborsi ilegal yang membahayakan jiwa, anak terlantar, serta pelanggaran norma-norma sosial masyarakat. Kehamilan pranikah, khususnya pada remaja, berpotensi mengganggu kesehatan reproduksi. Sering kali akan berdampak pada timbulnya komplikasi yang memicu risiko kematian pada ibu dan janin yang dikandungnya. Dampak rentetan lainnya, mereka akan merasa “terkucil”, malu, depresi, terhentinya pendidikan, sulit mendapat pekerjaan, serta menghambat kesejahteraan ekonomi. Akhirnya Kementerian Kesehatan telah memberikan klarifikasi pada makna memfasilitasi penyediaan kontrasepsi bagi remaja. Ternyata “hanya” ditujukan terhadap remaja yang telah menikah dini. Karena telah menimbulkan penafsiran yang berbeda dan memantik kontroversi publik, sebaiknya dilakukan revisi terhadap bunyi dalam pasal bermasalah tersebut.
—000—
*Penulis:
- Staf pengajar senior di :Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan