
“Ombudsman bersuara lebih lantang. Dikatakan, negara telah melakukan maladministrasi, terkait perekrutan petugas KPPS.”
Oleh: dr. Ari Baskoro, Sp.PD-KAI (Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya)

Pemilu 2024 tidak lama lagi akan berlangsung. Menurut jadwal, Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif ( Pileg),diselenggarakan tanggal 14 Februari 2024. Petugas Pemilu pun sudah mulai dibentuk.
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) telah dilantik. Setelah mengikuti bimbingan teknis (Bimtek) yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), mereka diminta langsung bekerja. Setidaknya PPK akan bekerja enam bulan sebelum pemungutan suara dilaksanakan. Tugas itu akan berakhir, dua bulan setelah pemungutan suara.Selanjutnya KPU Kabupaten/Kota, akan membentuk Panitia Pemungutan Suara (PPS), sebagai pelaksana Pemilu di tingkat desa atau kelurahan.
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang dibentuk PPS, merupakan ujung tombak. Merekalah yang akan langsung melayani masyarakat di tempat pemungutan suara (TPS).
KPU menyebutkan, jumlah petugas Pemilu tahun 2019 yang meninggal sebanyak 894 orang. Petugas yang sakit jauh lebih banyak lagi. Jumlahnya mencapai 5.175 orang.Versi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahkan menyebutkan, petugas KPPS yang jatuh sakit mencapai 11.239 orang. “Pejuang demokrasi” yang telah berjuang hingga napas terakhir, bukan hanya petugas KPPS saja. Ada pula Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan aparat keamanan. Banyak pihak, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia(Komnas HAM) mewanti-wanti, agar peristiwa memprihatinkan tersebut tidak akan terulang lagi pada tahun 2024.

Tidak diketahui dengan pasti penyebab meninggalnya ratusan petugas Pemilu tahun 2019. Hingga kini belum ada penelitian yang dapat menjawab fenomena tersebut.Dari perspektif ilmiah dan kemanusiaan, sudah selayaknya hal itu didalami secara sungguh-sungguh. Hasilnya akan lebih dipercaya publik , bila dilakukan secara independen.
Faktor kelelahan dituduh menjadi biang penyebabnya. Sementara itu, hasil audit medis Kemenkes berupaya untuk mengungkapnya.Sebanyak 51 persen dikaitkan dengan masalah kardiovaskuler (penyakit jantung, strok, hipertensi). Asma dan gagal napas,menempati peringkat kedua penyebab kematian. Sisanya berhubungan dengan faktor kecelakaan, diabetes melitus (DM/kencing manis), penyakit ginjal, dan liver.
Ombudsman bersuara lebih lantang. Dikatakan, negara telah melakukan maladministrasi, terkait perekrutan petugas KPPS. Seharusnya para petugas Pemilu tersebut, paham terhadap beban kerja yang akan diembannya. Lembaga negara tersebut mensinyalir, mereka yang meninggal atau yang jatuh sakit, adalah orang-orang yang awam risiko yang mungkin akan dialami.
Kajian yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM), bisa dijadikan bahan pembelajaran. Di Yogyakarta disebutkan, sebanyak 80 persen kasus kematian dilatarbelakangi penyakit kardiovaskuler. Sekitar 90 persen di antaranya,mempunyai riwayat sebagai perokok. Di sisi lain,petugas Pemilu yang sakit rata-rata berusia 42,5 tahun. DM, penyakit jantung, dan penyandang komorbid, menjadi jenis penyakit yang dominan. Intensitas beban kerja, berdampak meningkatkan risiko semua penyakit tersebut menjadi lebih berat.
Beban fisik dan psikis
Beban kerja petugas KPPS,sebelum, selama, dan sesudah hari pemilihan, bisa dikatakan sangat tinggi. Ada pula kendala lainnya. Hal itu terkait bimtek, persoalan administrasi yang rumit, perhitungan suara, manajemen logistik, dan problem psikologis. Kecemasan dan stres psikis, sangat berkaitan dengan tingginya keterlibatan dan tuntutan kerja.Keseluruhan faktor ini,dapat memantik timbulnya kelelahan yang berlebihan.
Pada hari pelaksanaan Pemilu, median waktukerja petugas berkisar antara 20-22 jam. Untuk mempersiapkan TPS, mereka memerlukan waktu antara 7,5 hingga 11 jam. Persiapan dan pendistribusian undangan, membutuhkan waktu delapan sampai 48 jam. Bisa dikatakan,saat penghitungan suara merupakan titik krusial yang dapat dikategorikan melampaui kapasitas fisiologis seseorang.
Aspek mitigasi
Saat ini untuk merekrut petugas Pemilu 2024, telah ditentukan batasan usianya, yaitu 17-55 tahun.Harus pula melampirkan dokumen kesehatan. Datanya mencakup pemeriksaan tes gula darah, kolesterol, dan hipertensi. Tidak disebutkan secara terperinci, bagaimana cara pemeriksaannya. Cukup validkah pemeriksaan tersebut, untuk menekan risiko morbiditas dan mortalitas petugas Pemilu 2024 ?
Data yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pararel dengan penyebab kematian tertinggi saat ini di Indonesia. Sebanyak 85 persen kematian di dunia, disebabkan oleh serangan jantung dan strok. Penyakit itu rentan terjadi pada laki-laki berusia di atas 45 tahun, dan perempuan lebih dari 50 tahun. Banyak faktor yang mendasari (faktor risiko) berkembangnya penyakit kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah). Faktor risiko tersebut antara lain, hipertensi, DM, kelainan kadar lemak darah (dislipidemia), obesitas, merokok, dan usia. Selain usia dan jenis kelamin, faktor-faktor lainnya berpotensi dapat dikendalikan/dimodifikasi.
Secara ringkasnya, berbagai faktor risiko tadi berkolaborasi memicu terjadinya penyempitan pembuluh darah. Inflamasi/peradangan, timbunan lemak,dan beberapa macam substansi lainnya, mengakibatkan dinding pembuluh menjadi kaku (aterosklerosis) . Sirkulasi darah pun menjadi terganggu karenanya. Bila itu terjadi pada pembuluh darah koroner yang berperan memasok aliran darah dan oksigen ke jantung,dapat menimbulkan penyakit jantung koroner (PJK). Strok disebabkan oleh terganggunya pasokan aliran darah yang menuju ke otak. Bisa akibat penyumbatan, atau karena pecahnya pembuluh darah. Tidak semua penyakit kardiovaskuler menimbulkan manifestasi klinis. Ada pula yang tanpa gejala sama sekali. Beban stres fisik dan psikis yang berlebihan,dapat memantik terjadinya PJK dan strok. Salah satu dampak paling fatal yang mungkin bisa terjadi, adalah kematian mendadak (suddendeath).
Sejauh ini belum ada peraturan menyangkut jam kerja dan tata cara skrining kesehatan, pada badan adhock Pemilu. Menerapkan prosedur skrining medis secara ideal, tidak mudah untuk dilakukan. Apalagi kalau harus dibebankan pada petugas Pemilu. Selain berbiaya mahal, tidak semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas yang memadai untuk tujuan tersebut. Namun pemeriksaan yang didasarkan atas tiga komponen (gula darah, kolesterol, dan tekanan darah), sangat tidak mencukupi.Sifatnya sangat dinamis. Bisa terjadi perubahan dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu riwayat DM, gangguan lemak darah, dan hipertensi, tidak bisa dideteksi melalui sekali pemeriksaan saja. Demikian pula asma dan penyakit pernapasan lainnya,tidak akan mungkin diketahui melalui panel pemeriksaan yang relatif sederhana tersebut. Hal yang sama berlaku untuk penyakit ginjal danliver.Untuk itu diperlukan upaya maksimal dari KPU dan pemerintah, untuk merumuskan kebijakan yang lebih optimal dan efisien. Tujuannya bermuara menekan risiko dampak negatif kesehatan pada petugas Pemilu. Diharapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial(BPJS),bisa mengambil peran yang lebih banyak.
Manajemen risiko petugas Pemilu, hendaknya diperkuat. Diperlukan keterlibatan yang lebih intensif dari tenaga medis pada fasilitas kesehatan terdekat, untuk memantau status kesehatan petugas Pemilu. Langkah-langkah edukasi masalah kesehatan, perlu ditingkatkan. Khususnya bisa mengenal secara dini,gejala klinis penyakit yang dapat mengancam jiwa. Semoga pesta demokrasi 2024, tidak lagi memakan banyak nyawa pejuang demokrasi.
Tinggalkan Balasan