
Surabaya (Trigger.id) – Hiperventilasi dan sesak napas psikogenik memang berkaitan dengan masalah pernapasan yang disebabkan oleh faktor psikologis, tetapi keduanya memiliki perbedaan dalam mekanisme dan gejalanya.
Hiperventilasi dan sesak napas psikogenik memiliki beberapa perbedaan penting, meskipun keduanya dapat disebabkan oleh kondisi psikologis seperti stres atau kecemasan.
Dokter Decsa Medika Hertanto SpPD dari RSU Dr. Sutomo dalam akun IG-nya @dokterdecsa menceritakan, bahwa hiperventilasi terjadi ketika seseorang bernapas terlalu cepat atau terlalu dalam, yang menyebabkan penurunan kadar karbon dioksida dalam darah. Hal ini sering kali disebabkan oleh kondisi kecemasan, serangan panik, atau stres yang ekstrem. Gejala hiperventilasi bisa termasuk pusing, rasa melayang, jantung berdebar, dan kesemutan di tangan atau kaki. Hiperventilasi memerlukan penanganan segera seperti mengatur pola napas atau bernapas melalui kantong kertas
Sementara sesak napas yang muncul tiba-tiba tanpa adanya riwayat penyakit jantung atau paru-paru bisa menjadi tanda stres atau reaksi emosional yang intens. Kondisi ini sering disebut sebagai sesak napas psikogenik, yang terjadi karena faktor emosional atau psikologis seperti kecemasan, panik, atau stres berat. Ketika seseorang mengalami peristiwa tragis, seperti didiagnosis dengan penyakit serius seperti kanker atau mendengar kabar buruk tentang orang terdekat, reaksi fisik terhadap stres dapat muncul dalam bentuk sesak napas.
Sesak napas psikogenik, di sisi lain, adalah kondisi di mana seseorang merasa kesulitan bernapas, meskipun tidak ada masalah fisik pada paru-paru atau jantung. Ini lebih terkait dengan sensasi ketidaknyamanan yang sering dipicu oleh faktor psikologis seperti kecemasan atau trauma emosional. Meskipun gejalanya mirip dengan hiperventilasi, pada sesak napas psikogenik tidak selalu terjadi penurunan kadar karbon dioksida dalam darah.
Penanganan kedua kondisi ini biasanya melibatkan teknik relaksasi, terapi perilaku kognitif (CBT), dan dalam beberapa kasus, obat-obatan untuk mengendalikan kecemasan atau serangan panik. Jika gejala terus berlanjut, konsultasi dengan psikolog atau psikiater dapat membantu dalam memahami pemicu emosional di balik kondisi tersebut.
Hiperventilasi dan sesak napas psikogenik memang berkaitan dengan masalah pernapasan yang disebabkan oleh faktor psikologis, tetapi keduanya memiliki perbedaan dalam mekanisme dan gejalanya:
1. Hiperventilasi:
- Definisi: Hiperventilasi adalah kondisi di mana seseorang bernapas terlalu cepat atau terlalu dalam, sehingga terjadi pengeluaran karbon dioksida (CO₂) berlebihan dari tubuh. Akibatnya, kadar karbon dioksida dalam darah menurun secara drastis, yang mengganggu keseimbangan kimiawi tubuh.
- Penyebab: Hiperventilasi sering kali terjadi dalam situasi kecemasan, serangan panik, atau stres berat. Ketika seseorang merasa cemas, mereka mungkin bernapas cepat tanpa menyadarinya.
- Gejala:
- Napas terasa cepat dan dangkal
- Pusing atau merasa melayang
- Kesemutan di tangan, kaki, atau bibir
- Nyeri dada
- Sensasi kehilangan kontrol
- Terkadang bisa membuat seseorang merasa seperti akan pingsan karena kekurangan oksigen di otak.
- Penyebab Fisiologis: Hiperventilasi mengurangi kadar karbon dioksida dalam darah, yang menyebabkan pembuluh darah menyempit dan berkurangnya aliran oksigen ke otak dan jaringan lainnya.
2. Sesak Napas Psikogenik:
- Definisi: Sesak napas psikogenik adalah sensasi sesak napas yang disebabkan oleh faktor psikologis atau emosional, bukan oleh masalah fisik pada paru-paru atau jantung. Kondisi ini biasanya terkait dengan stres, kecemasan, atau gangguan panik, dan sering terjadi tanpa adanya perubahan dalam pola pernapasan.
- Penyebab: Sesak napas psikogenik disebabkan oleh perasaan cemas, ketakutan, atau kejutan emosional yang intens, seperti mendengar berita buruk atau menghadapi situasi traumatis. Tidak selalu ada perubahan fisik yang nyata dalam pola pernapasan, tetapi orang tersebut merasakan kesulitan bernapas.
- Gejala:
- Sensasi seperti tidak bisa mengambil napas dalam
- Perasaan napas tidak cukup, meskipun paru-paru bekerja normal
- Napas terasa berat atau tercekik
- Bisa disertai dengan perasaan cemas, tetapi tidak selalu napas cepat seperti pada hiperventilasi
- Tidak ada gejala fisik lain seperti kesemutan atau pusing yang diakibatkan oleh kadar CO₂ rendah.
- Penyebab Psikologis: Sesak napas psikogenik sering kali lebih terkait dengan persepsi seseorang tentang kesulitan bernapas, yang dipicu oleh kecemasan atau stres emosional, tanpa adanya ketidakseimbangan kimiawi yang signifikan seperti dalam hiperventilasi.
Perbedaan Utama:
- Pola pernapasan: Dalam hiperventilasi, pernapasan menjadi cepat dan dangkal, sedangkan dalam sesak napas psikogenik, seseorang mungkin merasa kesulitan bernapas, tetapi pola napasnya bisa tetap normal atau tidak terlalu berubah.
- Penyebab fisiologis vs. persepsi: Hiperventilasi memiliki dampak fisiologis langsung karena penurunan CO₂ dalam darah, sedangkan sesak napas psikogenik lebih banyak terkait dengan persepsi subjektif bahwa seseorang tidak bisa bernapas dengan cukup, meskipun tubuh sebenarnya tidak kekurangan oksigen.
- Gejala tambahan: Hiperventilasi sering kali disertai dengan gejala fisik seperti pusing, kesemutan, atau kram, sedangkan sesak napas psikogenik lebih terkait dengan perasaan psikologis cemas atau tertekan tanpa gejala fisik yang ekstrem.
Kesamaan:
Kedua kondisi ini sama-sama bisa disebabkan oleh kecemasan, stres, atau emosi yang intens, dan keduanya dapat diperburuk oleh perasaan takut akan gejala yang dialami, sehingga menciptakan lingkaran setan di mana semakin merasa cemas, semakin buruk sesak napas yang dirasakan.
Penanganan:
- Hiperventilasi sering kali bisa diatasi dengan teknik pernapasan perlahan (contohnya bernapas melalui kantong kertas untuk meningkatkan kadar karbon dioksida), sedangkan sesak napas psikogenik mungkin memerlukan pendekatan yang lebih fokus pada mengelola kecemasan atau stres, seperti melalui meditasi, teknik relaksasi, atau terapi psikologis.
Jika gejala ini terus berulang atau sangat mengganggu, penting untuk berkonsultasi dengan profesional kesehatan untuk memastikan bahwa tidak ada masalah medis yang mendasari, serta untuk mendapatkan penanganan yang tepat sesuai kondisi. (ian)
Sumber: @dokterdecsa, Hello Sehat, Alodokter dan lainnya
Tinggalkan Balasan